'Sungguh hadiah yang benar-benar tidak terduga.'
Pesawat komersil yang ditumpangi Cal telah mendarat di Bandara Barajas, Madrid, tempat ia 'dibuang' oleh orang tuanya.Seorang keturuanan Keluarga Caldwell yang terbiasa hidup mewah, bekerja di perusahaan besar berskala internasional kini dipindahkan ke sebuah perusahaan kecil yang masih menjadi rekanan mereka.Belum lagi, tidak satu pun salam perpisahan ia dapatkan. Tidak dari ayahnya, ibunya, apalagi kembarannya.'Bukankah aku bagian dari keluarga juga?' gumamnya disertai gelengan kepala.Tanpa penjemputan dan hanya menggunakan taksi dari bandara, Cal bergegas menuju kantor barunya.Seharusnya, kedatangannya ke sini serupa dengan karyawan baru yang tanpa cela. Namun, entah mengapa, begitu sampai di perusahaan, Cal merasa kerdil karena terus ditatap sinis oleh rekan kerjanya. Beberapa bahkan bergunjing pelan.Beruntung seorang pria berperawakan tinggi, rambut klimis dan kacamata tebal menghampiri Cal di tengah lobi luas tak bertepi. Cal kemudian diantar menuju divisi pemasaran, tempat barunya di sini.Tatapan sinis tak kunjung hilang, terlebih saat mengetahui Cal menempati kubikel besar yang setara dengan senior-senior. Namun, lagi-lagi Cal memilik tidak peduli. Tugasnya yang sudah menumpuk lebih penting untuk diperhatikan.Hingga hari menjelang petang, Cal baru tersadar jika ia melewatkan istirahat makan siang ... Hingga nyaris jam pulang, di mana rekannya yang lain sudah lebih dulu menghilang."Pantas saja perutku memberontak!" Ia memegangi perutnya yang mulai bergejolak.Rasa mual mulai tidak tertahankan. Namun, mengingat ia harus memberikan pekerjaannya pada manajer, ia pun buru-buru merapikan berkas dan berjalan menuju ruang atasan.Tepat di depan ruangan manajer, mendadak penglihatannya berputar, kepalanya bagai tertusuk puluhan jarum.Cal memegangi dan meremas kepala dengan kuat. Map tebal dalam pelukannya pun terjatuh, membuat lembaran kertas di dalamnya berhamburan.Seketika, tubuh wanita itu limbung. Ia sudah bersiap untuk menghantam kerasnya lantai, tetapi samar-samar ia melihat seorang pria dengan iris abu-abunya menatap Cal dengan pandangan khawatir.“Ayah??” lirih Cal sebelum kemudian tidak sadarkan diri.**“Kepalaku sakit sekali,” gumam Cal.Ia mengerjap, kemudian membuka lebar kedua kelopak matanya, mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan bernuansa putih khas rumah sakit.Namun, keningnya lantas mengerut, bertanya-tanya siapa orang baik hati yang membawanya ke rumah sakit?Tepat saat itu, suara dingin seorang pria membuat lamunan Cal terputus. “Sudah bangun? Ternyata badanmu lemah juga.”Spontan Cal merubah posisi, ia duduk dan memandang waspada pada seorang pria yang berdiri di samping jendela. Tiba-tiba dadanya bergemuruh, ia enggan melihat mantan tunangan kembarannya.“Kenapa kamu di sini?!” desak Cal dengan intonasi naik beberapa oktaf.“Kamu pikir orang pingsan bisa berjalan sendiri ke rumah sakit?” sarkas Al menyeringai, kemudian melangkah mendekati ranjang pasien.“Oh, terima kasih.” Cal menggeser pandangan, mengalihkan fokus dari sosok rupawan di depannya.Menyadari hari telah berganti, kening Cal lantas mengerut dalam, 'Berapa lama aku pingsan?'Tanpa diperintah oleh Cal, Al kemudian duduk di sofa dekat ranjang rawatnya sembari membuka segel makanan. Pria itu lantas meletakkan makanan tersebut ke atas kasur, tepat di hadapan Cal.“Makanlah. Kata dokter, asam lambungmu meningkat. Berapa lama kamu menahan lapar?”Pria itu tersenyum samar, Al mengenal Cal lebih dari lima belas tahun. Mereka bahkan berteman dekat, sebelum sesuatu menghancurkan segalanya. Jadi, praktis, Al tahu kebiasan wanita itu.Cal mendengus kasar, “Siapa bilang aku tidak makan?! Jangan percaya kata dokter!” Namun tidak lama kemudian, nyanyian dari lambungnya mengkhianati.Pria itu berdecak. “Jangan gengsi, makanlah!” Al mendorong nampan lebih dekat dengan Cal. “Setelah badanmu membaik, ikut aku ke catatan sipil, kita menikah.”Hampir saja Cal tersedak mendengar celotehan Al. Ia menggeleng dengan cepat, sorot matanya menatap tajam pada pria itu.“Bukan aku yang harusnya kamu nikahi! Nikahi Clair, dia calon istrimu!” tegas Cal. “Lagi pula kalau alasanmu karena kejadian beberapa hari lalu, lupakan saja. Tidak perlu tanggung jawab.” Cal menaruh sendok di atas piring, nafsu makannya sudah menghilang.“Lalu, bagaimana kalau kamu hamil?” Sebelah sudut bibir Al tertarik.“Aku tegaskan sekali lagi, aku tidak akan hamil. Jadi … menjauh dari hidupku!” Cal menyibak selimut hendak turun dari ranjang—berusaha menghindari Al.Sayangnya, upaya Cal melarikan diri tidak berhasil, dengan cepat Al menggendong tubuhnya."APA YANG KAMU LAKUKAN?! TURUNKAN AKU!"Al tidak menghiraukan teriakan nyaring wanita itu serta pukulan bertubi yang diarahkan Cal ke dada bidang pria itu.Hingga sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka berdua sampai di kantor catatan sipil, dengan Cal yang masih terhubung dengan botol infusnya.Sebelum memasuki ruang pencatatan pernikahan, Al menurunkan Cal dan menatapnya tajam. Kedua telapak tangan kekar pria itu mencengkeram kuat bahu Cal.“Dengarkan aku baik-baik, Calantha," ujarnya dengan suara dalam yang membuat Cal terhipnotis. "Saat ini, tidak ada orang yang bisa menolongmu selain aku. Untuk itu ... Jalan satu-satunya adalah menikah denganku."Mata Cal kemudian mengerjap. Tatapan yang semula terhipnotis pada paras Al, kini kembali berubah sinis. “Kamu mengancamku? Keterlaluan!”“Katakanlah begitu. Tapi, lihatlah ini.” Al menyerahkan ponsel ke depan wajah Cal.Layar ponsel itu berisi deretan kalimat yang kemudian dibaca Cal dengan saksama.Tubuh wanita itu bergetar, tangannya mengepal dan wajah yang sebelumnya pucat kini berubah memerah. Deru napas Cal pun terdengar lebih memburu.“Bagaiamana?" tanya Al yang melihat perubahan Cal. Pria itu kemudian mendekat, dan berbisik lembut di telinga wanita itu, "Aku bisa memulihkan nama baikmu dan membantumu mencapai semua yang kamu inginkan."Jantung Cal seketika mencelos. Ia kembali dihadapkan oleh dua pilihan. Cal mundur satu langkah, ia tampak menimbang-nimbang, membuat kepalanya berdenyut nyeri.Hingga akhirnya wanita itu sampai pada suatu keputusan. “Baiklah, aku bersedia menikah," ujar Cal. "Tapi, pastikan kamu menepati janjimu!"“Selamat Tuan Hofer, bayinya lahir dengan sehat.” Dokter mengulurkan tangan kanan sambil tersenyum lebar. Liam berkaca-kaca mendengar kabar menggembirakan. Ia gegas menghubungi ibunya dan beberapa kerabat terdekat untuk menjenguk anggota keluarga baru. Setelah itu Liam memasuki ruang pemulihan. Ia melihat dua bayi menelungkup di atas dada sang istri. “Claira ….” Liam sesenggukan. Ia mengekspresikan diri karena memiliki buah cinta dari gadis pujaannya di masa sekolah. Bahkan tangan Liam tidak sanggup menyentuh kulit tipis nan lembut miliik bayinya. “Kamu memiliki dua anak laki-laki.” Claira tersenyum merekah melihat dua bayi itu sibuk mencari puncak nutrisi. “Kita. Kita memiliki dua putra. Dan kamu satu-satunya perempuan cantik diantara kami.” Liam setengah tertawa dan menangis ketika mengatakannya. Sedangkan Claira tergelak membuat kedua bayi di atas tubuhnya terkejut lalu merengek. Pasangan itu saling menatap satu sama lain kemudian tertawa bersama-sama melihat tingkah mengge
“Hamil?” Clair tercengang. Reaksi pasangan itu sangat berbanding terbalik. Liam selalu menebar senyum bahkan berbagi kebahagiaan bersama pegawai rumah sakit. Ia mentraktir makan. Sedangkan Clair tampak terpukul.“Istriku kenapa sedih? Seharusnya kamu senang.” Liam merangkul bahu Claira.Wanita itu menunduk menatap perutnya. “Kenapa aku bisa hamil? Liam aku … belum siap menjadi ibu.”Seketika senyum manis di wajah Liam menghilang. Kini pria bermata sipit itu mengetahui Claira enggan mengandung anaknya.“Kita sudah menikah, bercinta dan melakukan berulang kali. Kita tidak menunda kehamilan. Jadi … kamu menolak?” tanya Liam dengan perasaan kecewa.Clair tersadar dari pikirannya. Ia menatap wajah sendu sang suami. Kedua tangan mulus wanita itu menangkup pipi Liam.“Maksudnya bukan begitu. Liam … aku ini seorang pendosa. A-aku tidak menyangka hamil dalam waktu dekat. A-aku juga … merasa bukan ibu yang baik.” Claira melepaskan tangan dari rahang Liam lalu menunduk dalam.Liam tersenyum kec
“Aku bingung bagaimana cara mengatakannya,” gumam Claira. Raut wajah wanita itu terlihat sedih.Calantha mengernyit dan menopang dagunya. [Maksudmu?] “Aku ingin pindah rumah, tapi ibu mertuaku melarang. Alasannya kesepian, karena sebelumnya Liam sibuk bekerja.” Claira cemberut. “Kami tidak punya waktu berdua.” Calantha manggut-manggut. Ia mengerti keinginan kakak kembarnya. Istri Alessandro Javier itu tersenyum penuh arti lantas mendekatkan kepala dengan layar ponsel.[Bilang saja langsung kalau kamu ingin pacaran bersama Liam.] Calantha menaik-turunkan alisnya.“Mana bisa seperti itu!” sentak Claira.Setelah satu bulan tinggal di rumah mertua, Claira kehilangan figure Liam. Pria itu lebih sering pulang malam dan pergi pagi-pagi sekali. Bahkan satu minggu ini keduanya tidak berhubungan intim.Claira mengakhiri panggilan video bersama Cal. Ia bergegas menemui ibu mertua di lantai satu. Ia melihat wanita paruh baya itu sedang kesulitan berjalan. Buru-buru Clair membantu.“Hati-hati B
Malam pertama yang seharusnya berujung menyenangkan dengan suasana romantis, justru sebaliknya. Kini, vila pribadi Keluarga Hofer dikunjungi dokter serta perawat yang mengobati Liam. Pria itu mendadak demam paska berenang.“Bagaimana kondisinya? Perlu dirawat inap?” berondong Clair kepada dokter. Ia memperhatikan wajah pucat sang suami.Sedangkan Liam menahan malu sekaligus gundah. Pria itu merasa bersalah gagal menjadi sosok suami idaman bagi pujaan hati. Dokter berkata dengan cemas, “Demamnya cukup tinggi mencapai empat puluh derajat. Tapi Tuan Liam menolak.”Clair mendengus, lantas berjalan mendekati suaminya yang sedang berbaring tidak berdaya.“Kamu masih mau hidup?” tegas wanita itu membuat mata sipit Liam membelalak.Clair bertolak pinggang dan menatap tajam suaminya. “Kita baru menikah satu hari, kamu mau menjadikan aku janda?” Liam meneguk saliva dan menggeleng pelan. Ia tahu istrinya memang galak, tetapi tidak menyangka mulut Claira sangatlah tajam.“Jangan bilang begitu.
Satu tahun berlalu sangat cepat, kesabaran Liam membuahkan hasil. Pagi ini, Liam dan Claira telah resmi menjadi sepasang suami istri. Keduanya sedang menandatangani akta pernikahan. Calantha bersama keempat anaknya duduk di kursi paling depan. Ia menangis haru karena Clair mendapatkan belahan jiwa. Ia juga tahu Clair belum sepenuhnya melupakan Alessandro. Wanita itu beranjak mendekati kembarannya. “Haruskah aku memanggilmu Nyonya Hofer?” goda Calantha. Liam menyambar, “Tentu saja! Dia istriku, dan kamu harus memanggilku kakak meskipun kita seumuran.” Tawa pria itu. Tiba-tiba Alessandro memukul kepala Liam. Ia berkata dengan tegas, “Tidak boleh memanggil kakak! Panggil nama saja.” Seketika altar pernikahan dihiasi gelak tawa dari semua orang. Mereka melihat kedekatan putri Caldwell dan kekompakan para menantu. “Sudah seharusnya aku patuh kepada yang lebih dewasa.” Liam menyengir, menjadikan mata sipitnya tak terlihat. Alessandro memelotot karena secara tidak langsung Liam menge
Claira melempar kerikil kecil ke sembarang arah. Pikiran gadis itu dilanda gundah gulana. Ia ketakutan Alessandro memberitahu keluarga besarnya tentang sebuah kebenaran. Clair menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Calantha mengetahui kenangan bersama Al diambil alih olehnya.Ketika wanita itu melepar kerikil cukup besar, seseorang memekik. “Aw!”“Ya ampun!” Claira sigap menghampiri sumber suara. Ia ternganga mendapati Liam sedang mengelus kening.Sialnya, kening pria tampan itu berubah merah.“Liam, maaf. Aku tidak bermaksud—““Apa yang kamu pikirkan?” Liam meringis karena lemparan Clair sangat bertenaga.“Tidak ada!” tegas Clair. Ia tersenyum kaku.Padahal Liam sengaja meluangkan waktu setelah berminggu-minggu demi Clair. Pria itu tahu calon istrinya sedang gelisah. Hanya saja Liam pandai menutupi rahasia. Ia tidak mau ikut campur, cukup membeberkannya kepada Alessandro.Liam juga tahu Alessandro berniat mengubur masalah ini. Clair menoleh kepada Lia