Share

Bab 3. Ada Udang di Balik Batu

"Rin," panggil Frans seraya menyadarkan Karin dari lamunannya.

Karin terperanjat, lalu menyahutinya. "Iya, Pak?"

"Malah bengong. Kenapa? Kamu keberatan kita cuma pergi berdua?"

"Ng–nggak kok, Pak. Saya sama sekali nggak keberatan. Dari pada menghabiskan waktu di sini, lebih baik kita ke dalam. Mau cari hadiah buat tunangan Bapak, kan?" Dari pada lama berduaan di tempat sepi, Karin lebih memilih mengajaknya untuk segera masuk ke dalam mal, segera menemukan apa yang diinginkan, setelah itu pulang.

"Ok. Kita ke dalam sekarang." Frans jalan lebih dulu, diikuti Karin dari belakang.

Tempat pertama yang mereka datangi adalah butik langganan Frans bersama sang kekasih, Bella. Mereka berdua masuk ke dalam butik dan langsung disebut hangat oleh kedua pelayan yang berdiri di pintu masuk butik. "Selamat malam, Pak Frans."

"Selamat malam."

"Wah, senang sekali butik kami kedatangan pelanggan setia hari ini," ucap salah satu pegawai butik.

"Iya, saya baru ada waktu lagi untuk datang ke sini."

"Sibuk ya, Pak."

"Iya, begitulah." Frans tersenyum ramah.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Tolong kamu carikan baju yang cocok untuk wanita spesial di sebelah saya." Setelah bicara demikian, Frans melingkarkan tangan pada pinggang Karin, lalu menariknya hingga ia bergeser lebih mendekat.

Hal itu sontak membuat Karin terkejut, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, takut mempermalukan Frans di depan banyak orang, karena saat ini di sana bukan hanya ada dua pegawai, tetapi ada beberapa pelanggan yang sedang berbelanja.

"Oh untuk mbaknya, ya?" Tatapan wanita itu sempat berhenti di Karin, karena kali ini Frans tidak datang bersama Bella, melainkan bersama wanita lain.

"Iya," jawab Frans singkat.

"Baiklah. Mari ikut saya!"

Pegawai butik itu berjalan lebih dulu menuju area baju pilihan terbaik juga termahal, diikuti Frans bersama Karin dari belakang. Begitu sampai di tempat khusus pelanggan yang memiliki banyak uang, pegawai butik itu pun mempersilahkan Frans juga Karin memilih baju mana pun yang mereka inginkan.

"Di sini Anda akan menemukan banyak pakaian yang cocok untuk wanita spesial di samping Anda," ucap wanita tersebut sambil tersenyum.

"Iya, terima kasih."

"Jika Anda memerlukan bantuan, Anda bisa panggil saya. Saya standby di sudut kasir."

"Oke."

"Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak."

Setelah pegawai butik itu pergi, Karin melayangkan protes. "Pak Frans, kenapa tadi Anda mengatakan kepada wanita itu kalau saya orang yang spesial buat Anda?"

"Terus, saya harus bilang apa? Pembantu? Nggak mungkin, kan? Lebih nggak mungkin lagi kalau aku bilang sama mereka kalau kamu calon istri aku."

"Apaan sih, Pak?" protes Karin.

"Lupakan! Ayo, kamu bisa ambil berapa pun pakaian yang kamu mau."

"Loh, kok saya sih, Pak?"

"Memangnya kenapa?"

"Bukannya saya disuruh Bapak pilih hadiah yang cocok buat pacar Bapak?"

"Bawa dua kantung belanjaan, yang satu kamu isi pakaian untuk pacar saya, yang satu kamu isi pakaian untuk kamu."

"Saya juga mau dibelikan?" tanyanya lagi untuk memastikan.

"Iya dong, masa saya cuma beli buat pacar saya aja. Anggap saja saya kasih upah lebih untuk kamu, tapi ini berbentuk barang."

"Oh, begitu ya, Pak. Ya udah deh, saya coba pilihkan baju yang menurut saya bagus ya, Pak. Tapi, postur tubuh pacar Pak Frans seperti apa?"

"Kamu. Tinggi juga kurusnya seperti kamu."

"Oh, ya? Kenapa bisa pas begitu?"

Frans mengangguk tanpa berkata, berdiri sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Ayo kita mulai cari."

Karin berjalan di depan dan mulai memilih baju yang menurutnya bagus untuk dikenakan tunangan Frans. Sementara Karin memilih baju, Frans di belakang, dia berbalas pesan dengan sang kekasih.

Frans: Aku lagi mengadakan pertemuan sama rekan kerja. Kita nggak bisa ketemu sekarang.

Balasan yang Frans kirim kepada sang kekasih yang sejak lima jam lalu memintanya untuk bertemu.

Bella: Setelah pertemuan selesai, aku tunggu kamu di hotel. Aku sangat merindukanmu, Sayang."

"Nggak bisa, Bel. Ini pasti sampai malam."

Setelah mengirim balasan, Karin memanggil Frans. "Pak Frans."

Frans menoleh, seraya memasukkan handphonenya ke dalam saku jas. "Iya, ada apa?"

"Ini bagus nggak, Pak?"

"Kamu suka?"

Karin mengangguk. "Suka."

"Ya udah, ambil aja kalau kamu mau."

"Baik, Pak." Karih memasukkan baju yang ditunjukkan tadi ke dalam kantung belanjaan yang isinya banyak. Kantung belanjaan milik Bella.

"Berapa baju yang ingin Bapak berikan kepada tunangan Bapak?" tanya Karin bertanya sambil menghitung baju di dalam kantung belanjaannya.

"Sebanyak yang mau mau."

"Lima? Sepuluh?" tanyanya lagi.

"Terserah."

"Kok terserah sih, Pak?"

"Menurut kamu gimana?"

"Kalau saya jadi tunangan Bapak, saya pilih semua yang ada di butik ini."

"Ya sudah, kalau begitu kamu jadi tunangan saya saja."

Pernyataan tersebut cukup mengejutkan. "Maksud Pak Frans?"

"Bercanda, Rin. Serius amat." Frans menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa ketertarikan dirinya terhadap Karin. Dia mengubah topik pembicaraan seputar rumah tangganya bersama Dani sambil memilih model baju yang lain.

"Dani pria yang baik?" Frans melontarkan sebuah pertanyaan, bukan pernyataan.

"Baik, dia sangat bertanggung jawab," jawab Karin berbohong sambil melihat salah satu jenis baju dengan model sabrina di bagian atasnya.

"Oh, ya? Dengan gaji satu setengah juta itu cukup buat satu bulan?" tanyanya lagi.

"Ya nggaklah. Mana ada satu setengah juta cukup buat satu bulan? Belum bayar kontrakan, bayar listrik, air, iuran bulanan ke RT. Kalau dihitung-hitung tinggal berapa sisanya? Pasti nggak bakal cukuplah," gumam Karin di dalam hati.

Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, Frans memanggilnya lagi. "Karin."

"Iya, Pak?" Karin menoleh.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya."

"Yang man, Pak?"

"Gaji suamimu cuma satu setengah juta. Cukup untuk memenuhi kebutuhan kamu selama satu bulan?"

"Dicukup-cukupin aja, Pak. Mau minta juga minta sama siapa? Kecuali gaji mas Dani ada kenaikan." Maksud Karin bicara seperti itu, siapa tau Frans akan menaikkan gaji suaminya, minimal jadi dua juta. Karin pun bicara seperti itu sambil tersenyum, agar tidak terlalu kelihatan serius.

"Naik gaji? Kalau aku naikkan, belum tentu juga Dani akan memberikan semuanya ke kamu."

"Eh, kok. Dia kayak yang tau aja kalau aslinya mas Dani suka meminta sebagian gajinya?" batin Karin.

"Kenapa diam lagi? Apakah ucapan aku benar?" Frans tidak asal menebak, dia tahu persis pria modelan Dani begitu tidak akan memberikan semua uang gajinya kepada sang istri, padahal Dani sendiri punya uang lemburan yang cukup besar.

Sebagai istri yang baik, Karin tidak mungkin membeberkan keburukan suaminya. Walau bagaimanapun dia tetep akan membela. "Nggak kok, Pak. Mas Dani menyerahkan semua uang gajinya." Kembali ia memilih model baju yang lain, berjalan ke barisan paling depan, diikuti oleh Frans dari belakang.

"Apakah tunangan Bapak akan menyukai warna ini?" Karin menunjukan dress dengan motif bunga berwarna dasar hitam kepada Frans.

"Kamu suka?" tanya Frans.

"Suka," jawaban Karin sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Tunangan saya akan menyukai semua warna yang kamu suka."

"Kok seperti saya yang jadi tunangan Bapak, ya?"

"Kalau kamu mau, saya bisa menjadikan kamu tunangan saya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status