"Kamu serius?"
“Iya. Aku dengar kamu sempat menolongnya kemarin.”
Jonathan menatap Ferdi dengan tatapan tak percaya.
Jadi ASI 'emas' ini milik Asha? Wanita yang dipukuli suaminya tempo hari?
Bukan salah Jonathan kalau dia sampai tidak percaya, Asha tengah dirundung permasalahan hidup yang cukup berat. Padahal dalam kamus menyusui, hal utama yang harus dihindari para ibu menyusui agar ASI-nya lancar adalah stres. Tidak boleh banyak pikiran dan bersedih.
Lalu Asha? Bagaimana bisa?
Perempuan itu sedang hancur. Tidak cukup ditinggal bayi yang sudah dia perjuangkan dengan separuh nyawa, suami dan mertuanya justru menyalahkan dirinya. Bahkan mencaci maki hingga memukuli.
Apalagi kalau memang benar dia adalah orang yang sama dengan yang dibicarakan oleh para perawat, bukankah wanita itu justru baru saja diceraikan suaminya?
Lengkap sudah, kan, penderitaan perempuan muda itu? Dengan tekanan dan kesedihan yang bertubi-tubi seperti itu, bagaimana bisa Asha masih mampu memproduksi ASI bahkan dengan kualitas sebagus ini?
"Lebih baik kamu segera temui wanita itu,” saran Ferdi. “Sebelum ia pergi.”
Jonathan menghela napas panjang, kepalanya terangguk pelan lalu menepuk bahu Ferdi dan segera melangkah keluar ruangan. Langsung menuju ke ruang rawat inap yang ada di paling ujung.
Sejenak Jonathan berhenti dan mematung di depan pintu ruang inap, telinganya berusaha menangkap ada atau tidaknya percakapan di dalam sana.
Setelah beberapa saat, Jonathan menarik nafas dalam lalu mengetuk pintu dan menekan knopnya.
***
Pikiran Asha sedang benar-benar penuh sekarang.
Badannya masih belum pulih. Jahitannya masih sakit dan kini ASI sudah mulai merembes lagi membasahi bagian dadanya karena bayinya sudah tiada untuk menyusu.
Namun, sekarang ia juga harus menanggung beban biaya rumah sakit yang tidak sedikit?
Asha sama sekali tidak memiliki uang. Ia tidak diperkenankan bekerja selama menikah dengan Dimas. Bahkan, uang pun dikelola oleh ibu mertuanya. Asha sempat punya barang bawaan berupa perhiasan emas yang dulu dijadikan mas kawin.
Tapi itu pun sudah dijual oleh Darmi.
Jika masih berstatus istri Dimas saja, Asha tidak pernah memegang uang, apalagi sekarang dia diceraikan dengan semua kesalahan yang dilimpahkan padanya?
Dengan apa ia harus melunasi biaya rumah sakit? Menghubungi orang tuanya untuk meminta bantuan? Itu sangat tidak mungkin mengingat–
Tok, tok, tok. Kriiettt!
Suara pintu terbuka itu segera membuyarkan lamunan Asha, Asha menoleh dan mendapati Jonathan muncul di balik pintu.
Sontak, Asha terkejut. Dengan segera wanita itu memperbaiki posisi duduknya, sedikit canggung ketika sosok itu melangkah kan kaki masuk ke dalam kamar inap Asha.
“Maaf mengganggu,” ucap pria itu dengan suara baritonnya. “Ada yang ingin saya bicarakan denganmu.”
Alis Asha berkerut. Ia menatap Jonathan dengan pandangan heran, tapi juga penasaran.
Memangnya apa yang ingin dibicarakan dokter ini padanya? Sampai-sampai Jonathan menghampirinya di ruangan ini?
Masalahnya, Jonathan bahkan bukan dokter yang bertanggung jawab atas Asha. Mereka nyaris tidak pernah berinteraksi, kecuali saat–
“Ah, Dokter. Sebelumnya saya ingin berterima kasih karena telah membantu saya waktu itu ….” Asha berkata buru-buru. “Saya tidak tahu bagaimana jadinya kalau Dokter tidak masuk dan menolong saya.”
Jonathan tampak sedikit mengernyit dengan ucapan terima kasih yang tiba-tiba itu. Namun, pria itu tidak berkomentar dan hanya mengangguk.
“S-silakan masuk, Dok,” ucap Asha kemudian, tiba-tiba merasa kikuk. Apalagi melihat ekspresi Jonathan yang tampak serius. “Ada apa?”
Lalu tiba-tiba pikiran itu menyusup dalam kepalanya, membuat Asha waswas.
Bagaimana kalau pihak rumah sakit menagih pembayaran sekarang?
Asha menelan ludah, sementara ia melihat Jonathan mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Suami kamu?” tanyanya, membuat Asha tersenyum getir.
“Sudah pergi, Dok. Dan kami sedang proses cerai,” jawab Asha lirih, sembari menahan sesak di dadanya. Asha menyusut air mata, sementara Jonathan tampak tertegun sesaat di tempatnya duduk, sebuah tanggapan yang makin membuat Asha penasaran dan bertanya-tanya.
“Ada apa, Dok?” Asha akhirnya kembali bertanya.
Jonathan mendekat ke arah Asha. Sikap tubuhnya tampak kaku dan canggung. Meski begitu, sepasang mata tajam itu menatap Asha dengan kesungguhan dalam sorotnya.
“Saya kurang tahu harus memulai dari mana, tapi Nona Asha.” Jonathan menarik napas. “Saya bisa berikan semua fasilitas yang kamu butuhkan. Tempat tinggal, pakaian, makanan bergizi lengkap dengan vitamin dan tak lupa uang bulanan.”
Jonathan berhenti bicara, tampak lelaki itu menghela napas beberapa kali, sementara Asha?
Wanita membulatkan mata sembari mencerna kalimat Jonathan.
Apa maksud dari perkataan dokter ini? Ke mana obrolan ini mengarah? Apakah–
“Saya bisa kasih semua, asalkan ... kamu menyanggupi permintaan saya.”
Asha makin tidak mengerti, kenapa tidak langsung ke intinya? Apa yang sebenarnya dokter ini inginkan dari Asha?
“Maaf, Dokter. Sebenarnya apa yang Dokter inginkan?”
“Saya butuh kamu, Nona Asha. Saya ingin kamu ....”
"Ada apa, Bang?"Jonathan melirik Danan, mereka duduk di kursi yang ada di pinggir kolam renang. Danan tidak langsung menjawab ia malah menghela napas panjang sembari merogoh saku. "Abang sambil merokok boleh, kan?" izinnya setelah bungkus rokok beserta korek sudah ada di atas meja. Jonathan mengangguk pelan, membuat Danan segera mengambil dan menyulut sebatang rokok. "Kamu beneran nggak merokok, Jo?" tanya Danan setelah menghembuskan asap rokok ke udara. "Dulu sekali pernah, Bang. Waktu SMP kali, ya? Sekarang udah nggak lagi." jawab Jonathan jujur. "Baguslah, Jo. Do'akan abangmu ini bisa berhenti juga." ucap Danan dengan senyum kecut. Jonathan tidak menanggapi, ia tahu ada hal yang lebih penting dari pembahasan soal rokok yang hendak Danan bicarakan padanya. Ia diam menantikan Danan bicara, entah mengapa, Jonathan yakin ini ada hubungannya dengan perubahan mimik wajah Danan saat di mobil tadi dan ... Jonathan menghela napas panjang, apakah ini ada hubungannya dengan adik iparny
"Minta bikinin rumah sakit buat hadiah, Mas! Mayan nih punya rumah sakit sendiri."Seketika Danan membelalakkan mata, ia menatap Asha dari kaca mobil, nampak wajah itu tengah nyengir lebar dengan muka yang sangat menyebalkan.Sementara Danan membelalak, Jonathan malah terkikik di jok tempatnya duduk. Jauh di lubuk hati terdalamnya, ia setuju dengan usul istrinya. Siapa yang tidak ingin punya rumah sakit sendiri? Perihal saham di rumah sakit itu, biar papanya yang urus yang penting Jonathan punya rumah sakitnya sendiri. "Dikira bikin rumah sakit cukup satu-dua M apa? Kamu mau ngegorok leher abangmu sendiri?" gerutu Danan dengan wajah masam. Tawa Asha pecah, namun masih dia kondisikan agar bayi dalam gendongannya tidak terganggu atau bahkan sampai terbangun. Muka masam Danan berhiaskan senyum kecut sekarang, ia melirik Jonathan, hanya sekilas karena fokusnya kembali ke jalanan. "Setuju nih sama usul istrimu? Bunuh aja abangmu ini, Jo!" kelakar Danan yang membuat suasana dalam mobil t
"Aku jemput Asha sama Jo dulu." Joana hanya mengangguk, terlebih ketika Danan merengkuh dan menjatuhkan kecupan di puncak kepalanya. "Ati-ati, ya? Kabarin jangan lupa."Danan tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sebagai jawaban dari permintaan yang Joana beri padanya. Tanpa membuang banyak waktu, ia segera melangkahkan kaki keluar, meninggalkan Joana yang hanya berdua saja dengan Abra. Kedatangan Asha dan Jonathan seperti kejutan untuknya, siapa kira pengantin baru itu mau jauh-jauh kemari hanya untuk melihat kondisi Abra? Senyum Danan terukir, ada banyak hal yang ingin dia ceritakan pada Jonathan nanti, terlebih semua perasaan lega yang kini ia rasakan. Ting! Kening Danan berkerut, siapa yang mengirimkan pesan untuknya ini? Apakah Joana? Ingin nitip sesuatu atau ... Danan segera merogoh saku celana, tersenyum ketika mendapati pesan itu masuk dari papanya. [ Langsung anter adekmu ke rumah, Nan. Kamar mereka udah siap. Kamu udah jemput kan ini? ]Dengan segera Danan mengetikkan
"Kalian mau berapa hari?" tanya Reni sembari menatap Asha yang tengah mempersiapkan barang bawaan. "Kata mas Jo sih cuma dua hari, Ma. Lusa kita udah balik kok." jawab Asha yang dengan lincah menyusun baju-baju ke dalam koper. "Nggak sekalian mau honeymoon? Ke Thailand kek, atau mana?"Ditanya begitu, tawa Asha pecah, ia menghentikan sementara aktivitas packingnya. Honeymoon? Agenda itu malah sama sekali belum terpikirkan oleh Asha, meskipun Jonathan sudah berulangkali mendesak, namun bagi Asha, ia perlu memikirkan tempat untuk menikmati momen spesial mereka setelah resmi menjadi suami-istri. "Belum tau mau kemana sih, Ma. Belum ada gambaran." jawab Asha apa adanya. "Ah kalian ini. Nanti kamu keburu hamil, Asha! Makin ribet nanti liburan kalian."Hamil! Wajah Asha memerah. Jujur ia rindu momen di mana tubuhnya akan membengkak sana-sini, sebuah kondisi yang entah mengapa di mata Asha dirinya terlihat jadi begitu seksi. Momen paling membahagiakan seumur hidup bagi Asha, meskipun du
"Udah tidur lagi?" Diana terkejut ketika mendapati Abra sudah kembali terlelap setelah beberapa saat yang lalu sadar. Nata hanya tersenyum, bangkit dari kursi yang ada di sebelah ranjang dan beralih ke sofa. "Kamu tahu apa yang dia katakan tadi?" pancing Nata yang seketika membuat Diana penasaran. "Apa? Memang dia ngomong apa?" Nata menarik napas panjang, ia menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap lurus ke jendela kaca yang menampilkan pemandangan di luar gedung. "Tanya orang tuanya di mana. Dia takut mereka bertengkar lagi."Wajah Diana berubah. Antara raut sedih dan iba berbaur menjadi satu. Diana menundukkan kepala. Sedikit trenyuh anak sekecil Abra harus melihat secara langsung pertengkaran kedua orang tuanya, sebuah hal yang cukup traumatis dan tidak layak dilihat oleh anak-anak. "Kamu bilang apa?" kejar Diana berusaha menegarkan hati. "Aku bilang padanya kalau hal itu tidak akan terjadi lagi. Dia tidak akan melihat orang tuanya bertengkar lagi."Hening. Lidah Diana mendad
Obrolan serius dengan bumbu air mata telah berakhir, kamar itu kembali sunyi, bukan sunyi yang sebenarnya. Yang dimaksud sunyi adalah tidak adanya percakapan antar keduanya. Yang ada hanyalah suara penyatuan yang berpadu dengan desah penuh nikmat sama seperti beberapa saat yang lalu. Gunung es di antara mereka telah benar-benar mencair, lenyap tak berbekas dan menghangatkan mereka seketika. Tidak ada lagi kecurigaan, keraguan dan perasaan-perasaan aneh yang membuat keduanya menjadi asing. Perselisihan mereka sudah sampai pada satu titik temu, satu keputusan dan satu kata yang sama. Joana sepakat resign, sepakat bebannya berpindah pada Danan meskipun awalnya dia ragu. Danan pun sama sekali tidak mempermasalahkan tanggungjawab baru yang harus dia pikul sampai tahun depan. Baginya, yang penting Joana akan selalu ada menjadi tempat ternyaman Danan melepas segala penat dan lelahnya ketika habis bekerja. Hanya itu yang Danan minta yang dang istri, tidak lebih. "Setelah ini, berjanjilah