“Sebentar, Dok–”
“Jadilah ibu susu untuk putri saya.”
Asha berkedip. Setelah uraian panjang lebar yang tidak baik untuk kewarasannya itu, akhirnya Asha mendapatkan inti ucapan Jonathan.
“Ibu susu?” tanya Asha, meyakinkan pendengarannya.
Jonathan mengangguk. "Saya butuh ASI kamu, Nona Asha. ASI seperti yang kamu sumbangkan untuk NICU," ujar Jonathan. “Bayi saya lahir prematur. Kurang bulan, kurang berat badan. Jadi sangat butuh ASI."
"Apakah … ASI ibunya tidak keluar, Dok?” tanya Asha hati-hati.
Jonathan tersenyum getir. “Tidak akan pernah keluar sampai kapan pun,” jawab pria itu pelan, membuat Asha kembali bingung. Apalagi, wanita itu lalu melihat sepasang mata Jonathan berkaca-kaca seperti tengah menahan tangis, sebelum kemudian menunduk.
"Istri saya kecelakaan,” jelas Jonathan kemudian, setelah diam selama beberapa saat. “Hanya bayi kami yang selamat.”
Jonathan mengangkat wajahnya, ia mendapati wajah itu tercengang dengan mulut terbuka yang segera ditutupi dengan tangan. Jonathan menghela napas panjang, berusaha tegar meskipun jujur ia tidak sekuat itu.
"Jadi bagaimana, Nona Asha? Apakah kamu mau membantu saya?"
***
'... Kamu akan dapat fasilitas full dari saya. Tempat tinggal, makanan yang bergizi penuh, vitamin, perawatan kamu bahkan saya akan kasih kamu gaji tiap bulan.'
Segala macam penawaran yang diberikan Jonathan tadi masih terngiang di telinga Asha. Entah ini sebuah kebetulan atau tidak, di saat Asha sudah tidak punya sepeserpun uang dan tidak tahu harus tinggal di mana, lelaki itu datang memberinya penawaran yang cukup menjanjikan. Jangan lupa, semua biaya rumah sakit Asha, Jonathan yang akan membayarnya!
Tugas Asha hanya menyusui bayi Jonathan yang masih harus dirawat intensif di NICU karena lahir prematur, menyusui bayi itu hingga lepas masa ASI.
Sejenak Asha menghela napas panjang. Ia pikir hanya dia seorang yang nasibnya begitu buruk. Rupanya dokter itu juga sama.
Jonathan harus kehilangan istri untuk selamanya. Meninggalkan dia bersama bayi mereka yang kondisinya begitu memprihatinkan.
“Berat badannya masih sangat kurang, Nona Asha. Sudah disuntik pematangan paru dan lain sebagainya. Ia sangat butuh ASI mengingat kandungan ASI yang paling mudah dicerna untuk bayi prematur seperti itu. Untuk itu, saya sangat berharap kamu bisa membantu saya. Tolong anak saya.”
Asha masih ingat bagaimana Jonathan sekuat tenaga menahan tangis ketika memohon padanya tadi. Membuat air mata Asha ikut menitik seolah paham sekali bagaimana perasaan bapak satu anak itu.
Bagaimana tidak? Asha juga baru saja kehilangan dan rasanya memang sesakit itu. Jonathan mungkin tengah dilanda rasa khawatir dan ketakutan setiap waktu, memikirkan bagaimana jika ia harus kehilangan bayinya juga ….
“Segala keperluan dan kebutuhan kamu saya tanggung, sampai nanti Sabrina berumur dua tahun, setiap bulan kamu akan dapat gaji diluar keperluan dan kebutuhan kamu.”
Bukan karena fasilitas-fasilitas itu Asha lantas setuju menerima tawaran Jonathan, melainkan karena Asha juga ingin merasakan bagaimana rasanya menimang bayi setelah bersusah-payah hamil selama sembilan bulan, meskipun itu bukan anak kandungnya, setidaknya Asha bisa mengobati kehilangan yang dia rasakan.
"Nona Asha, ini saya bawakan perlengkapan pumping dan lain-lain. Kamu sudah makan? Atau pengen makan apa? Kamu ada alergi sesuatu?"
Entah kapan datangnya, Jonathan sudah muncul dengan cooler bag di tangan. Asha terkejut, ia tersebut sembari menggeleng perlahan.
"Saya tidak ada alergi makanan sih, Dok. Aman kok. Ini juga belum lapar."
Jonathan menggeleng. "Sebentar lagi ada katering gizi mengirim makanan dan camilan buat kamu. Untuk dua tahun, tolong jaga makanan kamu,” ucap pria itu. “Akan saya pantau nanti. Ya?”
Asha kembali dibuat terkejut, namun ia hanya tersenyum sembari mengangguk pelan.
Memang ini semua untuk putri kecil Jonathan, tapi tak urung, hal itu membuat Asha berpikir. Mengingat ketika ia hamil. Dimas pun tidak seperhatian ini padanya serta pada bayi yang dikandungnya.
Jika saja–
Ah, sudahlah. Mengingat itu hanya menambah sakit di hati Asha.
"Nanti begitu infus habis, sudah boleh dilepas. Kamu bisa ikut saya lihat Sabrina di NICU."
Fokus Asha kembali ke masa kini saat mendengar ucapan Jonathan. Mata Asha membulat, ia mendadak sangat antusias.
"Bener, Dok? Nanti boleh saya gendong?"
“Tentu, kalau dia sudah bisa lepas dari alat bantu tapi. Untuk sekarang, ia masih harus dibantu dengan alat.”
Asha tertegun, mendengar jawaban Jonathan spontan kepalanya terangguk pelan sebagai tanda mengerti. Jonathan tidak banyak bicara lagi, ia melangkahkan kaki meninggalkan Asha, membuat Asha bergegas mengikuti langkah lelaki itu.
Tidak ada percakapan yang terjadi, sampai kemudian mereka sampai di depan pintu ruangan itu.
“Lepas dan ganti alas kakimu, cuci tangan bersih-bersih dan jangan lupa, gown yang disediakan di dalam lengkap dengan nurse cap dan masker harus kamu kenakan!” titah Jonathan tanpa menoleh.
Asha melakukan perintah itu dengan baik, hingga kemudian mereka sampai di depan inkubator yang ada di paling ujung.
"Perkenalkan ... ini Sabrina."
Asha melirik lelaki itu sekilas saat mendengar getar dalam suara maskulin Jonathan. Hanya sesaat, sebelum kemudian matanya fokus pada bayi kecil dalam inkubator. Di tubuh kecil itu tertempel beberapa alat medis, sebuah pemandangan yang makin membuat Asha yakin atas keputusannya untuk membantu Jonathan dengan menjadi ibu susu dari bayi malang ini.
"Kemungkinan dia masih harus dalam perawatan intensif sampai mungkin satu bulan, bisa lebih, sampai intinya dia siap keluar dengan kondisi yang prima tentunya." jelas Jonathan tanpa Asha minta.
"Saya akan lakukan tugas saya sebaik mungkin, Dokter," bisik Asha tanpa melepaskan pandangan dari inkubator.
Jonathan tersenyum, ia menoleh dan menatap Asha yang masih berdiri memandangi Sabrina di dalam sana. Wajah itu nampak sumringah, padahal bukan bayinya yang ada di dalam sana. Jonathan berharap, bahwa Asha bisa membantunya merawat Sabrina dengan baik, setidaknya sampai waktu dua tahun seperti perjanjian awal mereka.
"Oh ya, saya sudah sewa kamar perawatan VIP buat kamu.”
Asha terkesiap.
Kamar VIP … bukannya mahal sekali?
"Ada apa, Bang?"Jonathan melirik Danan, mereka duduk di kursi yang ada di pinggir kolam renang. Danan tidak langsung menjawab ia malah menghela napas panjang sembari merogoh saku. "Abang sambil merokok boleh, kan?" izinnya setelah bungkus rokok beserta korek sudah ada di atas meja. Jonathan mengangguk pelan, membuat Danan segera mengambil dan menyulut sebatang rokok. "Kamu beneran nggak merokok, Jo?" tanya Danan setelah menghembuskan asap rokok ke udara. "Dulu sekali pernah, Bang. Waktu SMP kali, ya? Sekarang udah nggak lagi." jawab Jonathan jujur. "Baguslah, Jo. Do'akan abangmu ini bisa berhenti juga." ucap Danan dengan senyum kecut. Jonathan tidak menanggapi, ia tahu ada hal yang lebih penting dari pembahasan soal rokok yang hendak Danan bicarakan padanya. Ia diam menantikan Danan bicara, entah mengapa, Jonathan yakin ini ada hubungannya dengan perubahan mimik wajah Danan saat di mobil tadi dan ... Jonathan menghela napas panjang, apakah ini ada hubungannya dengan adik iparny
"Minta bikinin rumah sakit buat hadiah, Mas! Mayan nih punya rumah sakit sendiri."Seketika Danan membelalakkan mata, ia menatap Asha dari kaca mobil, nampak wajah itu tengah nyengir lebar dengan muka yang sangat menyebalkan.Sementara Danan membelalak, Jonathan malah terkikik di jok tempatnya duduk. Jauh di lubuk hati terdalamnya, ia setuju dengan usul istrinya. Siapa yang tidak ingin punya rumah sakit sendiri? Perihal saham di rumah sakit itu, biar papanya yang urus yang penting Jonathan punya rumah sakitnya sendiri. "Dikira bikin rumah sakit cukup satu-dua M apa? Kamu mau ngegorok leher abangmu sendiri?" gerutu Danan dengan wajah masam. Tawa Asha pecah, namun masih dia kondisikan agar bayi dalam gendongannya tidak terganggu atau bahkan sampai terbangun. Muka masam Danan berhiaskan senyum kecut sekarang, ia melirik Jonathan, hanya sekilas karena fokusnya kembali ke jalanan. "Setuju nih sama usul istrimu? Bunuh aja abangmu ini, Jo!" kelakar Danan yang membuat suasana dalam mobil t
"Aku jemput Asha sama Jo dulu." Joana hanya mengangguk, terlebih ketika Danan merengkuh dan menjatuhkan kecupan di puncak kepalanya. "Ati-ati, ya? Kabarin jangan lupa."Danan tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sebagai jawaban dari permintaan yang Joana beri padanya. Tanpa membuang banyak waktu, ia segera melangkahkan kaki keluar, meninggalkan Joana yang hanya berdua saja dengan Abra. Kedatangan Asha dan Jonathan seperti kejutan untuknya, siapa kira pengantin baru itu mau jauh-jauh kemari hanya untuk melihat kondisi Abra? Senyum Danan terukir, ada banyak hal yang ingin dia ceritakan pada Jonathan nanti, terlebih semua perasaan lega yang kini ia rasakan. Ting! Kening Danan berkerut, siapa yang mengirimkan pesan untuknya ini? Apakah Joana? Ingin nitip sesuatu atau ... Danan segera merogoh saku celana, tersenyum ketika mendapati pesan itu masuk dari papanya. [ Langsung anter adekmu ke rumah, Nan. Kamar mereka udah siap. Kamu udah jemput kan ini? ]Dengan segera Danan mengetikkan
"Kalian mau berapa hari?" tanya Reni sembari menatap Asha yang tengah mempersiapkan barang bawaan. "Kata mas Jo sih cuma dua hari, Ma. Lusa kita udah balik kok." jawab Asha yang dengan lincah menyusun baju-baju ke dalam koper. "Nggak sekalian mau honeymoon? Ke Thailand kek, atau mana?"Ditanya begitu, tawa Asha pecah, ia menghentikan sementara aktivitas packingnya. Honeymoon? Agenda itu malah sama sekali belum terpikirkan oleh Asha, meskipun Jonathan sudah berulangkali mendesak, namun bagi Asha, ia perlu memikirkan tempat untuk menikmati momen spesial mereka setelah resmi menjadi suami-istri. "Belum tau mau kemana sih, Ma. Belum ada gambaran." jawab Asha apa adanya. "Ah kalian ini. Nanti kamu keburu hamil, Asha! Makin ribet nanti liburan kalian."Hamil! Wajah Asha memerah. Jujur ia rindu momen di mana tubuhnya akan membengkak sana-sini, sebuah kondisi yang entah mengapa di mata Asha dirinya terlihat jadi begitu seksi. Momen paling membahagiakan seumur hidup bagi Asha, meskipun du
"Udah tidur lagi?" Diana terkejut ketika mendapati Abra sudah kembali terlelap setelah beberapa saat yang lalu sadar. Nata hanya tersenyum, bangkit dari kursi yang ada di sebelah ranjang dan beralih ke sofa. "Kamu tahu apa yang dia katakan tadi?" pancing Nata yang seketika membuat Diana penasaran. "Apa? Memang dia ngomong apa?" Nata menarik napas panjang, ia menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap lurus ke jendela kaca yang menampilkan pemandangan di luar gedung. "Tanya orang tuanya di mana. Dia takut mereka bertengkar lagi."Wajah Diana berubah. Antara raut sedih dan iba berbaur menjadi satu. Diana menundukkan kepala. Sedikit trenyuh anak sekecil Abra harus melihat secara langsung pertengkaran kedua orang tuanya, sebuah hal yang cukup traumatis dan tidak layak dilihat oleh anak-anak. "Kamu bilang apa?" kejar Diana berusaha menegarkan hati. "Aku bilang padanya kalau hal itu tidak akan terjadi lagi. Dia tidak akan melihat orang tuanya bertengkar lagi."Hening. Lidah Diana mendad
Obrolan serius dengan bumbu air mata telah berakhir, kamar itu kembali sunyi, bukan sunyi yang sebenarnya. Yang dimaksud sunyi adalah tidak adanya percakapan antar keduanya. Yang ada hanyalah suara penyatuan yang berpadu dengan desah penuh nikmat sama seperti beberapa saat yang lalu. Gunung es di antara mereka telah benar-benar mencair, lenyap tak berbekas dan menghangatkan mereka seketika. Tidak ada lagi kecurigaan, keraguan dan perasaan-perasaan aneh yang membuat keduanya menjadi asing. Perselisihan mereka sudah sampai pada satu titik temu, satu keputusan dan satu kata yang sama. Joana sepakat resign, sepakat bebannya berpindah pada Danan meskipun awalnya dia ragu. Danan pun sama sekali tidak mempermasalahkan tanggungjawab baru yang harus dia pikul sampai tahun depan. Baginya, yang penting Joana akan selalu ada menjadi tempat ternyaman Danan melepas segala penat dan lelahnya ketika habis bekerja. Hanya itu yang Danan minta yang dang istri, tidak lebih. "Setelah ini, berjanjilah