Adira dan Tedja meninggalkan rumah sakit dalam suasana yang sedikit tegang. Tedja tampak diam, matanya menatap lurus ke jalan. Pikirannya seolah masih tertinggal di ruang pertemuannya dengan Zia. Sementara itu, Adira memilih memandang keluar jendela, berusaha menikmati perjalanan menuju kafe tempat mereka janjian dengan dokter Giovanni. Hawa dingin dari AC mobil terasa menenangkan, meski atmosfer di dalam mobil tetap terasa berat.
“Kamu nggak mau nanya apa-apa? Nggak penasaran?” Tedja tiba-tiba membuka pembicaraan. Suaranya terdengar datar, namun nadanya seperti menantang.
“Hm... penasaran, sih. Tapi, sepertinya lebih baik saya tidak bertanya,” jawab Adira dengan tenang, meski nada bicaranya mengisyaratkan kehati-hatian.
“Walaupun saya bersedia menjawab?” Tedja menoleh sedikit, menatapnya dengan alis terangkat.
“Saya pikir itu urusan pribadi dokter yang tidak perlu saya pusingkan. Lagi pula, tugas saya kan cuma menjalankan keinginan dokter yang sudah membayar saya,” ucap Adira dengan nada profesional, mencoba mengalihkan kesan terlalu ingin tahu.
Tedja terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya lagi, “Kamu nggak ngerasa saya terlalu kejam memperlakukan Zia seperti tadi?”
Adira menoleh, menatapnya dengan pandangan serius. “Kita sudah saling kenal selama lebih dari dua tahun. Saya rasa itu cukup untuk menilai sifat Dokter. Saya yakin kalau Dokter punya alasan kuat untuk melakukan itu.”
Tedja tersenyum tipis. Pandangannya kembali tertuju ke jalan di depannya. “Ternyata saya nggak salah pilih,” batinnya.
Setelah beberapa saat, Tedja melanjutkan, “Syukurlah kalau kamu paham di mana batas kamu. Tapi, untuk hal ini, saya akan cerita. Kamu itu partner in crime saya. Jelas kamu harus tahu.”
Adira menyipitkan matanya, setengah bercanda. “Berasa jadi cewek antagonis.”
Tedja terkekeh. “Muka jutek kamu kan cocok tuh,” godanya.
Adira mendecak, “Ck! Baru kali ini saya dikatain bermuka jahat.”
Tedja terkekeh lagi sebelum menghela napas. “Sebelum sama kamu, saya hampir menikah dengan wanita lain tujuh tahun lalu.”
Mendengar itu, Adira tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Pandangannya beralih ke Tedja, mencoba membaca ekspresi bosnya itu. “Hampir menikah?”
Tedja meliriknya sekilas, senyum tipisnya berubah masam. “Kamu kok lebih kaget ini daripada pas saya ajak nikah kemarin?”
Adira meringis. “Heran aja, Dok. Soalnya Dokter kayak nggak pernah membicarakan soal percintaan.”
Tedja terkekeh pelan. “Oke, saya lanjut. Tapi, entah bagaimana, Zia berhasil meyakinkan mantan tunangan saya bahwa saya berselingkuh dengannya. Dan sejak pertengkaran terakhir kami, saya nggak pernah bisa menemukan tunangan saya itu.”
Adira mengangguk kecil, menyerap informasi itu dengan hati-hati. “Jadi, Dokter curiga kalau Zia penyebab kalian putus...”
“Bukan curiga, tapi saya punya buktinya,” kata Tedja, suaranya lebih serius sekarang. “Tetapi, saat saya akan menjelaskan ke mantan saya dengan bukti itu, dia sudah hilang. Sudah saya cari ke mana-mana, tetap tidak bisa saya temukan.”
Adira terdiam sejenak, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Perasaannya campur aduk—antara iba pada Tedja dan bingung dengan masa lalu yang mendadak diungkapkan ini. Sebuah pikiran lain melintas, dan tanpa sadar dia bertanya, “Kalau mantan tunangan Dokter kembali, apa saya akan langsung diceraikan?”
Tedja menoleh sekilas, mengangkat kedua bahunya. “Entahlah.”
Jawaban itu membuat Adira termenung. Ada sesuatu dalam nada Tedja yang sulit ia pahami—entah itu ketidakpedulian, atau justru keraguan yang tersirat.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di kafe. Tempat itu tidak terlalu ramai, suasananya hangat dengan dekorasi kayu yang dominan dan lampu temaram yang menenangkan. Pelayan menyambut mereka dengan ramah, mengantar mereka ke meja yang sudah dipesan sebelumnya. Adira memilih duduk di sudut, mencoba merasa nyaman dengan atmosfer kafe, sementara Tedja duduk di seberangnya, pandangannya terlihat lebih santai.
“Jadi, dokter Giovanni ini katanya salah satu ahli bedah jantung terbaik di generasinya?” tanya Adira, mencoba memulai percakapan sambil membuka buku menu.
Tedja mengangguk. “Dia baru selesai fellowship di luar negeri. Alaric Medika butuh spesialis sekelas dia untuk memperkuat tim bedah jantung kita.”
Adira mengangguk-angguk, lalu menambahkan dengan nada menggoda, “Hmm, kira-kira aslinya ganteng nggak ya, Dok? Di profilnya kan tertulis dia masih berumur 35 tahun. Masih muda, tuh.”
Tedja mendongak dari menunya, menatap Adira tajam. “Kamu mau naksir dokter lain sekarang?”
Adira tertawa kecil. “Kan cuma bercanda, Dok. Serius amat sih.”
Tedja menghela napas panjang, memilih untuk tidak menanggapi lebih jauh. Beberapa menit kemudian, seorang pria muda masuk ke kafe, mengenakan kemeja putih dengan jas hitam kasual. Tingginya menjulang, wajahnya tegas dengan senyum yang hangat. Mata Adira melebar saat mengenalinya.
“Kak Gio?” serunya, setengah tidak percaya.
Pria itu menoleh, senyumnya semakin lebar. “Adira? Wah, ini kejutan.”
Tedja mengerutkan kening, matanya bergantian memandang Adira dan Giovanni. “Kalian saling kenal?”
Adira mengangguk cepat. “Iya, Dok. Kak Gio ini kakaknya Gina, dokter IGD di rumah sakit kita.” Ia menoleh ke Giovanni dengan penuh rasa ingin tahu. “Tapi, aku kira Kak Gio masih di luar negeri. Gina nggak bilang apa-apa soal ini.”
Giovanni tertawa kecil sambil duduk di kursinya. “Gina memang suka merahasiakan hal-hal seperti ini. Aku baru pulang dua minggu lalu.”
“Fotonya juga agak beda, nih. Kak Gio kelihatan gendutan di foto, makanya aku gak langsung kenal,”
Giovanni mengelus kepala Adira, “Bisa aja kamu,”
Percakapan mereka pun mengalir lancar. Giovanni menjelaskan pengalamannya di luar negeri, rencananya untuk bergabung dengan Alaric Medika, dan antusiasmenya bekerja di Indonesia. Adira tampak sangat nyaman berbicara dengannya, sesekali tertawa kecil mendengar cerita Giovanni. Tedja, di sisi lain, lebih banyak diam. Ia hanya menimpali seperlunya, matanya sesekali memperhatikan interaksi antara Adira dan Giovanni dengan sorot yang sulit ditebak.
Setelah pembicaraan soal honor, jadwal kerja, dan poin-poin kontrak selesai, Giovanni pamit lebih dulu. Ia harus menghadiri acara keluarga bersama Gina malam itu.
“Sampai ketemu minggu depan, Kak Gio... Eh, maksud saya Dokter Giovanni. Saya akan kasih tahu Gina kalau aku ketemu Dokter hari ini,” kata Adira sambil melambai.
“Sampai ketemu, Adira. Dokter Tedja,” Giovanni menundukkan kepala sopan sebelum pergi.
Begitu Giovanni pergi, Tedja menyandarkan tubuhnya ke kursi, wajahnya terlihat serius. “Adira,” panggilnya tiba-tiba.
“Iya, Dok?” Adira menjawab, masih dengan senyuman yang belum hilang dari wajahnya.
Tedja menatapnya tajam. “Saya cuma mau ngingetin. Meskipun kita nikah tanpa cinta, saya berharap kamu nggak akan mempermalukan saya dengan bermesraan sama pria lain.”
Adira terperangah. “Bermesraan? Bagian mananya yang bermesraan, Dok?”
Tedja mendengus pelan, mengambil gelasnya lalu menyesap kopi dengan ekspresi dingin. “Jangan sok gak paham, Adira.”
Adira ingin membalas, tetapi akhirnya memilih diam. Mungkin ini hanya perasaannya, tapi sepertinya suasana hati Tedja kembali memburuk. Semoga saja itu cuma perasaan.
Langkah Adira hampir mencapai pintu keluar ketika suara lembut namun penuh otoritas menghentikannya. "Adira?" Adira menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya dengan senyum khasnya berdiri di dekatnya. Bu Dyah. Dari sekian banyak orang yang hadir di reuni ini, Bu Dyah adalah satu-satunya yang seharusnya bisa membuatnya merasa nyaman. Mantan wali kelasnya itu selalu terlihat lembut dan perhatian. Tapi, entah kenapa, tatapan hangatnya kini terasa mengikat, seperti jaring halus yang siap menahannya tetap di tempat. "Apa kamu sudah mau pulang?" tanya Bu Dyah dengan nada lembut, tapi ada sedikit nada keberatan di sana. Adira tetap menjaga ekspresi tenangnya. "Iya, Bu. Saya tidak bisa berlama-lama. Karena, niatnya cuma ikut makan saja." "Sayang sekali. Padahal saya ingin berbicara denganmu sebentar," ujar Bu Dyah. Dia melirik ke meja reuni di mana beberapa teman lama mereka masih sibuk mengobrol, tapi jelas memperhatikan mereka. "Kamu benar-benar tidak mau duduk sebentar lagi? Momen
Restoran Grand Orchid Hotel terasa semakin sesak bagi Adira. Bukan karena udara atau jumlah tamu yang banyak, melainkan karena atmosfer di meja reuni yang semakin lama semakin tidak nyaman. Dari tadi, obrolan terus mengalir tanpa melibatkan dirinya. Mereka membahas kisah sukses masing-masing, mulai dari bisnis yang berkembang pesat, perjalanan ke luar negeri, hingga pernikahan dengan pasangan kaya raya. Semua terdengar seperti ajang pamer terselubung. Adira memilih tetap diam. Tidak ada yang ingin dia ceritakan. Kenangan SMA baginya tidak lebih dari fase hidup yang ingin dia tinggalkan—fase di mana dia harus berjuang sendiri, menghadapi bully-an, dan bertahan dari tatapan merendahkan. Satu-satunya hal baik dari masa itu adalah Gina, Dewi, dan Giovanni. Namun, kini Adira bahkan mulai ragu apakah Dewi benar-benar teman yang bisa dia percayai. Dia menarik napas panjang, berusaha mengabaikan percakapan di sekelilingnya. Rasa bosan mulai menjalar, membuatnya tanpa sadar membuka ponsel
Chapter XX: Undangan Makan Malam di Grand Orchid Setelah insiden beberapa waktu lalu, Dewi tampak lebih kalem. Dia tidak lagi terlalu agresif saat menyapa Giovanni, tidak sok akrab dengan staf lainnya, dan yang paling penting bagi Adira, Dewi akhirnya bekerja dengan cukup baik—atau setidaknya berusaha terlihat baik. Namun, bagi sebagian besar staf di front office, perubahan Dewi ini terasa janggal. Baru saja seminggu lalu dia membuat kesalahan fatal, tetapi sekarang dia bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Di area resepsionis, beberapa pegawai sedang membahas perubahan sikap Dewi. "Kamu sadar gak sih? Dewi sekarang beda banget," ujar Rina, salah satu pegawai administrasi, dengan nada berbisik. "Iya, biasanya dia langsung sok akrab tiap lihat dr. Giovanni. Sekarang, malah kalem," timpal Feri, pegawai front office lainnya. "Mungkin dia kapok gara-gara kena teguran dr. Tedja," celetuk Rina lagi. Feri menggeleng. "Ya kapok sih kapok, tapi tetep aja. Dia kan baru kerja beberap
Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli
Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h
Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka