"Selamat pagi, Bu Nia," sapa Pak Abbas begitu aku memasuki ruangannya. Datang ke kantor pertama kali, tujuanku malah ruang kerja Mas Hanan. Aku ingin mengingat saat dia duduk dengan sehat di kursi itu."Pagi, Pak," sahutku sambil tersenyum. "Ada yang bisa dibantu?" Tanya Pak Abbas. "Tidak, Pak. Saya hanya ingin melihat meja kerja di mana dulu Mas Hanan bekerja." Kata Kak Wisnu sudah ada penggantinya, aku hanya merindukan tempat melihat tempat itu. Berharap suatu saat nanti suamiku akan kembali sehat dan bekerja. Tak mau membuat suasana ruangan tak nyaman, aku memilih kembali ke tempat di mana seharusnya aku berada. Tak jauh dari pintu masuk, aku bertemu dengan Mbak Lita. Wanita itu berjalan ke arahku dan menyapa. "Bagaimana kabar Mas Hanan?" "Masih begitu-begitu saja, Mbak," sahutku apa adanya. Sebenarnya aku malas meladeni wanita ini, hanya saja aku tak ingin dianggap sombong jika mengabaikannya di kantor ini. "Kasian ya Mas Hanan. Mungkin harusnya bukan dia yang kecelakaan
Bangunan mungil yang berada di bagian paling belakang, terpisah dengan rumah utama itu di jaga oleh seorang pria dengan perawakan tegap, seperti bodyguard yang dulu pernah kulihat di televisi. "Enak betul jadi tawanan Kak Wisnu, disimpan di rumah, bukan di gudang atau rumah kosong seperti di film-film laga," celetukku begitu kami sampai di tempat Kak Wisnu menahan pria yang menyebabkan kami kecelakaan. Bangunan itu memang terlihat terawat, bukan bangunan tua dan kotor tempat menyekap tawanan. Bangunan itu berada di bagian belakang rumah mewah yang di tempati Om Candra sekeluarga.Aku memintanya untuk bertemu dengan pria itu, ingin bertanya padanya. Memastikan jika dia salah sasaran atau memang dibayar orang. Gara-gara ucapan Mbak Lita pagi itu, membuatku jadi mencurigainya juga. Apa dia masih ingin menyingkirkanku?"Kamu juga penjahat, pencuri. Tapi mau kusimpan di hatiku, tak bisa," sahut Kak Wisnu. Aku mengerucutkan bibir mendengar kalimatnya. Dia terus saja mengatakan hal-hal ab
"Kamu masih sangat muda, masih bisa membuat lagi. Ah! Suamimu sudah tua, tapi tenang saja kakek-kakek pun bisa menabur benih, beda dengan wanita. Ada masanya wanita tak lagi berproduksi. Sekarang suamimu masih keenakan tidur, nanti aku akan--" "Kak ...." Dengan linangan air mata aku menyela ucapnya yang tanpa jeda itu. Aku tahu Kak Wisnu sedang berusaha menghiburku. Saat tadi dia mengendongku dan membawaku ke dalam mobil, dia berteriak panik karena tangannya basah oleh cairan berwarna merah. Kakak sepupuku itu mengira aku terluka. Ternyata darah itu berasal dari bagian intimku. Kupikir itu hanya darah haid biasa, ternyata ada kehidupan baru di dalam rahimku. Tapi karena benturan cukup keras terjadi padaku, dia tidak tertolong, aku keguguran. Aku tidak menyadari kehamilan ini. Entah sejak kapan aku mulai mengandung. Sejak kecelakaan, aku tak memperhatikan diriku, tak mengingat jadwal menstruasi, bahkan tak ingat sudah tidak datang bulan lagi. "Kamu diapakan wanita itu?" Tanya Kak
Kubuka pintu kamarku setelah dokter memberikan ijin. Dokter tadi bilang, Mas Hanan sudah sadar, semua alat vitalnya berfungsi dengan baik, hanya saja tidak serta merta suamiku itu akan bangun dari tempat tidur, berbicara dengan lancar dan melakukan aktifitas layaknya orang sehat. Kesadaran dan kesembuhan pasca koma terjadi secara bertahap. Pemilik tubuh itu menoleh padaku saat aku membuka pintu, matanya terbuka, ada kehidupan di sana. Kebahagianku meluap, menutupi semua rasa sakit yang sesaat lalu sempat bertahta di hatiku. Aku menghambur padanya, memeluk tubuh itu dengan erat. "Aku rindu," bisikku. "Maaf." Satu kata terdengar di telingaku. Terdengar begitu merdu meskipun hanya kata maaf. Lebih merdu, lebih menyenangkan, dan begitu berharga dari semua kalimat cinta yang pernah dia ucapkan. Suara itu yang tak pernah kudengar sama sekali selama beberapa minggu ini. "Terima kasih sudah kembali dan bertahan," ucapku sambil terisak. Bukan karena kesedihan, tapi karena rasa bahagia. K
"Ayo bangun, Mas" bisikku sembari mengusap wajahnya. Mas Hanan ijin tidur sebentar di atap setelah kami berbagai peluh dan bergumul dengan ganas. Sebenarnya tempat ini cukup tertutup dari pandangan mata, hanya bagian atap yang terbuka. Hanya saja terasa aneh melakukan hal pribadi di tempat seperti ini. Saat aku mengajak Mas Hanan turun, suamiku itu hanya menarik selimut yang kebetulan di jemur dan menutup seluruh tubuh kami. Dasar tak sabaran. "Jam berapa ini?" tanyanya dengan malas. Matanya masih terpejam. Bahkan aku pun tak tahu jam berapa, yang pasti sudah cukup lama Mas Hanan terlelap dan aku puas memandangi wajahnya. Atau jangan-jangan malah baru jam sepuluhan. Kami naik ke sini jam delapan, bukan menikmati keindahan purnama malah perang. Siang tadi kami menghabiskan waktu tanpa tidur siang, dan Mas Hanan terpejam begitu selesai melakukan aktivitas fisik tersebut. "Ayo turun," ajakku lagi sembari mengemasi pakaian dan mengenakannya. "Aku masih lelah, lagian di sini juga nya
Aku dan Mas Hanan berpamitan setelah segala urusan dengan Om Candra selesai. Kupencet angka tiga begitu sampai di dalam lift. "Kok ke sana?" Tanya Mas Hanan. "Kita harus berpamitan dengan teman-teman kita, Mas. Mungkin kali ini, kita tak akan lagi ke sini.""Kenapa kamu setuju saja saat Om kamu menyarankan ke luar kota," tanya Mas Hanan sembari meraih tanganku dan mengengamnya. "Aku ingin hidup dengan tenang, Mas. Mungkin dengan mengikuti saran Om Candra, kita akan bisa hidup tenang setenang ayah dan bunda dulu."Mas Hanan meraih pinggangku dan menggamitnya. "Gak khawatir sama kamera pengawas?" Aku bertanya."Aku tidak akan menghawatirkan tentang apapun, akan kulakukan apa yang aku mau selagi bersamamu," jawab Mas Hanan. Aku menetap padanya dan tersenyum, sepertinya suamiku itu tidak ingin melewatkan apapun denganku. Hal yang mungkin saja akan menjadi sesuatu yang disesali jika tidak dilakukan dan sesuatu terjadi. Sepertinya katanya barusan, setelah pernah berada di ambang kema
"Maafkan aku, Mas. Syukurlah akhirnya kamu bisa sadar dan sehat kembali. Jika tidak, maka aku akan menyesal seumur hidupku." Mbak Lita berkata sembari memeluk erat tubuh Mas Hanan. Tidak mempedulikan aku, istri dari pria yang dia peluk sedang berada di antara mereka. "Apa yang kamu lakukan, Ta. Lepaskan pelukanmu, tidakkah kamu lihat ada istriku di sini," seru Mas Hanan sambil mengurai pelukan Mbak Lita. Bisa-bisanya wanita itu memeluk suamiku begitu saja, jika aku tahu dia akan melakukan hal tersebut, tak akan kubiarkan pintu lift tetap terbuka. "Maaf, Nia. Aku terlalu emosional," ucap Mbak Lita sambil menatapku. Aku hanya diam tak merespon ucapnya. Emosional, katanya. "Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan, aku meminta maaf secara tulus pada kalian berdua. Aku harap kalian bisa memaafkan, sehingga aku bisa memulai hidup baru dengan lebih baik lagi. Aku terlalu jauh bertindak karena rasa sakit hati ...."Gengaman tangan Mas Hanan menarikku kembali dari lamunan, aku mengingat
POV Hanan Aku sangat bersyukur memiliki istri seperti Husniah. Dia telaten dan setia seperti kata ibu. Istriku dengan sepenuh hati merawatku saat aku tergeletak tak berdaya, tak bisa mengurus diri sendiri. Bahkan dia menghadapi banyak hal sendirian, mencari penyebab kami kecelakaan hingga kehilangan calon anak kami. Aku tahu dia begitu terluka dan kehilangan saat itu. Gadis yang selalu tampak kuat itu menangis sambil memelukku, hal yang tak pernah dia lakukan selama kami menikah. Hatiku teriris mendengar tangisan, namun tak bisa berbuat apa-apa. Suami macam apa aku ini. Kupikir saat kecelakaan itu, aku akan pindah alam, itu adalah hari terakhir bagiku bersama dirinya. Tapi Allah masih memberikan kesempatan padaku untuk hidup, meskipun pada kenyataannya menyusahkan orang lain terutama istriku. Dia, wanita yang dulu tak pernah kuanggap nyatanya tetap setia mendampingiku meskipun aku menjadi pria yang tak berguna. Dia, wanita yang tak pernah kusayangi dulu, tetap berada di sisiku dan