Jonathan menatap nanar kepergian Adit, ia terus menatap sosok itu sampai kemudian punggung Adit tidak terlihat oleh mata. Tubuh Jonathan seketika lemas, ia bersandar di sofa dengan dua tangan menutupi wajah. Pikirannya penuh, hatinya bergejolak antara rasa kesal, sedih, kecewa dan marah berbaur menjadi satu. Jonathan mendesah, ia bangkit ketika teringat sesuatu. Langkah Jonathan terayun menuju kamar Sabrina, ia menekan knop pintu, melangkah masuk ke dalam dan mendapati Reni duduk di tepi ranjang dan tengah menatapnya dengan serius. "Benar wanita itu Asha, Jo?" cecar Reni ketika Jonathan menghampirinya. Jonathan mendesah, ia menjatuhkan diri tepat di sebelah Reni. Tangan Jonathan meraih tangan Reni, meremas tangan ibunya itu dengan lembut. "Maafkan, Jo, Ma." desis Jonathan lirih. Reni menoleh, "Kenapa jadi minta maaf ke mama?" tanya Reni dengan tatapan dingin. "Jo nggak pernah dengerin Mama." jawab Jonathan dengan mata memerah. "Jadi ... setelah ini kamu mau dengerin mama, Jo?"
"Jo nggak pernah larang Mama sama papa kalau mau ketemu Sabrina, Ma. Tapi untuk Nea, maaf Jo nggak bisa izinin." ucap Jonathan final, setelah semua perdebatan itu usai. Gina mau mengakui kesalahannya, dan Jonathan, ia tidak akan mempermasalahkan kejadian ini dengan catatan, Gina atau siapapun tidak lagi mencampuri dan menganggu privasi Jonathan. "Mama masih tidak mengerti, Jo." desis suara itu lirih. Jonathan mendesah panjang, "Terkadang ada beberapa hal yang kita tidak perlu benar-benar pahami, Ma. Terlebih jika itu sudah bukan lagi urusan kita." ucap Jonathan menampar Gina keras-keras. "Bukan berarti Jo tidak cinta sama Tania Ma ... cukup Tuhan dan Jonathan yang tahu tentang itu, Jo hanya sedang berusaha melanjutkan hidup. Hanya itu." lanjut Jonathan yang kembali membuat suasana hening. "Kamu benar-benar tidak mau mencoba kenal lebih dekat dengan Nea, Jo? Mama takut ka--""Tidak, Ma!" jawab Jonathan tegas. "Jika laki-laki lain bisa jatuh cinta dengan saudari kandung istrinya, b
"Ya, Jo pasang CCTV di kamar Bina." Jonathan membetulkan letak duduknya, ia menangkap ada sorot terkejut dan takut di dua wajah itu. "Itulah jawaban kenapa Jo terkesan tidak percaya dengan tuduhan Mama pada Asha. Jo bisa awasi dia selama 24 jam, dan selama ini tidak pernah ada hal aneh yang terjadi." lanjut Jonathan ketika semua hening. "Jadi ... Mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi!"Dua orang itu nampak gelisah, sementara laptop masih di tangan Adit, Jonathan kembali bersuara, sengaja menekan ibu mertua dan adik iparnya sekaligus. "Lagipun kalau benar Asha melakukan itu, kenapa tidak Mama seret dia ke kantor polisi?" kejar Jonathan, ketika Gina sama sekali tidak mampu berucap lagi. "Dua obat itu masuk ke dalam kategori obat keras, penggunaan secara berlebih dan sembarangan bisa menganggu kerja hormon dan dampak ke tubuh akan sangat luar biasa. Asha bisa dilaporkan dan dijerat dengan pasal berlapis karena membahayakan nyawa seseorang dan penyalahgunaan obat-obatan, kenapa Ma
Asha melupakan semua rasa sakit dan kepanikannya, ia lebih panik menatap wajah Ista. Sepupunya itu segera turun dari mobil, meraih ke dua tangganya dan segera berucap. "Demi apapun, Sha, kamu harus balik sekarang!" ucap Ista dengan mimik serius. "Balik? Sekarang? Ta--""PAPAMU, ASHA! PAPAMU!" potong Ista cepat, matanya menatap langsung ke mata Asha. Seketika Asha membelalak, ia segera melupakan segala tuduhan keji yang ditayangkan padanya, perlakuan kasar yang dilakukan perempuan itu, Jonathan bahkan Sabrina, mereka seolah menguap dari otak Asha seketika. Tanpa bertanya lebih lanjut, Asha segera menarik Ista masuk dalam mobil. Ekspresi wajah dan sorot mata Ista tidak dibuat-buat membuat Asha kini dicengkeram ketakutan yang luar biasa. "Papa aku kenapa, Ta? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Asha kembali panik, kali ini dengan perkara yang berbeda. Ditanya begitu, bukannya menjawab, Ista malah menangis. Tangisnya pecah, ia sesegukan yang makin membuat Asha rasanya ingin menjerit sak
"I-ibu?"Bukan salah Asha terkejut mendapati perempuan itu muncul di rumah Jonathan, bukankah dia mengatakan bahwa tidak akan kemari selama Asha masih ada di sini? "Kenapa? Kamu nggak suka saya ada di sini?" sahut suara itu ketus. "Oh ... bu-bukan begitu, Ibu." Asha tergagap, "Saya sama sekali tidak berpikiran begitu.""Mana Sabrina?""Ada di ruang atas, Bu. Sedang sama Non Nea." jawab Asha dengan wajah tertunduk. Tanpa banyak bicara, Gina segera melangkah menapaki anak tangga, hati Asha mendadak risau, entah mengapa perasaan Asha jadi tidak enak. Asha mendadak gusar, ada apa ini? Apakah karena kehadiran Gina yang tidak biasa? Atau akan ada sesuatu yang terjadi? Asha menghela napas panjang, ia berusaha menenangkan diri. Dengan langkah ragu, Asha ikut naik ke lantai atas. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, berkali-kali Asha berbisik pada dirinya sendiri, berusaha agar tidak panik dan tidak berpikiran buruk. Namun semakin Asha menenangkan diri, ia malah semakin tidak karuan.
"Pagi!"Cup! Asha terkejut, bukan karena sapaan selamat pagi yang mendadak itu, tetapi karena kecupan tiba-tiba yang Jonathan layangkan padanya. Mata mereka bertemu, melihat senyum hangat di wajah itu, mau tak mau Asha ikut tersenyum. Membuat lelaki itu tertawa kecil lalu meraih dan mendekap tubuhnya. "Tau nggak sih meluk kamu kayak gini tuh rasanya nyaman banget, Sha!" bisik Jonathan sembari mencium aroma rambut Asha. "Senyaman apa?" pancing Asha ambil mengusap punggung lelaki itu. "Nyamannya sampai nggak bisa diungkapin dengan kata-kata."Asha tertawa, ia melepaskan tubuh Jonathan yang memeluknya itu, mata mereka kembali bertemu, masih dengan senyum hangat Jonathan yang membuat hari Asha begitu indah rasanya. "Aku agak malam pulang hari ini." ucap Jonathan kemudian. "Ada banyak jadwal operasi?" tanya Asha sembari mengusap lembut pipi Jonathan. "Rumah sakit kedatangan tim asesor, dari BPJS juga mau ada meeting sama petinggi yang lain, Sayang. Jadi mungkin malam pulangnya." pa