Share

Berkuasa

Bab 06

Aku kaget melihat reaksi istri Abang Ipar, aku ingin menyusul kakak itu ke kamarnya tapi, Ibu Mertua mempererat genggaman tangannya padaku. "Tidak usah disusul Nak, nanti kalau sudah capek dia akan baik sendiri."

Mendengar penuturan Ibu Mertua, hatiku jadi miris, suamiku 6 orang bersaudara, Bang Linggom anak ketiga, diatas Bang Linggom, dua Laki-laki sudah pada menikah juga. Yang paling sulung tinggal bersama Mertua, itulah Bang Dapot dan istrinya. Sedangkan satu lagi tinggal di Kota Medan. Yang keempat juga laki-laki, belum menikah, sementara kelima dan keenam, perempuan dua-duanya dan belum ada yang menikah.

"Sudah Inang, jangan menangis lagi, aku jadi sedih nih." Aku hapus airmata ku yang tak sengaja menetes di pipi. Kalau sudah masalah orang tua, rasanya tak tega melihat mereka kalau sampai meneteskan airmata. Aku kembali membenamkan wajahku di pelukan ibunya suamiku itu. Rasanya nyaman meski tidak senyaman Ibu Kandung.

Setelah puas pelukan dengan Inang Mertua, aku melihat Bapak Mertua juga ikut terharu, tanpa pikir panjang aku langsung menghambur ke pelukan Bapak Mertua, tapi ... Bapak Mertua sama sekali tidak merespon ku. Pelan-pelan aku melepas pelukanku, "apakah Amang marah padaku?" ucapku, memandang Bapak Mertua dengan lekat.

Bang Linggom memeluk pundak ku dan memberi jarak antara Aku dan Mertua. "Bapak tidak marah sayang, tapi tradisi disini, seorang menantu perempuan tidak sopan jika memeluk Bapak Mertuanya."

"Oh, maaf Amang, aku hanya ingin memposisikan diri sebagai putrimu di rumah ini. Jangan ada sekat pembatas karena aku hanyalah seorang menantu. Aku hargai tradisi kita, tapi bolehkah aku meminta tangan amang taruh di kepalaku sebagai ganti pelukan padaku?" Aku langsung berjongkok di depan bapak Mertua dan kurasakan tangan kokoh bapak yang sudah keriput itu menumpangkan kedua tangannya di kepalaku. "Terimakasih Amang," aku menangis haru.

"Bangunlah Nak, jadilah menantu yang menjaga harga diri keluarga besar kita, jika kalian berbuat tidak baik di perantauan, maka harga diri kami orangtua kalian akan tercoreng. Dalam hubungan rumah tangga tidak selamanya mulus, pasti ada saja masalah yang muncul, maka untuk itu tetaplah kalian mengandalkan Tuhan dalam bahtera rumah tangga yang telah kalian bina ini."

"Terimakasih doa dan restu nya Amang," aku berucap terharu dengan tetesan air mata.

Aku berdiri kembali tak sengaja memeluk Bapak Mertua, "ups... Maaf lagi Amang, aku tak sengaja." Tapi aku tetap mempererat pelukanku, kali ini Bapak tidak sekaku tadi, terasa dari tangan Bapak sudah berada di pundak ku menepuk-nepuk dengan kasih sayang.

Yes, akhirnya aku di peluk juga, maklumlah walau tomboi aku adalah putri satu-satunya papaku, saudaraku cowok semua ada 4 orang, dan aku anak yang paling bungsu. Jadi didikan dari abang-abang lah sehingga aku jadi bermental Preman seperti yang di kata Bu Restu. Walau bermental Preman, tapi yakinlah hatiku sungguh perasa. Apalagi urusan orang tua, jangan sampai coba-coba menyakiti mereka, akan aku hajar, kucari sampai ke lobang semut pun. Itulah istilahnya ya kan, karena tidak mungkin muat kalau kita masuk ke lobang semut.

***

"Perhatikan dulu semua barang-barang mu Riska, jangan ada yang ketinggalan Nak!" Ibu Mertua mengingatkan aku setelah aku memasukkan semua baju-baju ku kedalam tas. Hari ini aku dan suamiku akan pulang ke Pekanbaru tempat kami mencari nafkah, di sana juga tempat dimana Papa dan Mama kandungku tinggal.

"Sudah lnang, semua sudah beres, kalaupun ada yang tinggal, Inang pakai saja deh, biar Inang tambah muda dilihat amang," aku bicara asal, dengan niat agar mereka terhibur.

"Menantu sok, baru tinggal di Pekanbaru, sudah berlagak seperti tinggal di luar negeri saja." Tiba-tiba Kak Susi, istri bang Dapot bicara, membuat aku seketika menoleh kepadanya.

"Kak Sus, kenapa ya, sejak aku di sini kakak selalu judes begitu padaku? Kalau aku salah, aku minta maaf kak, tapi tolonglah jangan membuat situasi enak jadi tak nyaman begini," protesku, setelah beberapa hari bersabar atas semua ucapannya yang selalu menyindir.

"Pikir saja sendiri, disini kamu menantu ketiga, tapi lagak mu melebihi menantu pertama. Sok hebat, pintar cari muka, apa kamu mau menyingkirkan aku dan Desi ya?" jawabnya sinis.

"Aduh Kak, kita bertiga sama di rumah ini, sama-sama yang datang dibawa suami kita masing-masing, jadi aku pikir tidak ada yang merasa hebat."

"Terus yang kamu lakukan selama 5 hari di rumah ini, apa namanya itu kalau bukan merasa berkuasa?"

Iya... Kami jadinya tinggal selama 5 hari di rumah mertua ini, mengingat di Pekanbaru, kami ambil cuti selama 10 hari. Aku hanya karyawan biasa, sedangkan Bang Linggom menjabat sebagai Mandor di sana, disalah satu perkebunan kelapa sawit.

"Berkuasa dimana Kak Susi? Aku tidak mengerti arah pembicaraan Kakak."

"Hallah, peluk Ibu, peluk Bapak, bentar lagi kamu pasti peluk Bang Dapot suamiku, untuk cari muka. Pantasan saja, Ibu Restu bilang kamu mau merayu suami-suami orang disini, Gayamu seperti orang yang kegatelan."

"Ya Tuhan, Kak, sempit kali pemikiranmu. Memeluk orang tua Kakak bilang kegatalan. Maaf Kak, aku sungguh tidak tau masalahmu apa denganku. Tapi tolong buang pikiran-pikiran kotor dari hati kakak."

"Tidak usah kamu ceramah, aku lebih dulu menantu di rumah ini daripada kamu. Harusnya sebagai menantu baru, kamu bertanya padaku, apa dan bagaimana bersikap."

"Kalau kehadiran ku di rumah ini, mengganggu kenyamanan Kakak, aku rasa itu bukan urusanku. Dan kalau Kakak bilang aku kegatalan karena memeluk Bapak dan Ibu, lebih baik Kak introspeksi diri deh, sebagai menantu, sudahkah Kakak sayang pada amang dan inang mertua?" Uh ... Sebal rasanya, apa memang begini yah sesama menantu susah untuk akur.

Aku berlalu, tanpa menoleh kepada istri kakak ipar. Mentang-mentang suaminya anak pertama, jadi aku harus lapor apa yang ingin aku lakukan di rumah ini.

"Tunggu!" Istri kakak ipar menahan ku dengan memegang pergelangan tanganku, "ingat! Yang tinggal di rumah ini adalah aku, jadi kalau hidupmu mau aman jadi menantu di rumah ini, maka ikuti apa kata-kata ku."

"Dari cara Kakak bersikap saja bisa kulihat, kalau Kakak bukan menantu yang peduli kepada mertua, jadi buat apa aku harus nurut pada kakak? Sorry ya kak, aku tidak pernah takut gertakan, selagi aku benar, akan aku lakukan apa yang menurutku baik, dengan kewarasanku sendiri. Jadi berhentilah ...."

"Riska, mari makan Nak, ajak sekalian kakakmu ya Nak!" Panggilan Ibu Mertua mengurungkan niatku untuk melanjutkan kata-kataku kepada Kak Susi istrinya sang Abang ipar.

"Tuh, dengar, ibu mertua manggil kita makan. Sebagai menantu tertua di rumah ini, apa sudah memberikan contoh yang baik buat menantu baru seperti aku ini? Perasaan dari subuh Ibu capek masak di dapur, apa Kakak ada membantu Ibu masak dan mempersiapkan sarapan dan bekal ke ladang buat Bapak dan Abang ipar nanti? Jawab sendiri dalam hatimu Kak, sebelum menilai orang lain, sebaiknya Kakak introspeksi diri!" Aku berlalu melenggangkan kakiku, dikira aku anak ingusan yang takut dengan gertakannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status