Kubuka pintu kamarku setelah dokter memberikan ijin. Dokter tadi bilang, Mas Hanan sudah sadar, semua alat vitalnya berfungsi dengan baik, hanya saja tidak serta merta suamiku itu akan bangun dari tempat tidur, berbicara dengan lancar dan melakukan aktifitas layaknya orang sehat. Kesadaran dan kesembuhan pasca koma terjadi secara bertahap. Pemilik tubuh itu menoleh padaku saat aku membuka pintu, matanya terbuka, ada kehidupan di sana. Kebahagianku meluap, menutupi semua rasa sakit yang sesaat lalu sempat bertahta di hatiku. Aku menghambur padanya, memeluk tubuh itu dengan erat. "Aku rindu," bisikku. "Maaf." Satu kata terdengar di telingaku. Terdengar begitu merdu meskipun hanya kata maaf. Lebih merdu, lebih menyenangkan, dan begitu berharga dari semua kalimat cinta yang pernah dia ucapkan. Suara itu yang tak pernah kudengar sama sekali selama beberapa minggu ini. "Terima kasih sudah kembali dan bertahan," ucapku sambil terisak. Bukan karena kesedihan, tapi karena rasa bahagia. K
"Ayo bangun, Mas" bisikku sembari mengusap wajahnya. Mas Hanan ijin tidur sebentar di atap setelah kami berbagai peluh dan bergumul dengan ganas. Sebenarnya tempat ini cukup tertutup dari pandangan mata, hanya bagian atap yang terbuka. Hanya saja terasa aneh melakukan hal pribadi di tempat seperti ini. Saat aku mengajak Mas Hanan turun, suamiku itu hanya menarik selimut yang kebetulan di jemur dan menutup seluruh tubuh kami. Dasar tak sabaran. "Jam berapa ini?" tanyanya dengan malas. Matanya masih terpejam. Bahkan aku pun tak tahu jam berapa, yang pasti sudah cukup lama Mas Hanan terlelap dan aku puas memandangi wajahnya. Atau jangan-jangan malah baru jam sepuluhan. Kami naik ke sini jam delapan, bukan menikmati keindahan purnama malah perang. Siang tadi kami menghabiskan waktu tanpa tidur siang, dan Mas Hanan terpejam begitu selesai melakukan aktivitas fisik tersebut. "Ayo turun," ajakku lagi sembari mengemasi pakaian dan mengenakannya. "Aku masih lelah, lagian di sini juga nya
Aku dan Mas Hanan berpamitan setelah segala urusan dengan Om Candra selesai. Kupencet angka tiga begitu sampai di dalam lift. "Kok ke sana?" Tanya Mas Hanan. "Kita harus berpamitan dengan teman-teman kita, Mas. Mungkin kali ini, kita tak akan lagi ke sini.""Kenapa kamu setuju saja saat Om kamu menyarankan ke luar kota," tanya Mas Hanan sembari meraih tanganku dan mengengamnya. "Aku ingin hidup dengan tenang, Mas. Mungkin dengan mengikuti saran Om Candra, kita akan bisa hidup tenang setenang ayah dan bunda dulu."Mas Hanan meraih pinggangku dan menggamitnya. "Gak khawatir sama kamera pengawas?" Aku bertanya."Aku tidak akan menghawatirkan tentang apapun, akan kulakukan apa yang aku mau selagi bersamamu," jawab Mas Hanan. Aku menetap padanya dan tersenyum, sepertinya suamiku itu tidak ingin melewatkan apapun denganku. Hal yang mungkin saja akan menjadi sesuatu yang disesali jika tidak dilakukan dan sesuatu terjadi. Sepertinya katanya barusan, setelah pernah berada di ambang kema
"Maafkan aku, Mas. Syukurlah akhirnya kamu bisa sadar dan sehat kembali. Jika tidak, maka aku akan menyesal seumur hidupku." Mbak Lita berkata sembari memeluk erat tubuh Mas Hanan. Tidak mempedulikan aku, istri dari pria yang dia peluk sedang berada di antara mereka. "Apa yang kamu lakukan, Ta. Lepaskan pelukanmu, tidakkah kamu lihat ada istriku di sini," seru Mas Hanan sambil mengurai pelukan Mbak Lita. Bisa-bisanya wanita itu memeluk suamiku begitu saja, jika aku tahu dia akan melakukan hal tersebut, tak akan kubiarkan pintu lift tetap terbuka. "Maaf, Nia. Aku terlalu emosional," ucap Mbak Lita sambil menatapku. Aku hanya diam tak merespon ucapnya. Emosional, katanya. "Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan, aku meminta maaf secara tulus pada kalian berdua. Aku harap kalian bisa memaafkan, sehingga aku bisa memulai hidup baru dengan lebih baik lagi. Aku terlalu jauh bertindak karena rasa sakit hati ...."Gengaman tangan Mas Hanan menarikku kembali dari lamunan, aku mengingat
POV Hanan Aku sangat bersyukur memiliki istri seperti Husniah. Dia telaten dan setia seperti kata ibu. Istriku dengan sepenuh hati merawatku saat aku tergeletak tak berdaya, tak bisa mengurus diri sendiri. Bahkan dia menghadapi banyak hal sendirian, mencari penyebab kami kecelakaan hingga kehilangan calon anak kami. Aku tahu dia begitu terluka dan kehilangan saat itu. Gadis yang selalu tampak kuat itu menangis sambil memelukku, hal yang tak pernah dia lakukan selama kami menikah. Hatiku teriris mendengar tangisan, namun tak bisa berbuat apa-apa. Suami macam apa aku ini. Kupikir saat kecelakaan itu, aku akan pindah alam, itu adalah hari terakhir bagiku bersama dirinya. Tapi Allah masih memberikan kesempatan padaku untuk hidup, meskipun pada kenyataannya menyusahkan orang lain terutama istriku. Dia, wanita yang dulu tak pernah kuanggap nyatanya tetap setia mendampingiku meskipun aku menjadi pria yang tak berguna. Dia, wanita yang tak pernah kusayangi dulu, tetap berada di sisiku dan
Ibu langsung berdiri dan melangkah ke arah Husniah, lalu memeluk menantunya itu. Wanita itu memang sesayang itu pada istriku. Ibu memperlakukan Husniah seperti putrinya sendiri. Hal itu juga yang membuatnya memintaku menikahinya kala itu. "Sabar ya, Nak. Bukan kamu tidak bisa menjaganya, tapi qodarullah yang menjadi semua itu terjadi. Ibu doakan agar kalian segera mendapatkan penggantinya." Ibu berkata sambil mengusap punggung menantunya."Terimakasih selalu mendoakan saya, Bu," sahut Husniah.Sesaat terjadilah sebuah drama yang mengharukan antar menantu dan mertua. Kemudian berlanjut kami sarapan bersama.Setelah sarapan, aku memilih untuk beristirahat kembali. Mengisi daya agar bisa berkendara nanti siang. Husniah dan ibu, memilih untuk bercengkerama. ***Matahari hampir tenggelam di ujung cakrawala, meninggalkan rona jingga yang begitu indah dipandang mata. Aku dan Husniah duduk di pinggir pantai sambil menikmati suasana matahari terbenam. Kepala gadis itu bersandar di bahuku. Ka
"Wah serunya," pekik Husniah dengan kepala sedikit di keluarkan lewat jendela mobil. Menikmati cuaca yang cukup dingin, bahkan saking dinginnya keluar uap air dari mulut jika kami berbicara, terutama di waktu pagi dan malam hari.Saat ini, aku mengajak Husniah berkeliling saja, daerah sini banyak terdapat air terjun. Jalanan menuju sana adalah perbukitan di mana bukit-bukit itu ditanami dengan berbagai jenis sayuran, diantaranya kol, wortel dan kentang. "Sudah lama tidak merasakan suasana seperti ini," imbuhnya. Gadis itu menghirup udara dan memejamkan mata. Seakan begitu menikmati. "Masukkan kepalamu, masih pagi. Awas nanti flu," ujarku mengingatkan."Ada obat flunya," sahut Husniah."Apa?""Kamu." Aku tertawa, bisa saja gadis itu membuat hatiku melambung bahagia. Aku tersenyum senang melihatnya, dia benar-benar menyukai tempat ini. Sejak awal datang dan kami menghabiskan waktu di cottage itu, dia sudah sangat menikmatinya. Begitu datang, kami langsung berendam. Rasa lelah berken
Ekstra part Liburan telah usai, saatnya kembali pada realita. Seperti yang sudah disepakati, aku dan Husniah bekerja di kantor cabang. Kami harus pergi ke lain kota, tak tinggal lagi di kota ini. Syifa kami tinggal di rumahku, karena dia bekerja di kantor itu."Hati-hati tinggal sendiri, ya. Jaga diri karena kamu wanita," pesanku pada Syifa sebelum kami pergi. Adik perempuanku itu mengiyakan. Ah, aku terlalu sibuk dengan diriku hingga lupa kalau adik perempuanku sudah cukup usia untuk menikah. Apa dia sudah memiliki kekasih, harusnya kami segera menikahkannya agar ada yang menjaganya.Di kota lain, sudah disiapkan rumah oleh Om Candra. Kami sudah sempat melihatnya. Rumah itu luas dan nyaman, lebih luas dari pada rumahku. Ada tiga kamar dan dua kamar mandi. Satu kamar mandi berada di dalam kamar pribadi seperti di rumahku. Rumah ini pun, terletak di komplek perumahan yang berada tak jauh dari kantor. Husniah bilang, dulu dia pertama kali bekerja di kantor ini. Husniah mengatakan ak