Orang tua selalu tahu apa yang anaknya inginkan dan apa yang tidak diinginkan. Erik tahu orang seperti apa yang akan membuat putranya merasa nyaman dan dia tahu kalau putranya akan menyukai Karin, terbukti setelah membacakan buku cerita selama lima belas menit, akhinya putranya pun tertidur lelap. Perlahan Karin menarik tangan yang dijadikan bantal oleh Agam, lalu beringsut turun dari atas ranjang dengan sangat hati-hati."Selamat malam, Nak." Karin mengusap lembut kening Agam, lalu mengecupnya singkat. Melihat Agam, dia seperti melihat Rafa, putranya."Putraku sudah tidur?" tanya Erik yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamar.Karin melihat ke arah sumber suara, lalu menjawab dengan suara pelan. "Sudah, Pak.""Kamu bisa tinggalkan putra saya, dia akan bangun pagi dengan wajah cerah."Karin mengangguk sambil tersenyum, lalu berjalan menuju pintu. "Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak.""Baiklah."Karin menunduk hormat, lalu berjalan pergi. Saat dia mendengar suara pintu ditutup, t
Ada perasaan mengganjal pada hati Winda ketika suaminya melarang Karin makan di meja makan bersama dengan yang lainnya, hingga akhirnya ia pun melayangkan protes. "Apa salah Karin makan sama kita?""Kenapa harus? Dia cuma pembantu." Suryo menarik kursinya, lalu ia duduk seraya menyingsingkan lengan bajunya."Dia asisten aku, Mas. Aku menyukainya.""Jangan bersikap berlebihan, Winda! Nggak ada sejarahnya pembantu makan bersama majikan."Saat Winda akan bicara lagi, Karin lebih dulu bicara sambil tersenyum. "Nggak apa-apa, Bu. Yang Bapak katakan benar. Lagi pula, saya meras kurang sopan dan tidak tahu diri kalau sampai sarapan satu meja makan dengan kalian.""Bagus. Kamu harus seperti itu, minimal tau diri," pekik Suryo."Baik, Pak.""Ayo, Rin," ajak Ayu seraya menarik tangannya, membawa Karin ke belakang rumah.Frans yang baru saja datang, lalu melihat Karin berjalan bersama sang pembantu menuju pintu belakang pun memangilnya. "Mau ke mana kamu, Rin?"Karin menghentikan langkah, lalu m
Semua pekerjaan sudah selesai. Saat ini Karin tengah menemani Winda di halaman belakang, melihat-lihat tanaman yang sengaja Winda tanam agar menambah efek segar saat berada di halaman belakang ketika berkumpul. Karin membersihkan dedaunan yang jatuh di dalam pot, sedangkan Winda memotong ujung tanaman agar terlihat lebih rapih."Frans menyukai bunga," ucap Winda tiba-tiba.Karin menoleh, lalu bertanya, "Benarkah? Tapi, selama saya tinggal di apartemen, saya nggak liat ada bunga.""Nggak bakal ada, sekarang dia malah sangat membenci bunga."Jawaban Winda membuat Karin penasaran, lalu ia pun kembali bertanya, "Kenapa?" Kali ini dia bicara sambil melihat ke arah Winda yang masih betah dengan kegiatannya."Waktu kuliah Frans pernah punya pacar. Dia nyuruh pacarnya beli bunga untuk kepentingan kampus, tapi sayang saat di perjalanan wanita itu mengalami kecelakaan dan langsung meninggal di tempat. Sejak itulah dia berubah jadi membenci bunga.""Oh, kasihan pak Frans." Kembali Karin dengan k
"Temenin Bapak makan?" ulang Karin dengan ekspresi wajah terkejut."Itu kalau kamu mau, kalau nggak ya nggak apa-apa," jawab Erik dengan santainya."Mmm ... gimana ya Pak." Karin menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.Belum sempat menjawab mau atau tidak, pintu lift terbuka. Karin buru-buru keluar, lalu diikuti oleh Erik dari belakang."Oh iya, ini box makan siang milik Bapak." Karin mengeluarkan satu box dari dalam tasnya, lalu ia serahkan langsung kepada Erik.Erik menerima itu sambil tersenyum, dia sangat tahu kalau secara tidak langsung Karin menolak ajakannya dan penolakan itu membuat Erik semakin tertarik pada sosok Karin."Saya nganterin punya pak Frans dulu ya, Pak.""Silakan."Karin berjalan ke sisi lain, melewati sebuah koridor luas sepanjang lima meter, lalu melewati beberapa meja karyawan dengan terus diikuti oleh Erik menuju ruang kerja Frans."Kok dia ngikutin aku sih? Sebenernya di mana ruang kerja dia?" batin Karin bergumam dan Erik masih terus mengikutinya.Keti
Bella tidak terima, dia menghampiri Frans, lalu melayangkan protes. "Apaan sih kamu, Frans. Kalau kamu marah sama aku, nggak gini caranya. Lepaskan tangan perempuan murahan ini!""Jangan gila, Frans. Kenapa kamu bersikap seperti ini?" seru Erik yang saat ini mulai menaruh curiga terhadap sikap adiknya yang berlebihan terhadap Karin.Tanpa menjawab pertanyaan mereka berdua, Frans menarik tangan Karin, mendorong Bella juga Erik dari ruangannya, setelah mereka berada di luar, Frans langsung menutup pintu ruangan, menguncinya dari dalam, sekaligus menutup semua gorden agar mereka berdua tidak bisa mengintip kegiatan di dalam. Setelah berhasil menutup pintu juga kaca, Frans berbalik menatap sang istri dengan tatapan mengintimidasi."Kenapa harus datang bersama mas Erik? Dari mana kalian?" Kalimat tanya yang diucapkan terdengar mengerikan."Nggak dari mana-mana, dari rumah." Karin menjawab ketus."Kenapa ke sininya bareng?" tanyanya lagi."Kebetulan ketemu di lift.""Ngapain kamu ngajak dia
"Aku membencimu!" pekik Bella, menatap penuh kebencian."Lebih baik kamu membenci aku, dari pada kamu mencintai aku karena itu akan lebih menyakitkan. Aku nggak bisa cinta sama kamu." Frans berdiri, pandangannya tidak berhenti mengikuti ke mana Karin berjalan, sama seperti pria lainnya yang menatap Karin penuh rasa kagum."Terserah padamu, Frans. Yang terpenting bagiku, kita akan tetap menikah dan kamu hanya akan menjadi milik aku seutuhnya." Karin mendekatkan wajahnya hendak mengecup pipi Frans, tetapi Frans berhasil menghindar dengan menjauhkan wajahnya."Jangan melakukan hal itu lagi, aku sangat membencinya!" tegas Frans."Hai, Erik." Seseorang menyapa sedikit berteriak. Frans melihatnya dari kejauhan dan orang yang menyapanya itu ada di depan dia.Erik menoleh, lalu melambaikan tangan ke arah pria yang menyapanya. Tampak Karin kurang nyaman ada dalam acara seperti ini, tetapi dia harus tetap mengikuti Erik berjalan menuju meja temannya tadi dan dia melihat Frans ada di sana, sedan
"Tinggalkan istrimu, sejumlah uang akan saya transfer setiap bulannya." Frans Harding, seorang CEO sebuah perusahaan ternama, menyuguhkan bukti transfer sebesar sepuluh juta rupiah ke rekening milik salah satu pegawainya yang berprofesi sebagai office boy. Pria itu bernama Dani Setiawan.Tidak langsung memberikan jawaban. Dani melangkah maju, mempertajam penglihatannya, memastikan Apakah benar nama dirinya yang tercantum pada bukti transfer yang ditunjukkan oleh sang atasan? Dalam hitungan detik raut wajah Dani berubah senang. Dia membuka matanya lebar-lebar, lalu mengajukan pertanyaan sebelum memberikan jawaban."Apakah Anda tidak akan mengingkari janji Anda, Pak?" Dia memang gila harta, tetapi cukup hati-hati dalam mengambil keputusan. Sok jual mahal, padahal dia sangat menginginkan uang itu."Dani, kamu tahu siapa saya? Kamu bisa bongkar rahasia ini ke publik kalau saya berbohong. Dan, kamu tahu apa dampak bagi saya juga perusahaan? Nama baik perusahaan saya akan tercoreng. Kamu pi
Setelah menerima bayaran dari Frans sebanyak 1,5 juta rupiah, Karin pergi ke pasar membeli beras juga sembako lainya untuk kebutuhan sehari-hari. Begitu sampai di rumah, dia segera beraksi di dapur, memasak makanan kesukaan Dani. Namun, belum selesai memasak, Dani datang menghampiri Karin dan langsung mempertanyakan gajinya."Mana uang tadi?""Mau ngapain kamu tanya uang? Gaji kamu itu cuma cukup buat kebutuhan sehari-hari. Masih aja ditanyin.""Terus uang 1,5juta itu mau kamu makan sendiri? Punya otak nggak sih kamu?" Dani bicara sambil berkacak pinggang berdiri di samping Karin."Satu setengah juta untuk kebutuhan satu bulan? Kamu pikir cukup? Buat bayar kontrakan aja cuma sisa setengahnya, belum beli beras, sabun mandi, sabun cuci, bensin kamu, rokok kamu. Cukup dengan uang segitu?""Ya itu urusan kamu, ngapain aku harus pusing-pusing mikirin hal kayak gitu. Udah aku capek kerja, masih disuruh mikir keperluan rumah juga. Usaha dong kamu, jangan cuma diem di rumah aja. Enak banget j