Adira dan Tedja baru tiga hari menikah. Meski begitu, kehidupan sehari-hari mereka berjalan seperti biasa. Mereka tetap profesional dalam pekerjaan tanpa menunjukkan perubahan berarti. Satu-satunya hal yang berubah hanyalah saat malam tiba.
Kini, mereka berbagi kamar yang sama, bahkan tidur di kasur yang sama. Anehnya, Adira terlihat santai. Tedja yang penasaran akhirnya bertanya, “Kamu nggak grogi tidur bareng saya di sini?”
Adira melirik Tedja sekilas, lalu menjawab santai, “Grogi, dong. Kemarin kan saya protes ke dokter.”
Tentu saja Tedja ingat tentang perdebatan mereka. Adira saja sampai voluntir untuk duduk di sofa, tapi Tedja halangi dengan alasan tidak ada selimut lain.
“Saya anggap lagi tidur sama kak Edwin aja. Lagipula, kasur ini gede banget, dokter Tedja juga udah janji nggak akan macem-macem.”
Tedja tertawa kecil mendengar jawaban itu. “Sama kakak, ya? Kamu yakin banget...”
“Dokter Tedja, walaupun suka jahil, selalu menepati janjinya.” ujar Adira.
“Kamu gak sangsi gitu?” tanya Tedja lagi.
Adira hanya mengangkat bahu, menyembunyikan sedikit senyum di bibirnya. “Lagipula, selama ini saya sering ketiduran di sofa sebelah kursi kerja dokter Tedja. Saat naik pesawat untuk perjalanan bisnis, saya juga tidur di kursi sebelah dokter. Saya anggap saja sama saja.”
Tedja memanfaatkan kesempatan untuk menggoda. Ia mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Adira. Adira terkejut, tubuhnya menegang. “Eh, eh! Mau ngapain, dokter Tedja?” tanyanya panik.
“Lho? Katanya santai. Kok sekarang kayak mau nangis?” goda Tedja, senyum di bibirnya makin lebar.
Adira berusaha keras menjaga napasnya tetap stabil. Wajahnya memerah, tapi ia mencoba menutupinya dengan memalingkan muka. “Dokter Tedja, jangan bercanda kayak gitu! Saya serius!”
Tedja akhirnya tertawa kecil, suaranya rendah tapi jelas puas. Ia menjauh sedikit, kembali ke posisi awalnya di sisi kasur. “Santai aja, saya cuma bercanda. Kamu lucu banget kalau lagi panik.”
“Lucu? Itu nggak lucu!” protes Adira. Tangannya menggenggam erat selimut, matanya melotot kecil. “Jangan kayak gitu lagi, ya. Saya bisa... saya bisa refleks jambak dokter!”
Tedja terkekeh mendengar ancaman itu. “Baik, baik. Saya minta maaf. Tapi, jujur, saya nggak nyangka kamu bakal sekaget itu. Saya pikir kamu beneran santai tidur di sini.”
Adira mendengus pelan. “Saya memang santai. Tapi, dokter tiba-tiba mendekat kayak gitu... Siapa juga yang nggak kaget?”
Tedja menatapnya sambil sedikit terkekeh. “Tapi, serius, kamu gak tergoda sama saya?”
Adira masih memasang ekspresi kesal. “Dok, pernikahan ini cuma formalitas. Kita bisa cerai kapan saja kalau situasinya nggak cocok. Saya nggak mau ada hubungan lebih dari sekadar profesional.”
Tedja mengangguk pelan, tapi tatapannya menyelidik. “Kalau dr. Giovanni... gimana?”
Adira memutar bola matanya. “Kenapa jadi Kak Gio? Nggak ada hubungan apa-apa, dokter. Dia cuma kakak teman saya. Bisa diketawain sama dokter Gina kalau saya jadian sama dia.”
Tanpa menunggu tanggapan, Adira menarik selimut hingga menutupi tubuhnya dan memunggungi Tedja. “Saya mau tidur. Jangan ganggu,” katanya singkat.
Tedja menghela napas panjang. Ia masih tak habis pikir bagaimana Adira bisa bersikap begitu santai. Padahal, biasanya wanita akan girang atau canggung setiap kali ia mendekat. Namun, karena rasa kantuknya sudah mendominasi, ia memilih untuk tidur.
...
Keesokan paginya, Tedja mendapati tempat tidur di sebelahnya kosong. Pakaian yang sudah disiapkan untuknya terlipat rapi di kursi dekat ranjang. Ia tersenyum, menduga bahwa itu pasti disiapkan Adira.
Setelah bersiap, ia turun ke lantai bawah. Aroma harum dari dapur menyambutnya. Ia segera menuju sumber bau menggoda itu dan menemukan Adira yang sedang sibuk memasak. Pemandangan ini terasa asing, tapi anehnya membuatnya senang.
“Selamat pagi, dokter Tedja,” sapa Adira tanpa menoleh dari kegiatannya.
“Pagi. Kok saya jadi merasa punya istri beneran?” goda Tedja sambil duduk di kursi dapur.
Adira menoleh. “Jangan ge-er. Biasanya juga saya yang masakin untuk dokter Tedja, kan?”
Tedja mengerutkan kening. Dia mencoba masakan yang sudah jadi di meja, lalu menyadari sesuatu, “Lho, ini rasanya sama kayak yang sering kamu bawa buat sarapan saya,”
“Itu saya yang masakin,”
Tedja memandang Adira takjub, “Tapi, saya makannya pilih-pilih, loh. Kok kamu bisa ingat?”
Sambil mengangkat masakan yang ada di wajan, Adira menjawab, “Kebetulan kita sama-sama alergi udang. Gak suka masakan pedas dan masakan yang kebanyakan serai juga. Yang lebih penting lagi, kita lebih suka masakan yang ada kecap manisnya. Jadi, gampang kok ingatnya.”
“Serius? Soulmate banget ya ternyata kita,” tanggap Tedja.
“Hahaha, bisa aja, Dok,” Adira tertawa garing. “Pas pertama kali saya coba bawakan masakan saya, dokter nggak protes. Jadi, saya terusin aja, kecuali pas saya bangun kesiangan kayak kemarin. Tapi, saya usahakan cari makanan yang sesuai.”
Tedja terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan. “Nggak nyangka. Tapi, terima kasih.”
Adira hanya mengangkat bahu sambil menyajikan makanan di meja. Mereka mulai sarapan bersama, menikmati suasana pagi yang damai. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba pintu penthouse terbuka, dan masuklah seorang wanita paruh baya dengan langkah mantap. Itu adalah Indah, ibu Tedja.
“Selamat pagi,” sapanya, namun nadanya terdengar formal.
Tedja menatap ibunya dengan datar. “Ibu. Ada apa pagi-pagi ke sini?”
Indah melirik Adira yang duduk di seberang Tedja. “Saya mau konfirmasi sesuatu. Zia kemarin cerita sambil nangis ke saya. Benar kamu sudah menikah?”
Tedja mengangguk tanpa ragu. “Benar. Saya sudah menikah.”
Indah menatap Adira dengan pandangan menilai. “Jadi, ini istri kamu? Sekretaris kamu?”
Adira berdiri dan tersenyum sopan. “Selamat pagi, dokter Indah.”
Wanita paruh baya itu mengangguk kecil, tapi raut wajahnya menyiratkan ketidakpuasan. “Hmm. Pilihan kamu kok makin aneh, Tedja. Sudah saya jodohkan dengan Zia, tapi kamu malah memilih seseorang seperti… ini.”
Tedja memotong tegas. “Ibu, ini pilihan saya. Tolong hormati.”
Indah menghela napas panjang, lalu duduk di kursi kosong. “Kamu... Adira kan?”
Dengan pelan Adira mengangguk, “Benar, Dok.”
“Sejak kapan kamu menjalin hubungan dengan putra saya?” tanyanya, nadanya terdengar seperti interogasi.
Mereka sudah mempersiapkan skenario untuk situasi seperti ini. Adira menjawab tenang, “Sebulan… yang lalu.”
Indah menyipitkan matanya, sorot penuh keraguan terpancar jelas. “Sebulan, ya?” gumamnya, seolah sedang menimbang-nimbang kebenaran jawaban itu. “Diberi apa kamu sama Tedja, sampai berani membohongi saya?”
Adira terkesiap, matanya melirik Tedja seolah meminta bantuan. Tedja langsung menyela. “Cinta, Bu. Apa lagi alasannya?”
Indah mendengus, lalu tertawa pendek yang terdengar mengejek. “Cinta? Kamu? Tedja, kamu nggak perlu berbohong di depan saya.”
Tedja melipat tangannya di dada, wajahnya tetap tenang. “Apa pun yang Ibu pikirkan, itu tidak mengubah fakta bahwa kami sudah menikah. Jadi, saya harap Ibu berhenti membahas soal dokter Zia.”
Indah menggelengkan kepala, ekspresi kecewanya terlihat jelas. “Kita lihat saja sampai kapan kamu bertahan dengan keputusan ini.”
Suasana di ruangan itu menjadi semakin tegang. Adira memilih tetap diam, menyerahkan kendali situasi sepenuhnya pada Tedja. Dalam hatinya, ia hanya bisa berharap interaksi ini tidak berlanjut menjadi lebih buruk.
Langkah Adira hampir mencapai pintu keluar ketika suara lembut namun penuh otoritas menghentikannya. "Adira?" Adira menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya dengan senyum khasnya berdiri di dekatnya. Bu Dyah. Dari sekian banyak orang yang hadir di reuni ini, Bu Dyah adalah satu-satunya yang seharusnya bisa membuatnya merasa nyaman. Mantan wali kelasnya itu selalu terlihat lembut dan perhatian. Tapi, entah kenapa, tatapan hangatnya kini terasa mengikat, seperti jaring halus yang siap menahannya tetap di tempat. "Apa kamu sudah mau pulang?" tanya Bu Dyah dengan nada lembut, tapi ada sedikit nada keberatan di sana. Adira tetap menjaga ekspresi tenangnya. "Iya, Bu. Saya tidak bisa berlama-lama. Karena, niatnya cuma ikut makan saja." "Sayang sekali. Padahal saya ingin berbicara denganmu sebentar," ujar Bu Dyah. Dia melirik ke meja reuni di mana beberapa teman lama mereka masih sibuk mengobrol, tapi jelas memperhatikan mereka. "Kamu benar-benar tidak mau duduk sebentar lagi? Momen
Restoran Grand Orchid Hotel terasa semakin sesak bagi Adira. Bukan karena udara atau jumlah tamu yang banyak, melainkan karena atmosfer di meja reuni yang semakin lama semakin tidak nyaman. Dari tadi, obrolan terus mengalir tanpa melibatkan dirinya. Mereka membahas kisah sukses masing-masing, mulai dari bisnis yang berkembang pesat, perjalanan ke luar negeri, hingga pernikahan dengan pasangan kaya raya. Semua terdengar seperti ajang pamer terselubung. Adira memilih tetap diam. Tidak ada yang ingin dia ceritakan. Kenangan SMA baginya tidak lebih dari fase hidup yang ingin dia tinggalkan—fase di mana dia harus berjuang sendiri, menghadapi bully-an, dan bertahan dari tatapan merendahkan. Satu-satunya hal baik dari masa itu adalah Gina, Dewi, dan Giovanni. Namun, kini Adira bahkan mulai ragu apakah Dewi benar-benar teman yang bisa dia percayai. Dia menarik napas panjang, berusaha mengabaikan percakapan di sekelilingnya. Rasa bosan mulai menjalar, membuatnya tanpa sadar membuka ponsel
Chapter XX: Undangan Makan Malam di Grand Orchid Setelah insiden beberapa waktu lalu, Dewi tampak lebih kalem. Dia tidak lagi terlalu agresif saat menyapa Giovanni, tidak sok akrab dengan staf lainnya, dan yang paling penting bagi Adira, Dewi akhirnya bekerja dengan cukup baik—atau setidaknya berusaha terlihat baik. Namun, bagi sebagian besar staf di front office, perubahan Dewi ini terasa janggal. Baru saja seminggu lalu dia membuat kesalahan fatal, tetapi sekarang dia bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Di area resepsionis, beberapa pegawai sedang membahas perubahan sikap Dewi. "Kamu sadar gak sih? Dewi sekarang beda banget," ujar Rina, salah satu pegawai administrasi, dengan nada berbisik. "Iya, biasanya dia langsung sok akrab tiap lihat dr. Giovanni. Sekarang, malah kalem," timpal Feri, pegawai front office lainnya. "Mungkin dia kapok gara-gara kena teguran dr. Tedja," celetuk Rina lagi. Feri menggeleng. "Ya kapok sih kapok, tapi tetep aja. Dia kan baru kerja beberap
Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli
Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h
Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka