Adit tengah termenung sembari menyesap kopi di kontrakan dua sahabatnya, matanya menatap nanar ubin keramik di bawah, berharap menemukan jawaban dari tugas yang tengah dia urus hari ini. Namun sayang, hampir 30 menit Adit melamun sembari memandangi ubin itu, tidak ada jawaban yang muncul di sana. Deru suara motor terdengar, kepala Adit menoleh, nampak Bagas datang dan tengah memarkirkan motor. "Dit, ketemu!" ucapnya yang seketika membuat kobaran semangat kembali hidup dalam diri Adit. "Serius, lu? Bener mobilnya itu?" tanya Adit tidak sabar. "Sumpah! Nopol sama, ciri-ciri mobil sama, ini gue minta nomor hapenya tadi. Dia driver taksi online." ucap Bagas sembari menyodorkan ponsel. Adit segera menerima ponsel dari tangan Bagas, tanpa menunggu banyak waktu, ia segera menghubungi nomor itu, berharap punya jawaban kemana Asha dibawa pergi oleh Ista. Cukup lama panggilan Adit terabaikan, sampai kemudian sapaan itu terdengar oleh telinga. "Halo?""Ah halo, Pak!" balas Adit sembari be
"Ini hape bentukan udah kayak gini dan bos elu itu suruh elu hidupin lagi, Dit?" Bimo berteriak, ia menunjuk ponsel di atas meja sembari melotot ke arah Adit yang tengah menopang kepala sembari memejamkan mata. "Bos lu coba deh bawa ke psikiater, Dit. Gue takut udah kena dia!" sahut Bagas acuh, tak peduli dengan ponsel yang kini dibawa Adit ke kontrakan mereka. "Ayolah, gue butuhnya elu pada bantuin gue, bukan malah pada kasih saran yang nggak mungkin gue lakuin itu!" desis Adit setelah bungkam beberapa menit. "Kemaren nyari orang yang dia cuma tahu namanya doang, terus nyari orang lagi modal nama sama KTP yang alamatnya nggak mungkin didatengin orang itu, ini bawa hape bentukan kayak gini suruh idupin lagi, besok-besok elu nggak disuruh nyari keturunan Tyrex di Amazone sana, kan?"Adit mendesah panjang, "Nyari bos batubara noh habis ini."Mendengar itu baik Bagas maupun Bimo kompak saling pandang, mereka lantas menatap Adit yang tengah sakit kepala itu dengan tatapan tidak mengert
Jonathan menatap nanar kepergian Adit, ia terus menatap sosok itu sampai kemudian punggung Adit tidak terlihat oleh mata. Tubuh Jonathan seketika lemas, ia bersandar di sofa dengan dua tangan menutupi wajah. Pikirannya penuh, hatinya bergejolak antara rasa kesal, sedih, kecewa dan marah berbaur menjadi satu. Jonathan mendesah, ia bangkit ketika teringat sesuatu. Langkah Jonathan terayun menuju kamar Sabrina, ia menekan knop pintu, melangkah masuk ke dalam dan mendapati Reni duduk di tepi ranjang dan tengah menatapnya dengan serius. "Benar wanita itu Asha, Jo?" cecar Reni ketika Jonathan menghampirinya. Jonathan mendesah, ia menjatuhkan diri tepat di sebelah Reni. Tangan Jonathan meraih tangan Reni, meremas tangan ibunya itu dengan lembut. "Maafkan, Jo, Ma." desis Jonathan lirih. Reni menoleh, "Kenapa jadi minta maaf ke mama?" tanya Reni dengan tatapan dingin. "Jo nggak pernah dengerin Mama." jawab Jonathan dengan mata memerah. "Jadi ... setelah ini kamu mau dengerin mama, Jo?"
"Jo nggak pernah larang Mama sama papa kalau mau ketemu Sabrina, Ma. Tapi untuk Nea, maaf Jo nggak bisa izinin." ucap Jonathan final, setelah semua perdebatan itu usai. Gina mau mengakui kesalahannya, dan Jonathan, ia tidak akan mempermasalahkan kejadian ini dengan catatan, Gina atau siapapun tidak lagi mencampuri dan menganggu privasi Jonathan. "Mama masih tidak mengerti, Jo." desis suara itu lirih. Jonathan mendesah panjang, "Terkadang ada beberapa hal yang kita tidak perlu benar-benar pahami, Ma. Terlebih jika itu sudah bukan lagi urusan kita." ucap Jonathan menampar Gina keras-keras. "Bukan berarti Jo tidak cinta sama Tania Ma ... cukup Tuhan dan Jonathan yang tahu tentang itu, Jo hanya sedang berusaha melanjutkan hidup. Hanya itu." lanjut Jonathan yang kembali membuat suasana hening. "Kamu benar-benar tidak mau mencoba kenal lebih dekat dengan Nea, Jo? Mama takut ka--""Tidak, Ma!" jawab Jonathan tegas. "Jika laki-laki lain bisa jatuh cinta dengan saudari kandung istrinya, b
"Ya, Jo pasang CCTV di kamar Bina." Jonathan membetulkan letak duduknya, ia menangkap ada sorot terkejut dan takut di dua wajah itu. "Itulah jawaban kenapa Jo terkesan tidak percaya dengan tuduhan Mama pada Asha. Jo bisa awasi dia selama 24 jam, dan selama ini tidak pernah ada hal aneh yang terjadi." lanjut Jonathan ketika semua hening. "Jadi ... Mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi!"Dua orang itu nampak gelisah, sementara laptop masih di tangan Adit, Jonathan kembali bersuara, sengaja menekan ibu mertua dan adik iparnya sekaligus. "Lagipun kalau benar Asha melakukan itu, kenapa tidak Mama seret dia ke kantor polisi?" kejar Jonathan, ketika Gina sama sekali tidak mampu berucap lagi. "Dua obat itu masuk ke dalam kategori obat keras, penggunaan secara berlebih dan sembarangan bisa menganggu kerja hormon dan dampak ke tubuh akan sangat luar biasa. Asha bisa dilaporkan dan dijerat dengan pasal berlapis karena membahayakan nyawa seseorang dan penyalahgunaan obat-obatan, kenapa Ma
Asha melupakan semua rasa sakit dan kepanikannya, ia lebih panik menatap wajah Ista. Sepupunya itu segera turun dari mobil, meraih ke dua tangganya dan segera berucap. "Demi apapun, Sha, kamu harus balik sekarang!" ucap Ista dengan mimik serius. "Balik? Sekarang? Ta--""PAPAMU, ASHA! PAPAMU!" potong Ista cepat, matanya menatap langsung ke mata Asha. Seketika Asha membelalak, ia segera melupakan segala tuduhan keji yang ditayangkan padanya, perlakuan kasar yang dilakukan perempuan itu, Jonathan bahkan Sabrina, mereka seolah menguap dari otak Asha seketika. Tanpa bertanya lebih lanjut, Asha segera menarik Ista masuk dalam mobil. Ekspresi wajah dan sorot mata Ista tidak dibuat-buat membuat Asha kini dicengkeram ketakutan yang luar biasa. "Papa aku kenapa, Ta? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Asha kembali panik, kali ini dengan perkara yang berbeda. Ditanya begitu, bukannya menjawab, Ista malah menangis. Tangisnya pecah, ia sesegukan yang makin membuat Asha rasanya ingin menjerit sak