"Rin," panggil Frans seraya menyadarkan Karin dari lamunannya.
Karin terperanjat, lalu menyahutinya. "Iya, Pak?""Malah bengong. Kenapa? Kamu keberatan kita cuma pergi berdua?""Ng–nggak kok, Pak. Saya sama sekali nggak keberatan. Dari pada menghabiskan waktu di sini, lebih baik kita ke dalam. Mau cari hadiah buat tunangan Bapak, kan?" Dari pada lama berduaan di tempat sepi, Karin lebih memilih mengajaknya untuk segera masuk ke dalam mal, segera menemukan apa yang diinginkan, setelah itu pulang."Ok. Kita ke dalam sekarang." Frans jalan lebih dulu, diikuti Karin dari belakang.Tempat pertama yang mereka datangi adalah butik langganan Frans bersama sang kekasih, Bella. Mereka berdua masuk ke dalam butik dan langsung disebut hangat oleh kedua pelayan yang berdiri di pintu masuk butik. "Selamat malam, Pak Frans.""Selamat malam.""Wah, senang sekali butik kami kedatangan pelanggan setia hari ini," ucap salah satu pegawai butik."Iya, saya baru ada waktu lagi untuk datang ke sini.""Sibuk ya, Pak.""Iya, begitulah." Frans tersenyum ramah."Ada yang bisa saya bantu, Pak?""Tolong kamu carikan baju yang cocok untuk wanita spesial di sebelah saya." Setelah bicara demikian, Frans melingkarkan tangan pada pinggang Karin, lalu menariknya hingga ia bergeser lebih mendekat.Hal itu sontak membuat Karin terkejut, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, takut mempermalukan Frans di depan banyak orang, karena saat ini di sana bukan hanya ada dua pegawai, tetapi ada beberapa pelanggan yang sedang berbelanja."Oh untuk mbaknya, ya?" Tatapan wanita itu sempat berhenti di Karin, karena kali ini Frans tidak datang bersama Bella, melainkan bersama wanita lain."Iya," jawab Frans singkat."Baiklah. Mari ikut saya!"Pegawai butik itu berjalan lebih dulu menuju area baju pilihan terbaik juga termahal, diikuti Frans bersama Karin dari belakang. Begitu sampai di tempat khusus pelanggan yang memiliki banyak uang, pegawai butik itu pun mempersilahkan Frans juga Karin memilih baju mana pun yang mereka inginkan."Di sini Anda akan menemukan banyak pakaian yang cocok untuk wanita spesial di samping Anda," ucap wanita tersebut sambil tersenyum."Iya, terima kasih.""Jika Anda memerlukan bantuan, Anda bisa panggil saya. Saya standby di sudut kasir.""Oke.""Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak."Setelah pegawai butik itu pergi, Karin melayangkan protes. "Pak Frans, kenapa tadi Anda mengatakan kepada wanita itu kalau saya orang yang spesial buat Anda?""Terus, saya harus bilang apa? Pembantu? Nggak mungkin, kan? Lebih nggak mungkin lagi kalau aku bilang sama mereka kalau kamu calon istri aku.""Apaan sih, Pak?" protes Karin."Lupakan! Ayo, kamu bisa ambil berapa pun pakaian yang kamu mau.""Loh, kok saya sih, Pak?""Memangnya kenapa?""Bukannya saya disuruh Bapak pilih hadiah yang cocok buat pacar Bapak?""Bawa dua kantung belanjaan, yang satu kamu isi pakaian untuk pacar saya, yang satu kamu isi pakaian untuk kamu.""Saya juga mau dibelikan?" tanyanya lagi untuk memastikan."Iya dong, masa saya cuma beli buat pacar saya aja. Anggap saja saya kasih upah lebih untuk kamu, tapi ini berbentuk barang.""Oh, begitu ya, Pak. Ya udah deh, saya coba pilihkan baju yang menurut saya bagus ya, Pak. Tapi, postur tubuh pacar Pak Frans seperti apa?""Kamu. Tinggi juga kurusnya seperti kamu.""Oh, ya? Kenapa bisa pas begitu?"Frans mengangguk tanpa berkata, berdiri sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Ayo kita mulai cari."Karin berjalan di depan dan mulai memilih baju yang menurutnya bagus untuk dikenakan tunangan Frans. Sementara Karin memilih baju, Frans di belakang, dia berbalas pesan dengan sang kekasih.Frans: Aku lagi mengadakan pertemuan sama rekan kerja. Kita nggak bisa ketemu sekarang.Balasan yang Frans kirim kepada sang kekasih yang sejak lima jam lalu memintanya untuk bertemu.Bella: Setelah pertemuan selesai, aku tunggu kamu di hotel. Aku sangat merindukanmu, Sayang.""Nggak bisa, Bel. Ini pasti sampai malam."Setelah mengirim balasan, Karin memanggil Frans. "Pak Frans."Frans menoleh, seraya memasukkan handphonenya ke dalam saku jas. "Iya, ada apa?""Ini bagus nggak, Pak?""Kamu suka?"Karin mengangguk. "Suka.""Ya udah, ambil aja kalau kamu mau.""Baik, Pak." Karih memasukkan baju yang ditunjukkan tadi ke dalam kantung belanjaan yang isinya banyak. Kantung belanjaan milik Bella."Berapa baju yang ingin Bapak berikan kepada tunangan Bapak?" tanya Karin bertanya sambil menghitung baju di dalam kantung belanjaannya."Sebanyak yang mau mau.""Lima? Sepuluh?" tanyanya lagi."Terserah.""Kok terserah sih, Pak?""Menurut kamu gimana?""Kalau saya jadi tunangan Bapak, saya pilih semua yang ada di butik ini.""Ya sudah, kalau begitu kamu jadi tunangan saya saja."Pernyataan tersebut cukup mengejutkan. "Maksud Pak Frans?""Bercanda, Rin. Serius amat." Frans menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa ketertarikan dirinya terhadap Karin. Dia mengubah topik pembicaraan seputar rumah tangganya bersama Dani sambil memilih model baju yang lain."Dani pria yang baik?" Frans melontarkan sebuah pertanyaan, bukan pernyataan."Baik, dia sangat bertanggung jawab," jawab Karin berbohong sambil melihat salah satu jenis baju dengan model sabrina di bagian atasnya."Oh, ya? Dengan gaji satu setengah juta itu cukup buat satu bulan?" tanyanya lagi."Ya nggaklah. Mana ada satu setengah juta cukup buat satu bulan? Belum bayar kontrakan, bayar listrik, air, iuran bulanan ke RT. Kalau dihitung-hitung tinggal berapa sisanya? Pasti nggak bakal cukuplah," gumam Karin di dalam hati.Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, Frans memanggilnya lagi. "Karin.""Iya, Pak?" Karin menoleh."Kamu belum jawab pertanyaan saya.""Yang man, Pak?""Gaji suamimu cuma satu setengah juta. Cukup untuk memenuhi kebutuhan kamu selama satu bulan?""Dicukup-cukupin aja, Pak. Mau minta juga minta sama siapa? Kecuali gaji mas Dani ada kenaikan." Maksud Karin bicara seperti itu, siapa tau Frans akan menaikkan gaji suaminya, minimal jadi dua juta. Karin pun bicara seperti itu sambil tersenyum, agar tidak terlalu kelihatan serius."Naik gaji? Kalau aku naikkan, belum tentu juga Dani akan memberikan semuanya ke kamu.""Eh, kok. Dia kayak yang tau aja kalau aslinya mas Dani suka meminta sebagian gajinya?" batin Karin."Kenapa diam lagi? Apakah ucapan aku benar?" Frans tidak asal menebak, dia tahu persis pria modelan Dani begitu tidak akan memberikan semua uang gajinya kepada sang istri, padahal Dani sendiri punya uang lemburan yang cukup besar.Sebagai istri yang baik, Karin tidak mungkin membeberkan keburukan suaminya. Walau bagaimanapun dia tetep akan membela. "Nggak kok, Pak. Mas Dani menyerahkan semua uang gajinya." Kembali ia memilih model baju yang lain, berjalan ke barisan paling depan, diikuti oleh Frans dari belakang."Apakah tunangan Bapak akan menyukai warna ini?" Karin menunjukan dress dengan motif bunga berwarna dasar hitam kepada Frans."Kamu suka?" tanya Frans."Suka," jawaban Karin sambil mengangguk-anggukkan kepalanya."Tunangan saya akan menyukai semua warna yang kamu suka.""Kok seperti saya yang jadi tunangan Bapak, ya?""Kalau kamu mau, saya bisa menjadikan kamu tunangan saya."Mendengar pernyataan Frans, Karin pun tertawa terbahak-bahak. "Ya ampun, Pak. Bapak ada-ada aja deh. Udah ah bercandanya."Mereka terus berbincang sambil memilih beberapa baju hingga akhirnya tidak terasa sudah dua jam mereka ada di butik tersebut dan dia kantung yang Karin bawa, sudah penuh dengan pakaian yang Karin pilih. Setelah mendapatkan apa yang diperlukan, mereka duduk berdua di sofa, sementara menunggu semua belanjaan sedang dihitung di kasir."Uang lembur malam ini sudah saya transfer ke rekening suami kamu. Sesuai dengan yang saya janjikan, sudah saya transfer sebanyak 5 juta.""Baik, Pak. Terima kasih.""Saya juga sudah bilang sama suami kamu, kalau itu upah kalian berdua dan harus dibagi rata.""Iya, Pak." Karin menganggukkan kepalanya. Secara diam-diam dia mengirim pesan kepada Dani yang berisi,Karin: Pak Frans bilang itu upah kita berdua, aku bagi setengahnya, Mas. Aku pengen beli baju.Masih menunggu, karena proses pembayaran belum selesai. Tidak lama handphone milik
Karin menerima kertas tersebut dan mulai membacanya. Setelah selesai membaca, Karin bertanya, "Kamu kena kanker?"Dengan memasang wajah penuh kepalsuan Dani mengangguk. "Iya, Rin.""Kok bisa sih, Mas? Selama ini kamu baik-baik aja?" Dahi Karin mengerut, menatap tidak percaya."Bukan aku baik-baik aja, Rin. Aku cuma berusaha baik-baik aja di depan kamu, aku nggak mau bikin kamu khawatir, aku nggak mau terlihat menyedihkan." Dani bicara sambil meneteskan air mata. Air mata dusta, penuh kepalsuan.Karin menghampiri suaminya, membawa sang suami ke dalam pelukannya seraya memberikan kekuatan. "Tenang, Mas. Kita akan menghadapinya bersama, kamu pasti sembuh.""Untuk sembuh itu membutuhkan beberapa rangkaian pengobatan, Rin. Dan, pengobatan itu memerlukan banyak uang, kita punya uang dari mana?""Aku nggak tau, Mas. Tapi aku yakin semu pasti ada jalannya.""Jalannya cuma satu, Rin. Yaitu aku menceraikan kamu, lalu kamu menikah dengan pak Frans."Karin melepaskan pelukannya dan langsung menol
"Berikan aku waktu untuk berpikir, Mas. Aku nggak bisa langsung tanda tangan begitu aja. Banyak hal yang harus dipertimbangkan," lirih Karin yang hampir meneteskan air mata. Bagaimana mungkin dia melakukan itu? Mempermainkan pernikahan? Tentu ia tahu itu tidak benar."Adakah yang lebih penting dari nyawa aku, Rin?""Tapi, Mas. Kita juga punya orang tua, bagaimana dengan orang tua kita?"Sebelum menjawab pertanyaan sang istri, Dani bicara kepada Frans untuk meminta waktunya sebentar. "Pak, boleh saya bicara berdua dulu sama istri saya?""Silakan." Frans keluar dari ruangan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk bicara berdua, walaupun sebetulnya dia tahu apa yang akan mereka bicarakan.Setelah Frans pergi, Dani kembali bicara kepada Karin. "Masalah keluarga, kamu nggak usah takut, Rin. Kita rahasiakan kejadian ini dari mereka, toh mereka juga tinggal jauh dari kita."Karin diam, menundukkan wajahnya sambil meneteskan air mata."Dengarkan aku sayang, ini cuma sementara. Kalau aku uda
Dengan tegas Karin menjawab, "Nggak. Saya nggak mau!""Ini perintah. Kalau kamu menolak, kamu akan merasakan akibatnya," ancam Frans seenak jidat.Menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan. Bukan rumah biasa seperti yang Frans katakan tadi, tetapi salah satu apartemen mewah yang ada di kota Jakarta."Katanya rumah, kok ke apartemen?" tanya Karin sambil berjalan mengikuti ke mana Frans melangkah kakinya menuju unit tempat dia tinggal. Sejak turun dari mobil, Frans terus menggenggam tangan Karin. Padahal Karin sudah berusaha melepaskan diri, tetapi Frans malah semakin mengeratkan genggamannya."Saya berubah pikiran. Saya rasa kamu lebih baik tinggal di apartemen saya yang jauh lebih aman. Di sini tidak akan ada tetangga yang usil, jahil, apa lagi tukang gosip.""Selama Anda bersikap sewajarnya, Anda tidak melakukan kesalahan, kenapa Anda takut jadi bahan gosip warga?""Karna saya tidak aka bersikap sewajarnya." Jawaban Frans cukup mengejutkan."Mak
"Bukan saya loh yang bilang," ujar Frans seraya mengangkat kedua tangannya."Ah, sudahlah. Anda bisa tinggalkan saya sekarang? Saya mau istirahat." Karin berjalan ke arah pintu, membuka pintu setinggi dua meter itu lebar-lebar."Kenapa saya harus keluar dari sini? Ini kan apartemen saya." Bukannya keluar, Frans malah duduk di ujung ranjang dengan santainya."Karna saya ada di sini, kita nggak mungkin tinggal satu unit.""Kata siapa? Justru kita akan sering tinggal satu unit, walau tidak satu ranjang. Kalau di antara kita ada batasan, buat apa saya bawa kamu ke sini? Sia-sia dong uang saya?"Karin memutar kedua bola matanya dengan malas."Saya nggak suka saat kamu memutar kedua bola matamu. Sekali lagi kamu lakukan itu di depan saya, saya tidak akan segan-segan melakukan hal gila yang nggak pernah kamu duga.""Kalau saya melakukannya lagi?" ucapan Karin menantang."Coba saja kalau kamu berani."Kali ini
"Jangan buka kunci dan tetap di dalam kamar." Perintah Frans dengan tegas."Baik, Pak."Setelah bicara dengan Frans, Karin mengakhiri panggilan, lalu mendekap handphonenya di dada, kembali mengintip keluar dan dia melihat Bella saat ini sedang berusaha menghubungi Frans dalam sambungan telepon."Kamu di mana?" tanya Bella, samar-samar Karin mendengar suaranya dari dalam.Entah apa yang Frans jawab, Bella langsung bertanya perihal kunci password. "Kenapa kamu ganti password-nya?"Setelah itu, Bella meminta password yang baru. "Ya udah kasih tau aku."Tidak lama Bella pun mengiyakan ucapan Frans yang entah apa, Karin hanya mendengar Bella berkata, "Janji, ya. Aku pulang sekarang." Setelah itu sambungan telepon pun berakhir, lalu Bella pun pergi meninggalkan apartemen."Ah, akhirnya." Karin mengusap dadanya lega.Setelah Bella pergi, Karin kembali ke kamar untuk beristirahat. Handphone yang katanya seharga motor it
Frans berjalan menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan saat ini waktu menunjukkan pukul sembilan."Ini bukan lagi pagi, Karin. Ini pagi menjelang siang dan mustahil kalau kamu masih tidur, gerutu Frans tanpa menghentikan langkah kakinya menuju lantai bawah.Saat melewati ruang keluarga, sang ibu, Winda memanggilnya. "Frans!"Frans berhenti sebentar demi menyahuti panggilan sang ibu. "Ada apa?""Kamu mau ke mana sepagi ini?" tanya Winda seraya menggeser cursor maju pada pegangan kursi rodanya.Iya, Winda mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu, mengakibatkan kakinya mengalami cacat dan tidak bisa disembuhkan lagi walau sudah mendatangkan dokter ahli dari luar negeri."Ini udah siang, Bu. Jam sembilan," ujar Frans sudah tidak sabaran."Biasa juga kamu ke kantor jam sebelas.""Ada meeting penting, aku harus segera sampai di kantor, Bu.""I
Sesuai dengan permintaan Frans, dengan berat hati Karin pun berhenti bekerja. Dia meninggalkan tempat kerjanya setelah semua tugas selesai, lalu duduk di halte bis menunggu angkutan umum melintas. Baru saja duduk, ponselnya berdering. Dia mengambil benda pipih itu dari dalam tas kecil, tertera jelas nama suamiku pada layar ponselnya."Menyebalkan," gerutu Karin sambil menatap sebal."Mbak, bisa nggak teleponnya diangkat aja. Berisik," keluh seorang wanita yang saat ini duduk di sebelahnya, yang merasa terganggu oleh dering ponsel yang tidak mau berhenti."Tau, baru punya handphone kayak gitu aja sombong," seru teman lainnya tatkala melihat merek handphone milik Karin yang disinyalir harganya tembus angka dua puluh jutaan.Tidak ingin mencari masalah dengan dua wanita itu, akhinya ia pun memutuskan untuk menjawab panggilan.Karin: Apa?Frans: Bisa nggak ngomong yang lembut?Karin: Nggak bisa!Frans: Sekali lagi b