Melupakan kejadian tadi pagi, Cal berinisiatif menemui kembarannya di kantor siang ini.
Namun, kembarannya itu bersikap semakin tidak acuh, tidak ingin mendengar penjelasan Cal sama sekali.“Clair dengarkan dulu, aku mohon!” pinta Cal mencekal pergelangan tangan saudarinya.“Menyingkir dari hadapanku, sekarang!” bentak Clair sembari menunjuk pintu utama gedung.Buru-buru Cal menggelengkan kepala dan menatap tegas wajah Clair. Ia tidak bergerak sedikit pun, tidak peduli kalau ia menjadi tontonan publik sekarang.“Kemarin malam aku—“Ucapan itu terputus mana kala wanita itu justru dihadiahi tamparan keras dari Clair.“Kamu pengkhianat Cal! Wanita bermuka dua tidak tahu malu, licik dan murahan!" Clair menunjuuka wajah Cal dengan pandangan jijik. "Kamu bahkan menggunakan cara kotor untuk merebut tunangan kembaranmu!”Cal membiarkan Clair meluapkan amarah dan menjadikan dirinya sasaran.Ia akui, ada andil kelalaiannya semalam. Akan tetapi, ia tidak ingin masalah itu berlarut, apalagi sampai mengorbankan perasaan Clair dan membuat keluarganya kecewa pada Cal.“Tidak, Clair. Aku tidak pernah merebut apa pun darimu!” balas Cal maju satu langkah mengikis jarak.Sayang, dengan cepat Clair mendorong Cal hingga terjatuh menyentuh kerasnya lantai.Cal meringis kesakitan, ia hendak berdiri, tetapi mendadak Clair mensejajarkan tubuh dengannya. Wanita itu menarik sebelah sudut bibir, sembari menggerakkan tangan kanan.Cal pikir, kembarannya ingin menolong, ternyata salah, sebab Clair melambaikan tangan pada petugas keamanan yang berdiri cukup jauh mengawasi mereka.“Aku tahu, kamu iri karena hubunganku dengan Al. Kamu juga ingin memilikinya, kan?” Clair geleng-geleng kepala, lalu tersenyum sinis. “Kamu tahu aku menyukainya sejak dulu. Seharusnya kamu juga tahu siapa diantara kita yang lebih layak menjadi istrinya, Cal!"Kembaran Cal itu begitu tahu caranya menggunakan kekurangannya. Wanita itu kembali mengungkit kejadian masa lalu, di mana saat itu Clair menjadi penyelamat Al hingga pria itu lolos dari maut.Padahal saat itu, Al dan Cal lebih dulu dekat bahkan hingga menimbulkan getaran cinta di hati Cal. Namun, ketika mengetahui peran Clair untuk Al, juga desakan orang tuanya untuk mengalah ... Cal mengubur semua perasaannya begitu saja.“A-ku tahu, Clair." Cal mengalihkan pandangannya. Mengingat masa-masa itu kadang masih membuatnya sesak. "Aku juga sudah janji membantu kamu menjalin hubungan dengannya,” sambungnya lagi.“Ya, dan kamu telah mengingkari janjimu!”Lalu, Clair melirik ke arah seorang security yang mulai mendekat. Tepat sesaat security itu akan mencapai tempatnya, tubuh wanita itu tiba-tiba roboh."Clair!" Cal spontan kaget. Ia menatap orang-orang yang memperhatikan mereka. “Siapa pun, tolong bawa Clair ke rumah sakit!” katanya sudah menahan tangis ketakutan.**Sesampainya di rumah sakit, Cal yang tidak diizinkan masuk itu mondar-mandir di depan ruangan. Perasaan bersalahnya membuat ia tidak tenang memikirkan penyakit kembarannya.Begitu dari celah pintu terlihat pemeriksaan telah selesai, Cal buru-buru menerobos pintu."Clair, apa yang kamu rasakan sekarang?" Ia menatap dokter, berniat mengajukan pertanyaan lagi, tetapi Clair keburu mengusir mereka.Setelah semuanya keluar, Cal hendak mendekati ranjang pasien tetapi Clair melemparinya dengan tas dan bantal.“Puas kamu Cal! Sepertinya kamu senang melihatku menderita. Kamu ingin aku cepat matis upaya kamu bisa menguasai perusahaan dan benar-benar merebut Al dariku, kan” cerca Clair.Cal berjongkok merapikan benda-benda yang dilempar Clair. “Kamu pasti sembuh Clair, jangan bilang begitu!”“Mulutmu itu pandai membual! Sebenarnya hatimu sangat jahat!” teriak Clair, tetapi mendadak wanita itu menangis sesenggukan. “Kamu menusukku dari belakang!"Tiba-tiba pintu masuk ruangan bergeser lebar, seorang wanita paruh baya tergesa-gesa masuk. Dalam posisinya saat ini, Cal bisa melihat raut kecemasan memenuhi wajah sang ibu yang langsung memeluk dan memeriksa sekujur tubuh Clair dengan saksama.Cal tersenyum masam melihat interaksi ibu dan anak itu. Rasanya, sudah lama sekali ia tidak merasakan hangatnya dekapan sang ibu.Tanpa terasa, satu bulir bening menetes membasahi pipi merah Cal, relung hatinya membenarkan ucapan Clair. Ia memang iri pada saudari kembarnya dalam hal perhatian orang tua.Cal paham, semua itu berawal dari kecelakaan beberapa tahun lalu. Kondisi Clair sempat mengalami kelumpuhan, sementara dirinya dicap sebagai biang kecelakaan kala itu. Sejak saat itu, seluruh perhatian, terutama dari sang ibu hanya tercurah untuk kakak kembarnya.Namun, yang ia tidak terima adalah ... Ia bukanlah dalang kecelakaan itu. Ia tidak mungkin memiliki niat buruk untuk mencelakai saudara kembarnya sendiri.“Ibu tahu, ini pasti ulahmu!" Suara lembut itu menghujam tepat di tengah dada Cal.Saat ini, Cal merasa kondisinya bahkan setara dengan Clair. Ia juga butuh dukungan, tetapi tidak ada seorang pun yang berdiri di sisinya membuat ia lelah."A-aku—"“Keluarlah Cal! Kamu selalu membuat Ibu kecewa!”Masih di tempatnya, Cal mengepalkan tangan. Sembari menundukkan kepala, ia menyeka air mata. Tidak mau orang lain mengetahui kalau ia menangisi nasib buruknya.Setelah memastikan tidak ada lagi jejak air mata di pipi, Cal menatap sang ibu lalu membungkukkan badan sebelum kemudian keluar dari kamar rawat Clair.Di depan pintu, tubuh Cal merosot menyentuh lantai, telapak tangannya menepuk pelan dada.'Aku tidak bersalah!' ucap Cal berulang kali di tengah tangis pilunya.Beberapa menit menangis, setelah merasa perasaannya jauh lebih ringan ... Cal mencoba bangkit sembari menopang pada dinding.Tanpa Cal ketahui, dari ujung selasar, seseorang tengah mengamati gerak-geriknya. Bahkan sosok itu hampir melangkah ketika melihat Cal kesulitan berdiri, tetapi urung karena wanita itu mampu mengatasinya.**Satu hari berlalu, seperti sebelumnya, pagi ini Cal yang merupakan anak magang di perusahaan milik keluarga masuk seperti biasa.Namun, ada yang berbeda kala ini. Di mana tatapan beberapa karyawan menatapnya sinis.‘Kenapa mereka semua melihatku?’ tanya Cal dalam hati.Ia memperhatikan semua orang, terutama para wanita seolah-olah ingin mencabik dan mencakar wajahnya. Akan tetapi Cal tak acuh, memilih kembali mengayunkan kaki menuju lift.Tepat di depan pintu besi, Cal memeriksa ponsel. Ia terbelalak melihat banyaknya pesan singkat serta panggilan suara yang masuk.Cal membaca isinya, betapa terkejutnya ia mengetahui berita buruk tentangnya beredar luas. Saat ia tengah mencerna berita tersebut, asisten pribadi ayahnya datang menghampiri.“Nona Cal? Sebaiknya Anda ikut saya.”“Ada apa Pak? Apakah ini mengenai proposal yang saya ajukan?” tanya Cal ragu-ragu, menyembunyikan masalahnya dalam sebuah senyum palsu.Pria itu menggelengkan kepala. “Mulai sekarang, Nona dipindahkan ke perusahaan lain."“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Hamil?” Clair tercengang. Reaksi pasangan itu sangat berbanding terbalik. Liam selalu menebar senyum bahkan berbagi kebahagiaan bersama pegawai rumah sakit. Ia mentraktir makan. Sedangkan Clair tampak terpukul.“Istriku kenapa sedih? Seharusnya kamu senang.” Liam merangkul bahu Claira.Wanita itu menunduk menatap perutnya. “Kenapa aku bisa hamil? Liam aku … belum siap menjadi ibu.”Seketika senyum manis di wajah Liam menghilang. Kini pria bermata sipit itu mengetahui Claira enggan mengandung anaknya.“Kita sudah menikah, bercinta dan melakukan berulang kali. Kita tidak menunda kehamilan. Jadi … kamu menolak?” tanya Liam dengan perasaan kecewa.Clair tersadar dari pikirannya. Ia menatap wajah sendu sang suami. Kedua tangan mulus wanita itu menangkup pipi Liam.“Maksudnya bukan begitu. Liam … aku ini seorang pendosa. A-aku tidak menyangka hamil dalam waktu dekat. A-aku juga … merasa bukan ibu yang baik.” Claira melepaskan tangan dari rahang Liam lalu menunduk dalam.Liam tersenyum kec
“Aku bingung bagaimana cara mengatakannya,” gumam Claira. Raut wajah wanita itu terlihat sedih.Calantha mengernyit dan menopang dagunya. [Maksudmu?] “Aku ingin pindah rumah, tapi ibu mertuaku melarang. Alasannya kesepian, karena sebelumnya Liam sibuk bekerja.” Claira cemberut. “Kami tidak punya waktu berdua.” Calantha manggut-manggut. Ia mengerti keinginan kakak kembarnya. Istri Alessandro Javier itu tersenyum penuh arti lantas mendekatkan kepala dengan layar ponsel.[Bilang saja langsung kalau kamu ingin pacaran bersama Liam.] Calantha menaik-turunkan alisnya.“Mana bisa seperti itu!” sentak Claira.Setelah satu bulan tinggal di rumah mertua, Claira kehilangan figure Liam. Pria itu lebih sering pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Bahkan satu minggu ini keduanya tidak berhubungan intim.Claira mengakhiri panggilan video bersama Cal. Ia bergegas menemui ibu mertua di lantai satu. Ia melihat wanita paruh baya itu sedang kesulitan berjalan. Buru-buru Clair membantu.“Hati-hati B
Malam pertama yang seharusnya berujung menyenangkan dengan suasana romantis, justru sebaliknya. Kini, vila pribadi Keluarga Hofer dikunjungi dokter serta perawat yang mengobati Liam. Pria itu mendadak demam paska berenang.“Bagaimana kondisinya? Perlu dirawat inap?” berondong Clair kepada dokter. Ia memperhatikan wajah pucat sang suami.Sedangkan Liam menahan malu sekaligus gundah. Pria itu merasa bersalah gagal menjadi sosok suami idaman bagi pujaan hati. Dokter berkata dengan cemas, “Demamnya cukup tinggi mencapai empat puluh derajat. Tapi Tuan Liam menolak.”Clair mendengus, lantas berjalan mendekati suaminya yang sedang berbaring tidak berdaya.“Kamu masih mau hidup?” tegas wanita itu membuat mata sipit Liam membelalak.Clair bertolak pinggang dan menatap tajam suaminya. “Kita baru menikah satu hari, kamu mau menjadikan aku janda?” Liam meneguk saliva dan menggeleng pelan. Ia tahu istrinya memang galak, tetapi tidak menyangka mulut Claira sangatlah tajam.“Jangan bilang begitu.
Satu tahun berlalu sangat cepat, kesabaran Liam membuahkan hasil. Pagi ini, Liam dan Claira telah resmi menjadi sepasang suami istri. Keduanya sedang menandatangani akta pernikahan. Calantha bersama keempat anaknya duduk di kursi paling depan. Ia menangis haru karena Clair mendapatkan belahan jiwa. Ia juga tahu Clair belum sepenuhnya melupakan Alessandro. Wanita itu beranjak mendekati kembarannya. “Haruskah aku memanggilmu Nyonya Hofer?” goda Calantha. Liam menyambar, “Tentu saja! Dia istriku, dan kamu harus memanggilku kakak meskipun kita seumuran.” Tawa pria itu. Tiba-tiba Alessandro memukul kepala Liam. Ia berkata dengan tegas, “Tidak boleh memanggil kakak! Panggil nama saja.” Seketika altar pernikahan dihiasi gelak tawa dari semua orang. Mereka melihat kedekatan putri Caldwell dan kekompakan para menantu. “Sudah seharusnya aku patuh kepada yang lebih dewasa.” Liam menyengir, menjadikan mata sipitnya tak terlihat. Alessandro memelotot karena secara tidak langsung Liam menge
Claira melempar kerikil kecil ke sembarang arah. Pikiran gadis itu dilanda gundah gulana. Ia ketakutan Alessandro memberitahu keluarga besarnya tentang sebuah kebenaran. Clair menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Calantha mengetahui kenangan bersama Al diambil alih olehnya.Ketika wanita itu melepar kerikil cukup besar, seseorang memekik. “Aw!”“Ya ampun!” Claira sigap menghampiri sumber suara. Ia ternganga mendapati Liam sedang mengelus kening.Sialnya, kening pria tampan itu berubah merah.“Liam, maaf. Aku tidak bermaksud—““Apa yang kamu pikirkan?” Liam meringis karena lemparan Clair sangat bertenaga.“Tidak ada!” tegas Clair. Ia tersenyum kaku.Padahal Liam sengaja meluangkan waktu setelah berminggu-minggu demi Clair. Pria itu tahu calon istrinya sedang gelisah. Hanya saja Liam pandai menutupi rahasia. Ia tidak mau ikut campur, cukup membeberkannya kepada Alessandro.Liam juga tahu Alessandro berniat mengubur masalah ini. Clair menoleh kepada Lia