Share

Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris
Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris
Author: Yuli F. Riyadi

1. Perintah Menikah

last update Last Updated: 2024-06-04 12:56:36

"Nikah?! Omong kosong apa ini?!"

Suara bariton itu naik satu oktaf. Mata pemilik suara itu melotot tak percaya. Spontan tangannya meremas kertas yang dia genggam dengan kesal. Dua alis tebal yang membingkai mata cokelatnya menyatu. Wajah tampannya memerah seketika. Javas Rashaka Wirahardja murka setelah membaca surat dari sang kakek yang memintanya untuk segera menikah.

"Bilang sama pria tua itu aku nggak mau menuruti perintahnya!" ujarnya kesal lalu melempar buntalan kertas yang dia remas ke arah pria dengan setelan jas abu yang berdiri di depannya.

"Presdir bilang warisan itu tidak akan pernah jatuh seutuhnya ke tangan Anda jika dalam satu bulan Anda belum membawa calon istri ke hadapannya," ucap Phil, nama pria berjas abu itu sembari masih mempertahankan senyumnya yang tenang.

"Damn it! Apa pria tua itu pikir mencari calon istri mudah?"

Phil tersenyum lagi, lantas bergerak maju untuk meletakkan amplop cokelat yang sedari tadi dia bawa. "Presdir menawarkan beberapa kandidat yang bisa Anda pilih di sini. Anda bisa mengencani mereka, lalu menentukan pilihan setelahnya."

"What?" Si tampan Javas mengusap wajah frustrasi. Dia menarik napas beberapa kali sebelum tangan kirinya menyambar amplop cokelat tersebut. Dengan malas, dia membuka ikatan tali amplop itu. Lalu mengeluarkan isinya. Berlembar-lembar foto wanita cantik kini tepat di depan matanya. "Apa kakek sudah gila? Aku disuruh mengencani wanita sebanyak ini?"

"Pilih salah satu yang Anda suka kalau begitu."

Lagi si pemilik rahang tegas itu membuang napas. Dilihatnya satu per satu foto-foto itu sampai akhir. Namun satu pun tak ada yang menarik di matanya. "Nggak ada yang menarik," tandasnya melempar foto terakhir.

Pria yang sudah bertahun-tahun menjadi asisten Javas itu menarik napas panjang. "Tidak heran kalau presdir mempercayai rumor yang beredar."

"Rumor apa?"

"Rumor kalau Anda penyuka sesama jenis."

"Are you kidding me?"

"Itulah yang saya dengar." Phil mengangkat bahu sambil membereskan foto-foto itu. Matanya menyipit ketika melihat salah satu wanita yang familiar. "Ini bukankah Aliya?" tanya pria itu sambil menunjukan foto itu pada Javas.

"Siapa Aliya?"

"Adik Amira."

Dengan cepat foto itu berpindah ke tangan Javas. "Apa iya?" Dia mengamati wajah di foto itu dengan seksama. Garis wajah itu memang mirip Amira. Namun senyumnya jelas beda. Sontak dia tertawa. "Fix, kakek benar-benar gila. Setelah gagal dengan kakaknya, aku ditawari mengencani adiknya. Sinting!"

"Tidak ada yang salah. Anda mau mencoba?" Alis Phil naik sebelah.

Namun cucu keluarga Wirahardja itu menggeleng tegas. "Sorry, aku tidak tertarik." Javas berdiri seraya melepas jas. "Kepalaku pusing aku mau cari angin."

"Semoga Anda beruntung."

Javas hanya tersenyum miring sambil mengayunkan langkah menuju pintu keluar. Dia tahu maksud kata 'beruntung' dalam kalimat asistennya itu. Agak menyebalkan memang. Selama ini dia menutup telinga perkara dirinya yang sudah lama sendiri. Tapi makin ke sana beritanya malah makin meresahkan. Penyuka sesama jenis mereka bilang? Itu jelas menyentil egonya sebagai pria sejati. Apollonya bereaksi melihat dada seksi, bukan dada berotot. Sialan!

***

Baru saja Javas keluar dari lift matanya menangkap adegan kekerasan. Dia sampai harus meringis mendengar bunyi keras telapak tangan seorang wanita yang mendarat sadis di pipi seorang pria. Dia bisa melihat wajah murka wanita itu, matanya melotot tajam seperti mau menerkam. Javas tidak peduli. Mungkin mereka hanya pasangan yang sedang bertengkar.

Langkah Javas langsung berbelok menuju koridor penghubung sebuah bar & cafe yang ada di rooftop gedung hotel yang dia pijak ini. Sebuah bar & cafe milik Erland, temannya, yang baru dibuka beberapa hari lalu. Dia melewatkan soft openingnya dan baru sempat datang malam ini.

Rooftop bar & cafe itu memiliki kubah kaca yang terbuka saat cuaca cerah seperti sekarang. Kubah itu akan bergerak menutup saat cuaca sedang tidak bersahabat. Saat masuk, Javas langsung suka dengan konsep yang Erland pilih itu.

Seorang pria tinggi dengan apron warna hitam di balik bar melambaikan tangan padanya. Dia Erland. Javas yang melihatnya langsung tersenyum dan dengan segera menghampiri pria tersebut.

"Akhirnya datang juga, Sob!" sapa Erland seraya mengangkat tangan memberi salam ala lelaki begitu Javas tepat di hadapannya.

"Sorry baru sempat ke sini." Javas mengamati suasana sembari duduk di salah satu stool. "Rame nih. Sukses kayaknya ini tempat."

"Thanks."

"Tiap hari begini?"

"Sejak buka seminggu lalu begini terus."

Javas menggeleng bangga. "Apa gue bilang. Sejak dulu harusnya lo incar tempat ini."

Erland tersenyum. "Kan harus cari modal dulu, Man."

Alasan klise yang sering Javas dengar. Padahal Javas tidak pernah keberatan jika Erland ingin dirinya berinvestasi pada bisnisnya.

"Oh ya? Mau minum apa? Gue traktir."

"Itu wajib. Yang enak di sini apa?"

"Well! Gue baru punya temuan racikan baru. Lo wajib coba karena ini pasti bakal enak banget."

Javas mengiyakan saja. Sambil menunggu Erland meracik minumannya dia memutar stool untuk melihat-lihat suasana bar ini. Ada live musik di sudut kafe. Di sudut lain ada gerombolan wanita yang tengah berhaha-hihi entah mengobrolkan apa. Lalu terlihat juga pasangan yang tengah menikmati hidangan kafe. Melirik ke meja lain Javas juga melihat---

"Sialan! Brengsek! Erland! Beri aku Smirnoff tanpa mix!"

Makian seorang wanita mengalihkan perhatian Javas. Ekor matanya melirik seseorang yang baru saja duduk di sebelahnya. Hanya terpaut satu stool sebagai jarak. Bukankah itu wanita yang di depan tadi? Wanita yang dengan sadis menampar pasangannya.

"Hei, What's up?" tanya Erland menanggapi wanita itu.

"Erland, Please," pinta wanita itu. Wajah gusarnya tidak bisa ditutupi.

"Oke, hanya satu sloki."

Diam-diam Javas memperhatikan wanita itu. Hidung wanita itu runcing jika dilihat dari samping. Dia memiliki rambut cokelat bergelombang sebatas punggung. Bibir merah mudanya terlihat mengkilap. Kulitnya putih dengan bentuk tubuh sedikit berisi. Lumayan seksi.

"Any problem, Pretty?" tanya Erland saat memberikan wanita itu satu sloki Smirnoff.

Javas sedikit terlupakan begitu wanita itu datang, untung dia sudah mendapatkan minumannya. Tiba-tiba saja wanita itu sesenggukan. Membuat Javas melirik di balik gelas minumannya. Dia menangis?

Erland langsung kalang kabut mencarikan wanita itu tisu. Dia terlihat khawatir. "Kamu bisa cerita pelan-pelan."

"Aku diputusin. Brengsek! Dia yang selingkuh aku yang diputusin!" ujar wanita itu lagi dengan nada sedih campur marah yang kental. "Dan kamu tau, siapa selingkuhannya? Sahabatku sendiri. Double kill banget kan?"

Wow, pantas saja pria tadi mendapat tamparan keras dari wanita itu. Diam-diam Javas memasang telinga. Merasa tertarik dengan sesi curhat wanita itu.

"I'm sorry to hear that, Honey. Aku yakin kamu bisa mendapat lelaki yang lebih baik daripada dia. Lelaki seperti itu nggak pantas kamu tangisi."

Sambil menyusut hidung mancungnya yang ikut berair, wanita itu mengangguk. "Ya, pasti itu. Aku bakal tunjukan sama pengkhianat-pengkhianat itu kalau aku bisa dapetin lelaki yang lebih baik segala-galanya. Makan tuh bekasku!"

Javas mengerjap saat melihat wanita itu langsung menandaskan isi slokinya dalam sekali teguk. Apa dia akan baik-baik saja? Satu detik, dua detik, sampai lima detik tidak ada yang berubah dari wanita itu. Javas pikir wanita itu bakal langsung mabuk.

"Satu sloki lagi, Please."

Erland menggeleng. "Aku buatin minuman lain. Sea breeze cocok buat hati yang lagi galau."

"Aku nggak galau! Aku bakal bikin dia menyesal udah mutusin aku dan malah bersama si pagar makan tanaman itu!"

"I know. Makanya jangan mabuk kalau kamu nggak galau."

"Satu botol vodka nggak akan bikin aku mabuk."

"Aku nggak mau berurusan sama Gyan."

"Dia lagi bucin sama calon istrinya. Nggak bakal ngurusin aku."

"Sorry, Dear."

Wanita itu menggeram jengkel. "Nyebelin banget sih. Aku obrak-abrik juga nih bar!"

"Kasih aja, Land. Gue yang tanggung jawab kalau dia mabuk." Akhirnya Javas angkat suara. Bibirnya melengkung ke atas saat wanita itu menoleh ke arahnya. "Hei, aku Javas," sapanya sembari mengulurkan tangan.

Wanita di depannya tidak langsung menyambut. Tatap birunya malah memperhatikan tampang Javas dengan seksama. Dari wajah, bola matanya bergerak turun ke bahu dan dada pria itu. Lumayan seksi dan tampan. Setelah sekian detik berlalu, barulah dia menyambut uluran tangan Javas.

"Kavia."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Bundanya Ichaekaaksay
permulaan n pertemuan yg menarik,,lanjut Thor,,smga seru jga
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Bagus nih ceritanya ......
goodnovel comment avatar
arwa
seru kaaak
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Berkuda

    Selagi Karel tenang bermain bersama Kakek Javendra dan para asisten, Kavia dan Javas melipir ke arena berkuda. Kavia kangen menunggangi Evelyn. Kuda betina putih itu terawat dengan sangat baik saat Kavia melihatnya. Hewan tangguh berkaki empat itu ternyata masih mengenali wanita itu dengan baik. "Sayang! Ayo cepat!" teriak Javas di atas kudanya. Kavia melambaikan tinggi tangannya ke arah Javas, lalu bergerak menaiki pelana kuda. "Evelyn, kita susul suamimu sekarang," ujar Kavia sambil mengusap pelan leher betina tangguh yang dia tunggangi. Dengan cepat dia pun memacu kudanya menyusul Javas. Keduanya mengendarai kuda-kuda itu mengelilingi tanah lapang. Melewati penangkaran rusa milik Kakek, dan sebuah danau buatan yang dipenuhi angsa putih. Pohon-pohon rindang masih tumbuh dengan subur di beberapa area. Setelah beberapa lama saling berkejaran dengan Javas, Kavia menghentikan kudanya di dekat pepohonan yang tumbuh di tepi danau. "Kayak udah lama banget nggak ke sini. Aku kangen men

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Drama Kakek

    "Semua yang ada di sini kelak akan menjadi milikmu, Nak." Mata tua Javendra mengedar. Melihat betapa luasnya tanah yang dia miliki. Belum lagi rumah yang dia huni. Rumah kebanggaannya yang sampai saat ini masih eksis di pinggiran kota. Rumah masa depan yang sebenarnya dulu dia siapkan untuk putranya, Ravendra. "Mau bagaimana lagi? Papamu nggak mau menempati rumah ini dan memiliki rumah sendiri. Jadi rumah ini akan kakek wariskan padamu." Javendra terus mengajak Karel ngobrol. Seolah bayi sembilan bulan itu paham apa yang dia bicarakan. "Malah sekarang papamu beli rumah baru. Padahal apa salahnya tinggal di sini sama kakek. Iya kan? Toh rumah ini nanti bakal jadi milik kamu." Tidak jauh dari tempat pria tua itu, Kavia menggeser duduk memepet suaminya dan berbisik. "Kakek kenapa?" "Dia lagi jadi pemeran utama drama keluarga," sahut Javas asal, yang langsung mendapat pukulan ringan di lengan kanannya. Dia mengaduh sambil mengusap lengannya. "Apa sih, Yang? Aku ngomong bener kok."

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Mata Genit

    "Dia sudah nggak bekerja di anak cabang HYOT lagi." Kabar itu membuat Kavia yang sudah merebah segera mengangkat badannya lagi. "Sejak kapan?" Javas mengangkat bahu. "Kamu peduli banget?" Alis tebalnya tertaut. Agak tidak suka istrinya makin kepo. "Bukan peduli, tapi setahuku dia dulu berjuang banget buat dapat posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja." "Mungkin dia dapat tawaran yang lebih bagus." "Mungkin gara-gara dia dimutasi ke luar pulau." Javas menghela napas panjang lalu menarik tangan Kavia agar bergerak memeluknya. "Kenapa sih bahas mantan terus? Kamu nggak ada rencana buat ketemuan lagi kayak dulu kan?" Kavia mesem-mesem tak jelas mendengar pertanyaan Javas. Ekpresi dan cara bicara pria itu membuat Kavia makin merasa dicintai. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar saat mereka masih belum menyadari perasaan masing-masing, Kavia bakal jawab iya-iya aja. Javas menjauhkan diri dan menatap Kavia. "Kok malah senyum-senyum?" Matanya refleks memelotot. "Jangan bilang ka

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Apa Kabar, Kavia?

    "Aku di farmer market. Kalian langsung ke sini aja ntar." "Oke. Kami masih di jalan. Tungguin kami ya, Macan.... " Kavia tersenyum mendengar suara Javas di seberang sana. Tangannya masih sibuk memilih buah pear di rak. "Oke, aku tutup dulu ya. Hati-hati, nggak usah ngebut." Tidak lama, dia mematikan panggilan dari suaminya itu dan kembali melanjutkan memilih buah segar yang tertata rapi di rak. Akhir-akhir ini Kavia senang membuat salad buah. Stok salad di kulkas cepat habis karena ternyata Javas juga menyukai salad buatannya itu. Senyumnya kembali merekah saat melihat rak bagian apel. Apel adalah buah yang wajib ada di rumah lantaran buah itu menjadi salah satu favoritnya. Mata Kavia tertarik dengan apel bulat yang terletak di tumpukan paling atas. Kulitnya mengkilat dan terlihat besar. Namun saat tangannya terjulur untuk meraih buah tersebut, tangan lain lebih dulu melakukannya. Sehingga tanpa sengaja tangannya menangkup tangan orang itu. Kavia refleks menarik tangannya. "Maaf.

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Pumping

    "Astagfirullah, suami orang ganteng banget!" Jeritan tertahan itu keluar dari bibir mungil wanita gemoy saat melihat Javas turun dari anak tangga sambil membawa Karel di gendongannya. Kavia di sebelahnya hanya menggeleng melihat muka mupeng sahabatnya itu. Sementara tangannya masih sibuk mempreteli buah anggur dari tangkainya. Javas tanpa atasan memang menggoda iman. Belum lagi tato besar di bahu hingga lengannya, menambah kesan maskulinnya yang menonjol. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi itu sudah menjadi kebiasaannya jika berada dalam rumah. Kavia saja yang tiap hari melihat masih bisa terbuai, apalagi Dian? "Laki lo benar-benar hot daddy banget.""Ck!" Kavia melirik sekilas dengan tatapan sebal, namun yang ditatap malah terkikik. "Dia kelihatan sayang banget sama Karel. Gue mau dong satu yang begitu." Bibir Dian mencebik memandang Javas dengan tatapan penuh damba. "Cari coba di pasar loak," sahut Kavia asal. Sejurus kemudian dia mengaduh karena dapat cubitan manis dari Dia

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Sofa Baru

    "Sofa baru?" Kavia dan Javas saling pandang sesaat ketika melihat orang-orang suruhan Daniel mengangkut sebuah sofa yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Orang-orang itu membawa sofa dengan kelir merah hati itu ke dalam rumah. "Pas kan diletakkan di ruang tamu kalian?" Daniel tersenyum bangga. "Ini papi impor langsung dari Italy loh. Masih satu produk sama sofa di rumah papi." "Harusnya papi nggak perlu repot-repot begini," ujar Javas meringis. Insiden sofa masih menjadi momok buat pria itu. Gara-gara itu pula, Kavia belum mau mengisi ruang tamu barunya. "Sama sekali nggak repot. Anggap aja ini hadiah buat rumah baru kalian. Iya kan, Baby?" Daniel tersenyum sambil menatap istrinya. "Iya. Toh kami nggak bisa ngasih apa-apa selain ini," timpal Delotta sambil mengusap lengan Daniel. "Memang aku nggak tau kalau papi ngasih harga diskon rumah ini sampe 50 persen?" tukas Kavia yang langsung membuat mata Javas melebar. "Harga rumah ini sebenarnya 10M kan? Aku sempat nanya kok sama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status