Share

Bab 4. Permintaan Di Luar Nalar

Mendengar pernyataan Frans, Karin pun tertawa terbahak-bahak. "Ya ampun, Pak. Bapak ada-ada aja deh. Udah ah bercandanya."

Mereka terus berbincang sambil memilih beberapa baju hingga akhirnya tidak terasa sudah dua jam mereka ada di butik tersebut dan dia kantung yang Karin bawa, sudah penuh dengan pakaian yang Karin pilih. Setelah mendapatkan apa yang diperlukan, mereka duduk berdua di sofa, sementara menunggu semua belanjaan sedang dihitung di kasir.

"Uang lembur malam ini sudah saya transfer ke rekening suami kamu. Sesuai dengan yang saya janjikan, sudah saya transfer sebanyak 5 juta."

"Baik, Pak. Terima kasih."

"Saya juga sudah bilang sama suami kamu, kalau itu upah kalian berdua dan harus dibagi rata."

"Iya, Pak." Karin menganggukkan kepalanya. Secara diam-diam dia mengirim pesan kepada Dani yang berisi,

Karin: Pak Frans bilang itu upah kita berdua, aku bagi setengahnya, Mas. Aku pengen beli baju.

Masih menunggu, karena proses pembayaran belum selesai. Tidak lama handphone milik Karin berdering, dia mendapatkan sebuah balasan berbentuk Voice Note dari suaminya.

Dani: Enak aja dibagi dua, udah dapet gaji masih aja pengen duit aku. Nggak ada bagi-bagian, uang lima juta ini milik aku semuanya.

Voice note itu juga didengar oleh Frans, Karin langsung menekan tombol stop dan langsung menatap Frans dengan memasang wajah malu.

"Kamu nggak usah malu, Rin. Saya sudah tau bagaimana sifat suami kamu. Jadi, saya nggak kaget mendenger suami kamu bicara seperti itu."

Karin menundukkan wajahnya, lalu Frans meraih dagunya, mengangkat wajah Karin hingga mata mereka saling menatap satu sama lain.

"Biarkan uang itu dihabiskan oleh suamimu, aku akan memberikan kamu uang lebih banyak lagi."

"Kenapa?"

"Apakah berbuat kebaikan harus memiliki alasan?"

"Aku pikir ...."

Belum selesai satu kalimat diucapkan, Frans memangkasnya dengan cepat. "Berapa nomer rekening kamu?"

"Saya nggak punya nomer rekening, Pak."

"Kalau begitu, setelah ini kita pergi ke ATM. Oke."

"Tapi, Pak. Saya rasa ini terlalu berlebihan."

"Saya melakukannya dengan tulus, Karin. Tolong jangan mencurigai ketulusan saya. Itu sangat menyakitkan."

"Maaf kalau saya menyinggung perasaan Anda." Raut wajahnya menunjukkan rasa menyesal, karena sudah berpikir buruk tentang kebaikan orang lain.

"Nggak apa-apa, saya baik-baik aja."

Tidak lama setelah itu datang pegawai butik menyerahkan semua belanjaan berikut struk nya. Untuk melakukan pembayaran, Frans menyerahkan sebuah kartu kepada kasir dan kartu tersebut dikembalikan kepada pemiliknya setelah selesai melakukan pembayaran.

Sesuai dengan yang dijanjikan, Frans bersama Karin pergi ke mesin ATM, mengambil uang sebanyak sepuluh juta, lalu uang itu ia serahkan kepada Karin.

"Ini buat kamu. Jangan bilang-bilang sama Dani, bisa-bisa dia ambil semuanya."

Walau ragu, akhirnya Karin pun menerima uang pemberian Frans, tetapi dengan dahi mengerut. "Kenapa uang sebanyak ini Anda berikan kepada saya, Pak?"

"Saya merasa iba. Kamu sebaik ini, tetapi memiliki suami seperti Dani. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk menolong kamu. Terimalah."

"Anda baik sekali, Pak. Saya doakan semoga Anda selalu bahagia, semakin sukses karirnya."

"Terima kasih atas doanya."

"Sama-sama, Pak." Karin menunduk hormat, lalu Frans meraih bahu Karin dengan kedua tangannya. Hal itu sontak membuat Karin terkejut, tetapi dia diam demi menjaga perasaan Frans.

Frans tahu Karin merasa kurang nyaman, lalu ia pun menurunkan tangan dari bahu Karin seraya meminta maaf. "Maaf, saya nggak ada maksud apa-apa."

"Nggak apa-apa, Pak." Karin tersenyum tulus.

"Baiklah, mari saya antar kamu pulang."

Tidak ingin terlalu banyak merepotkan, Karin pun menolak tawarannya. "Saya pulang naik angkutan umum aja, Pak."

"Nggak mungkin dong, Rin. Masa saya membiarkan kamu pulang sendiri. Kalau ada apa-apa, gimana?"

"Nggak apa-apa, saya udah terbiasa."

"Karin!" Suara Frans menggeram. "Ayo aku antar kamu pulang. Ini perintah."

"Tapi, Pak."

"Nggak ada tapi-tapian, kita pulang sekarang." Frans membuka pintu di sisi kiri samping kemudi, lalu mempersilahkan Karin untuk masuk. "Masuklah."

Tidak mungkin menolak, akhirnya Karin pun masuk ke dalam mobil mewah tersebut walau dengan perasaan ragu.

Menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan yaitu kontrakan tempat tinggal Karin bersama Dani yang memiliki ukuran kecil, yang bisa dipastikan kontrakan tersebut hanya memiliki satu kamar tidur, satu ruang tamu, dapur sempit yang letaknya berada di ujung.

"Kamu tinggal di sini?"

"Iya, di sinilah saya tinggal, Pak."

Pandangan Frans berkeliling, melihat sekitar kontrakan yang terlihat sangat kumuh. Terdapat kandang ayam menempel pada dinding bangunan, juga tumpukan sampah warga yang sengaja menumpuk di bangunan sebelahnya.

Kondisinya sangat memperihatinkan. Seandainya saja Dani sudah menceraikan Karin, pasti Frans sudah membawanya pergi jauh. Tidak lagi tinggal di tempat yang menurutnya sangat tidak layak dihuni.

"Kenapa, Pak? Jelek, ya? Kumuh? Pasti pak Frans bilang rumah ini nggak layak huni."

"Oh nggak, Rin. Saya sama sekali nggak berpikir seperti itu."

"Kalaupun dia juga nggak apa-apa sih, Pak. Memang seperti inilah tempat tinggal saya."

"Nanti, saya akan memberikan kamu tempat tinggal yang lebih layak, Rin. Kamu akan merasa sangat nyaman."

"Bapak ada-ada aja. Udah, ah. Saya turun dulu ya, Pak. Terima kasih untuk hari ini, terima kasih untuk bajunya, terima kasih atas uangnya, juga terima kasih sudah mengantarkan saya pulang." Karin bicara seraya melepaskan seat belt yang melingkar.

"Saya yang seharusnya berterima kasih. Terima kasih kamu mau menemani saya berbelanja."

"Sama-sama, Pak. Senyum Karin begitu manis.

Setelah itu Karin keluar dari mobil sambil membawa 1 kantung belanjaan, lalu masuk ke dalam rumah tanpa melihat lagi ke belakang. Saat Frans menginjak pedal gas melaju mundur, dia melihat sosok wanita keluar dari belakang kontrakan Karin dalam keadaan hanya memakai celana panjang berwarna biru, baju didekap dalam pelukannya.

"Kamu benar-benar harus melepaskan bidadari seperti Karin, Dani. Kamu sama sekali tidak pantas menjadi suaminya, hanya akulah yang pantas," gumam Frans seraya menginjak pedal gas, kali ini ia melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan kontrakan.

***

Waktu berlalu, hari pun berganti hari. Setiap pagi Karin selalu bangun lebih awal dari suaminya. Dia langsung beraksi di dapur untuk memasak sayur lodeh, ikan asin, sambal terasi, dan sebagai pelengkapnya yaitu kerupuk. Beberapa sudah selesai dimasak dan sudah disajikan di atas meja makan, beberapa masih dalam on proses di atas kompor.

"Masak apa?" tanya Dani yang baru saja datang. Dia menuangkan segelas air minum ke dalam gelas kosong, lalu menenggaknya hampir habis.

"Masak sayur lodeh, Mas," jawab Karin tanpa menghentikan aktivitasnya.

"Karin, bisa ke sini sebentar. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu."

"Kenapa? Bilang aja. Tanggung nih."

"Nggak bisa, Rin. Aku mau ngomong serius."

"Ya udah, tunggu sebentar, ya."

Tidak bisa menunggu terlalu lama, Dani pun mengungkapkan keinginannya. "Kita harus bercerai, Rin."

Pernyataan itu sontak membuat Karin terkejut. Dia langsung nghentikan aktifitasnya. Dia menoleh ke arah Dani.

"Apa maksud kamu, Mas?"

Dani menyerahkan selembar kertas kepada Karin sebagai alasan. "Baca itu, Rin."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status