Mendengar pernyataan Frans, Karin pun tertawa terbahak-bahak. "Ya ampun, Pak. Bapak ada-ada aja deh. Udah ah bercandanya."
Mereka terus berbincang sambil memilih beberapa baju hingga akhirnya tidak terasa sudah dua jam mereka ada di butik tersebut dan dia kantung yang Karin bawa, sudah penuh dengan pakaian yang Karin pilih. Setelah mendapatkan apa yang diperlukan, mereka duduk berdua di sofa, sementara menunggu semua belanjaan sedang dihitung di kasir."Uang lembur malam ini sudah saya transfer ke rekening suami kamu. Sesuai dengan yang saya janjikan, sudah saya transfer sebanyak 5 juta.""Baik, Pak. Terima kasih.""Saya juga sudah bilang sama suami kamu, kalau itu upah kalian berdua dan harus dibagi rata.""Iya, Pak." Karin menganggukkan kepalanya. Secara diam-diam dia mengirim pesan kepada Dani yang berisi,Karin: Pak Frans bilang itu upah kita berdua, aku bagi setengahnya, Mas. Aku pengen beli baju.Masih menunggu, karena proses pembayaran belum selesai. Tidak lama handphone milik Karin berdering, dia mendapatkan sebuah balasan berbentuk Voice Note dari suaminya.Dani: Enak aja dibagi dua, udah dapet gaji masih aja pengen duit aku. Nggak ada bagi-bagian, uang lima juta ini milik aku semuanya.Voice note itu juga didengar oleh Frans, Karin langsung menekan tombol stop dan langsung menatap Frans dengan memasang wajah malu."Kamu nggak usah malu, Rin. Saya sudah tau bagaimana sifat suami kamu. Jadi, saya nggak kaget mendenger suami kamu bicara seperti itu."Karin menundukkan wajahnya, lalu Frans meraih dagunya, mengangkat wajah Karin hingga mata mereka saling menatap satu sama lain."Biarkan uang itu dihabiskan oleh suamimu, aku akan memberikan kamu uang lebih banyak lagi.""Kenapa?""Apakah berbuat kebaikan harus memiliki alasan?""Aku pikir ...."Belum selesai satu kalimat diucapkan, Frans memangkasnya dengan cepat. "Berapa nomer rekening kamu?""Saya nggak punya nomer rekening, Pak.""Kalau begitu, setelah ini kita pergi ke ATM. Oke.""Tapi, Pak. Saya rasa ini terlalu berlebihan.""Saya melakukannya dengan tulus, Karin. Tolong jangan mencurigai ketulusan saya. Itu sangat menyakitkan.""Maaf kalau saya menyinggung perasaan Anda." Raut wajahnya menunjukkan rasa menyesal, karena sudah berpikir buruk tentang kebaikan orang lain."Nggak apa-apa, saya baik-baik aja."Tidak lama setelah itu datang pegawai butik menyerahkan semua belanjaan berikut struk nya. Untuk melakukan pembayaran, Frans menyerahkan sebuah kartu kepada kasir dan kartu tersebut dikembalikan kepada pemiliknya setelah selesai melakukan pembayaran.Sesuai dengan yang dijanjikan, Frans bersama Karin pergi ke mesin ATM, mengambil uang sebanyak sepuluh juta, lalu uang itu ia serahkan kepada Karin."Ini buat kamu. Jangan bilang-bilang sama Dani, bisa-bisa dia ambil semuanya."Walau ragu, akhirnya Karin pun menerima uang pemberian Frans, tetapi dengan dahi mengerut. "Kenapa uang sebanyak ini Anda berikan kepada saya, Pak?""Saya merasa iba. Kamu sebaik ini, tetapi memiliki suami seperti Dani. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk menolong kamu. Terimalah.""Anda baik sekali, Pak. Saya doakan semoga Anda selalu bahagia, semakin sukses karirnya.""Terima kasih atas doanya.""Sama-sama, Pak." Karin menunduk hormat, lalu Frans meraih bahu Karin dengan kedua tangannya. Hal itu sontak membuat Karin terkejut, tetapi dia diam demi menjaga perasaan Frans.Frans tahu Karin merasa kurang nyaman, lalu ia pun menurunkan tangan dari bahu Karin seraya meminta maaf. "Maaf, saya nggak ada maksud apa-apa.""Nggak apa-apa, Pak." Karin tersenyum tulus."Baiklah, mari saya antar kamu pulang."Tidak ingin terlalu banyak merepotkan, Karin pun menolak tawarannya. "Saya pulang naik angkutan umum aja, Pak.""Nggak mungkin dong, Rin. Masa saya membiarkan kamu pulang sendiri. Kalau ada apa-apa, gimana?""Nggak apa-apa, saya udah terbiasa.""Karin!" Suara Frans menggeram. "Ayo aku antar kamu pulang. Ini perintah.""Tapi, Pak.""Nggak ada tapi-tapian, kita pulang sekarang." Frans membuka pintu di sisi kiri samping kemudi, lalu mempersilahkan Karin untuk masuk. "Masuklah."Tidak mungkin menolak, akhirnya Karin pun masuk ke dalam mobil mewah tersebut walau dengan perasaan ragu.Menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan yaitu kontrakan tempat tinggal Karin bersama Dani yang memiliki ukuran kecil, yang bisa dipastikan kontrakan tersebut hanya memiliki satu kamar tidur, satu ruang tamu, dapur sempit yang letaknya berada di ujung."Kamu tinggal di sini?""Iya, di sinilah saya tinggal, Pak."Pandangan Frans berkeliling, melihat sekitar kontrakan yang terlihat sangat kumuh. Terdapat kandang ayam menempel pada dinding bangunan, juga tumpukan sampah warga yang sengaja menumpuk di bangunan sebelahnya.Kondisinya sangat memperihatinkan. Seandainya saja Dani sudah menceraikan Karin, pasti Frans sudah membawanya pergi jauh. Tidak lagi tinggal di tempat yang menurutnya sangat tidak layak dihuni."Kenapa, Pak? Jelek, ya? Kumuh? Pasti pak Frans bilang rumah ini nggak layak huni.""Oh nggak, Rin. Saya sama sekali nggak berpikir seperti itu.""Kalaupun dia juga nggak apa-apa sih, Pak. Memang seperti inilah tempat tinggal saya.""Nanti, saya akan memberikan kamu tempat tinggal yang lebih layak, Rin. Kamu akan merasa sangat nyaman.""Bapak ada-ada aja. Udah, ah. Saya turun dulu ya, Pak. Terima kasih untuk hari ini, terima kasih untuk bajunya, terima kasih atas uangnya, juga terima kasih sudah mengantarkan saya pulang." Karin bicara seraya melepaskan seat belt yang melingkar."Saya yang seharusnya berterima kasih. Terima kasih kamu mau menemani saya berbelanja.""Sama-sama, Pak. Senyum Karin begitu manis.Setelah itu Karin keluar dari mobil sambil membawa 1 kantung belanjaan, lalu masuk ke dalam rumah tanpa melihat lagi ke belakang. Saat Frans menginjak pedal gas melaju mundur, dia melihat sosok wanita keluar dari belakang kontrakan Karin dalam keadaan hanya memakai celana panjang berwarna biru, baju didekap dalam pelukannya."Kamu benar-benar harus melepaskan bidadari seperti Karin, Dani. Kamu sama sekali tidak pantas menjadi suaminya, hanya akulah yang pantas," gumam Frans seraya menginjak pedal gas, kali ini ia melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan kontrakan.***Waktu berlalu, hari pun berganti hari. Setiap pagi Karin selalu bangun lebih awal dari suaminya. Dia langsung beraksi di dapur untuk memasak sayur lodeh, ikan asin, sambal terasi, dan sebagai pelengkapnya yaitu kerupuk. Beberapa sudah selesai dimasak dan sudah disajikan di atas meja makan, beberapa masih dalam on proses di atas kompor."Masak apa?" tanya Dani yang baru saja datang. Dia menuangkan segelas air minum ke dalam gelas kosong, lalu menenggaknya hampir habis."Masak sayur lodeh, Mas," jawab Karin tanpa menghentikan aktivitasnya."Karin, bisa ke sini sebentar. Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.""Kenapa? Bilang aja. Tanggung nih.""Nggak bisa, Rin. Aku mau ngomong serius.""Ya udah, tunggu sebentar, ya."Tidak bisa menunggu terlalu lama, Dani pun mengungkapkan keinginannya. "Kita harus bercerai, Rin."Pernyataan itu sontak membuat Karin terkejut. Dia langsung nghentikan aktifitasnya. Dia menoleh ke arah Dani."Apa maksud kamu, Mas?"Dani menyerahkan selembar kertas kepada Karin sebagai alasan. "Baca itu, Rin."Karin menerima kertas tersebut dan mulai membacanya. Setelah selesai membaca, Karin bertanya, "Kamu kena kanker?"Dengan memasang wajah penuh kepalsuan Dani mengangguk. "Iya, Rin.""Kok bisa sih, Mas? Selama ini kamu baik-baik aja?" Dahi Karin mengerut, menatap tidak percaya."Bukan aku baik-baik aja, Rin. Aku cuma berusaha baik-baik aja di depan kamu, aku nggak mau bikin kamu khawatir, aku nggak mau terlihat menyedihkan." Dani bicara sambil meneteskan air mata. Air mata dusta, penuh kepalsuan.Karin menghampiri suaminya, membawa sang suami ke dalam pelukannya seraya memberikan kekuatan. "Tenang, Mas. Kita akan menghadapinya bersama, kamu pasti sembuh.""Untuk sembuh itu membutuhkan beberapa rangkaian pengobatan, Rin. Dan, pengobatan itu memerlukan banyak uang, kita punya uang dari mana?""Aku nggak tau, Mas. Tapi aku yakin semu pasti ada jalannya.""Jalannya cuma satu, Rin. Yaitu aku menceraikan kamu, lalu kamu menikah dengan pak Frans."Karin melepaskan pelukannya dan langsung menol
"Berikan aku waktu untuk berpikir, Mas. Aku nggak bisa langsung tanda tangan begitu aja. Banyak hal yang harus dipertimbangkan," lirih Karin yang hampir meneteskan air mata. Bagaimana mungkin dia melakukan itu? Mempermainkan pernikahan? Tentu ia tahu itu tidak benar."Adakah yang lebih penting dari nyawa aku, Rin?""Tapi, Mas. Kita juga punya orang tua, bagaimana dengan orang tua kita?"Sebelum menjawab pertanyaan sang istri, Dani bicara kepada Frans untuk meminta waktunya sebentar. "Pak, boleh saya bicara berdua dulu sama istri saya?""Silakan." Frans keluar dari ruangan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk bicara berdua, walaupun sebetulnya dia tahu apa yang akan mereka bicarakan.Setelah Frans pergi, Dani kembali bicara kepada Karin. "Masalah keluarga, kamu nggak usah takut, Rin. Kita rahasiakan kejadian ini dari mereka, toh mereka juga tinggal jauh dari kita."Karin diam, menundukkan wajahnya sambil meneteskan air mata."Dengarkan aku sayang, ini cuma sementara. Kalau aku uda
Dengan tegas Karin menjawab, "Nggak. Saya nggak mau!""Ini perintah. Kalau kamu menolak, kamu akan merasakan akibatnya," ancam Frans seenak jidat.Menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan. Bukan rumah biasa seperti yang Frans katakan tadi, tetapi salah satu apartemen mewah yang ada di kota Jakarta."Katanya rumah, kok ke apartemen?" tanya Karin sambil berjalan mengikuti ke mana Frans melangkah kakinya menuju unit tempat dia tinggal. Sejak turun dari mobil, Frans terus menggenggam tangan Karin. Padahal Karin sudah berusaha melepaskan diri, tetapi Frans malah semakin mengeratkan genggamannya."Saya berubah pikiran. Saya rasa kamu lebih baik tinggal di apartemen saya yang jauh lebih aman. Di sini tidak akan ada tetangga yang usil, jahil, apa lagi tukang gosip.""Selama Anda bersikap sewajarnya, Anda tidak melakukan kesalahan, kenapa Anda takut jadi bahan gosip warga?""Karna saya tidak aka bersikap sewajarnya." Jawaban Frans cukup mengejutkan."Mak
"Bukan saya loh yang bilang," ujar Frans seraya mengangkat kedua tangannya."Ah, sudahlah. Anda bisa tinggalkan saya sekarang? Saya mau istirahat." Karin berjalan ke arah pintu, membuka pintu setinggi dua meter itu lebar-lebar."Kenapa saya harus keluar dari sini? Ini kan apartemen saya." Bukannya keluar, Frans malah duduk di ujung ranjang dengan santainya."Karna saya ada di sini, kita nggak mungkin tinggal satu unit.""Kata siapa? Justru kita akan sering tinggal satu unit, walau tidak satu ranjang. Kalau di antara kita ada batasan, buat apa saya bawa kamu ke sini? Sia-sia dong uang saya?"Karin memutar kedua bola matanya dengan malas."Saya nggak suka saat kamu memutar kedua bola matamu. Sekali lagi kamu lakukan itu di depan saya, saya tidak akan segan-segan melakukan hal gila yang nggak pernah kamu duga.""Kalau saya melakukannya lagi?" ucapan Karin menantang."Coba saja kalau kamu berani."Kali ini
"Jangan buka kunci dan tetap di dalam kamar." Perintah Frans dengan tegas."Baik, Pak."Setelah bicara dengan Frans, Karin mengakhiri panggilan, lalu mendekap handphonenya di dada, kembali mengintip keluar dan dia melihat Bella saat ini sedang berusaha menghubungi Frans dalam sambungan telepon."Kamu di mana?" tanya Bella, samar-samar Karin mendengar suaranya dari dalam.Entah apa yang Frans jawab, Bella langsung bertanya perihal kunci password. "Kenapa kamu ganti password-nya?"Setelah itu, Bella meminta password yang baru. "Ya udah kasih tau aku."Tidak lama Bella pun mengiyakan ucapan Frans yang entah apa, Karin hanya mendengar Bella berkata, "Janji, ya. Aku pulang sekarang." Setelah itu sambungan telepon pun berakhir, lalu Bella pun pergi meninggalkan apartemen."Ah, akhirnya." Karin mengusap dadanya lega.Setelah Bella pergi, Karin kembali ke kamar untuk beristirahat. Handphone yang katanya seharga motor it
Frans berjalan menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan saat ini waktu menunjukkan pukul sembilan."Ini bukan lagi pagi, Karin. Ini pagi menjelang siang dan mustahil kalau kamu masih tidur, gerutu Frans tanpa menghentikan langkah kakinya menuju lantai bawah.Saat melewati ruang keluarga, sang ibu, Winda memanggilnya. "Frans!"Frans berhenti sebentar demi menyahuti panggilan sang ibu. "Ada apa?""Kamu mau ke mana sepagi ini?" tanya Winda seraya menggeser cursor maju pada pegangan kursi rodanya.Iya, Winda mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu, mengakibatkan kakinya mengalami cacat dan tidak bisa disembuhkan lagi walau sudah mendatangkan dokter ahli dari luar negeri."Ini udah siang, Bu. Jam sembilan," ujar Frans sudah tidak sabaran."Biasa juga kamu ke kantor jam sebelas.""Ada meeting penting, aku harus segera sampai di kantor, Bu.""I
Sesuai dengan permintaan Frans, dengan berat hati Karin pun berhenti bekerja. Dia meninggalkan tempat kerjanya setelah semua tugas selesai, lalu duduk di halte bis menunggu angkutan umum melintas. Baru saja duduk, ponselnya berdering. Dia mengambil benda pipih itu dari dalam tas kecil, tertera jelas nama suamiku pada layar ponselnya."Menyebalkan," gerutu Karin sambil menatap sebal."Mbak, bisa nggak teleponnya diangkat aja. Berisik," keluh seorang wanita yang saat ini duduk di sebelahnya, yang merasa terganggu oleh dering ponsel yang tidak mau berhenti."Tau, baru punya handphone kayak gitu aja sombong," seru teman lainnya tatkala melihat merek handphone milik Karin yang disinyalir harganya tembus angka dua puluh jutaan.Tidak ingin mencari masalah dengan dua wanita itu, akhinya ia pun memutuskan untuk menjawab panggilan.Karin: Apa?Frans: Bisa nggak ngomong yang lembut?Karin: Nggak bisa!Frans: Sekali lagi b
Waktu terus berjalan, hari telah berganti hari, bulan pun telah berganti bulan, hingga tidak terasa hari yang dinanti pun tiba. Hari di mana Karin bisa menikah lagi setelah menjada selama beberapa bulan, hari di mana Fans bisa mempersunting Karin dan menjadikan dia miliknya untuk selamanya."Kita akan menemui om kamu pagi ini. Kamu udah bilang sama om kamu, kan?" tanya Frans di sela-sela kegiatannya yang saat ini tengah sarapan bersama."Iya, Pak." Karin menjawab singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan yang sedang diaduk-aduk."Berapa kali sih aku bilang sama kamu, Rin. Jangan panggil aku Pak. Panggil aku mas, karna aku akan segera menjadi suami kamu."Dan, Karin selalu lupa akan perintah itu. Sampai sekarang dia merasa seperti pembantu yang diperlakukan semaunya. kadang-kadang spesial, kadang-kadang semena-mena.Sedang tidak ingin berdebat, ia pun memilih patuh atas perintah Frans. "Iya, Mas.""Nah, gitu dong. Itu ja