"Masih berani nunjukkin muka ya, kamu? Bener-bener mental baja. Nggak tahu malu! Kalau aku jadi kamu, udah nggak berani keluar kemana-mana," ucap seseorang yang tiba-tiba datang, dan berdiri di samping tempat duduk Maira.Mendengar suaranya saja, Maira sudah tahu siapa orang yang tengah menyindirnya itu.Maira menoleh dan mendongak, tak ada reaksi terkejut sama sekali. Kemudian Maira memilih untuk mengabaikannya dan melanjutkan makan.Begitu juga dengan Bu Rani, awalnya dia sedikit terkejut, namun melihat Maira biasa saja. Bu Rani pun ikut mengabaikan kehadiran perempuan yang baginya masih asing itu.Merasa diabaikan Tania menjadi geram sendiri, perempuan itu berdecak kesal, seraya menghentakan kakinya."Eh, kamu budek, ya? Nggak dengar aku ngomong?" Tangannya terulur mendorong bahu Maira.Sontak saja Maira tersedak oleh makanannya, buru-buru dia mengambil air minum di depannya.Bu Rani mendelik menatap tak suka pada Tania. "Nggak sopan banget, sih! Datang-datang gangguin orang lain.
"A–apa, Bu? T–tapi kan aku malu kalau harus berpasangan dengan Dokter Rendi," ujar Maira gugup setengah mati. Bagaimana bisa dia harus berpasangan dengan Dokter Rendi, berada satu ruangan dengannya saja Maira merasa segan. Maira merasa tidak pantas untuk dekat-dekat dengan lelaki tampan itu. Apalagi dengan statusnya sebagai seorang janda, rasanya semakin tinggi saja benteng pemisah di antara mereka.Bu Rani tersenyum penuh arti, "nggak apa-apa, Mai. Kenapa harus malu? Toh, kalian sudah saling kenal 'kan?" sanggah Bu Rani. Wanita paruh baya itu bersikeras membujuk Maira.Maira menggeleng pelan."Saya merasa nggak pantas saja, Bu," ujar Maira, kemudian kepalanya tertunduk lesu.Bu Rani mendekat dan merangkul pundak Maira, "hei! Apanya yang tidak pantas? Justru ini kesempatan kamu untuk membuktikan pada orang-orang yang telah menghinamu, bahwa kamu bisa tanpa mereka. Kamu bisa sukses di bawah kakimu sendiri."Perempuan berparas teduh itu mengangkat kepalanya, dia tampak terdiam dan berf
"Maira … kamu kenapa, Nak?" tanyanya dengan perasaan panik luar biasa. "Maafkan, saya, Bu. Sepertinya saya tidak bisa melanjutkan pekerjaan saya," ucap Maira dengan suara parau. Deg …Seketika itu jantung Bu Rani seperti loncat dari tempatnya. Perasaan sesak mulai menjalar ke rongga dadanya, berkali-kali wanita paruh baya itu menghela nafas dan mengeluarkannya kembali.Setelah merasa tenang, barulah Bu Rani kembali bertanya, "ada apa, Mai? Kamu ada masalah?"Terdengar kembali suara helaan nafas dari seberang, "tidak, Bu. Tapi … sepertinya saya memang harus berhenti." Lanjut Maira tanpa memberikan alasan yang detail.Lutut Bu Rani terasa lemas seketika itu, ingin dia menahan Maira agar tidak berhenti menjadi modelnya, namun lidah Bu Rani terasa kelu. Ia tak berani mengungkapkan itu. Mati-matian wanita paruh baya itu berusaha untuk bersikap bijaksana."Oke, baiklah, semoga kamu selalu sukses ya, walaupun tidak lagi bekerja dengan saya," balas Bu Rani setelah terdiam cukup lama, walaup
"Kamu nggak ada hubungan apa-apa 'kan sama yang punya rumah ini?" Pak Cahyo memandang Maira dengan tatapan penuh selidik, hingga sebelah alisnya terlihat naik.Maira terkesiap, dia menatap bapaknya dan menggeleng pelan."Astaghfirullah, Pak. Bapak ini pikirannya buruk terus ya, sama Maira," gerutunya. Mana mungkin juga Maira berani menjalin hubungan dengan yang punya rumah. Status sosial mereka jauh berbeda, batin Maira."Bapak ini cuma tanya, Mai." tegas Pak Cahyo Kembali. Kini raut wajahnya sudah lebih tenang."Kemarin Bapak sangat kaget saat tiba-tiba mantan mertuamu memberi surat pemberhentian kerja sama Bapak." Pak Cahyo menjeda ucapannya, pria paruh baya itu menghela nafasnya sebentar, "Bapak nggak menyangka mereka tega mengusirmu, Mai. Perasaan Bapak begitu sakit mengetahui kamu telah difitnah. Bapak menyesal sudah pernah menyerahkanmu pada mereka. Maafkan Bapak ya, Mai …," kepala pak Cahyo terdunduk dalam."Sudahlah, Pak. Tidak usah disesali apa yang sudah terjadi, pengalaman
"Sebelumnya … saya mengucapkan banyak terima kasih pada Mas Rendi yang sudah begitu memperhatikan keadaan putri saya, tapi …,"Pak Cahyo kembali menghela nafasnya. Sedangkan yang lain, semua diam ikut menyimak. "Tapi saya pikir … Mas Rendi tidak perlu berlebihan, apalagi sekarang Maira sudah ada kami, orang tuanya." jelas Pak Cahyo dengan halus.Baik Rendi maupun Maira, mereka sama-sama menundukkan kepala, sibuk dengan pikiran masing-masing.Terasa seperti ada tembok pemisah yang mulai didirikan oleh Pak Cahyo. Rendi merasakan dadanya ikut sesak, namun lelaki tampan itu berusaha untuk bersikap tenang. Dia tidak akan menyerah sebelum berjuang.Rendi berdehem untuk mengurangi perasaan sesak yang kian memenuhi rongga dadanya."Maafkan saya, Pak, jika saya lancang," ucap Rendi masih dengan kepala menunduk. Lelaki muda nan tampan itu tiba-tiba merasa kecil juga di depan orang tua Maira. "Nggak apa-apa Mas, saya juga hanya mengingatkan saja, lebih baik kalian saling menjaga jarak, apalagi
Alfin menatap lekat Tania, "kamu nggak mau menerima orang tuaku?"Perempuan berambut coklat itu tampak gelagapan, bola matanya bergerak-gerak bingung mencari alasan. Sejurus kemudian dia memalingkan muka lalu kembali menatap manik hitam lelakinya."B–bukan gitu, sayang. Aku cuma nggak mau kamu kecapekan aja, udah sibuk ngurusin kantor, eh … dirumah masih harus jagain Mama kamu. Aku kasihan aja lihat kamu begitu, Mas," ujar Tania dengan mimik wajah sendu. Perempuan itu berusaha meraih kembali lengan Alfin. Namun ditepis oleh sang empunya."Kalau kamu kasihan sama aku, harusnya kamu malah dukung aku, bukannya terkesan malah menjauhkan aku dengan Mama!" ketus Alfin.Berusaha menekan emosinya, Tania semakin memepet tubuh Alfin. Jemarinya yang lentik mengusap-usap punggung tangan sang lelaki. "Yaudah, maaf deh, kalau aku ada salah kata, tapi beneran aku nggak bermaksud jauhin kamu dengan mamamu, Mas." Tania memasang wajah memelas untuk menarik simpati Alfin. "Yaudah, kita pulang sekarang
"Nggak usah sok suci deh! Aku bisa kok kembali menghangatkan ranjangmu kalau kamu mau." Lanjut Alfin dengan suara berbisik, seperti takut kekasihnya ikut mencuri dengar. Darah Maira seketika terasa mendidih, Alfin benar-benar telah berubah menjadi lelaki br3ngs3k, kini hatinya semakin mantap untuk berpisah dengan Alfin. Tidak ada lagi yang perlu diragukan, tidak ada sisa perasaan apapun untuk untuk mantan suaminya itu."Simpan saja khayalanmu itu! Aku tidak akan pernah sudi merendahkan diri didepanmu. Sudah cukup dua tahun aku menemanimu, dan kini semua memang harus segera diakhiri," ucap Maira dengan tegas, tanpa menoleh pada Alfin.Alfin mengatupkan rahangnya, mendadak wajahnya terasa panas, Maira telah berani menolaknya. Dan Alfin sangat benci penolakan.Pagi itu sidang berjalan dengan lancar, baik dari pihak Maira maupun Alfin sepakat tidak ada mediasi. Hingga akhirnya palu diketuk oleh ketua hakim tiga kali sebagai tanda acara selesai.Maira segera beranjak, dan berjalan menemui
Alfin menajamkan pandangannya pada Tania, lelaki yang wajahnya sudah babak belur itu mendengkus kesal."Kamu pikir menikah tidak perlu persiapan yang matang? Lagian akta ceraiku saja belum keluar!" tolaknya."Aku nggak mau tahu! Kita bisa nikah secara siri dulu! Aku nggak mau kamu terus teringat dengan wanita udik itu!" desak Tania dengan mimik wajah memaksa.Alfin mengabaikan perempuan yang tengah merajuk itu. Pikirannya semakin kacau saat melihat Maira yang semakin terlihat cantik dan segar, tidak seperti saat masih bersamanya. Sedikit banyak, lelaki itu merasakan penyesalan yang begitu menyesakkan dalam hatinya. Dia mengakui itu. Maira memang hanya seorang perempuan lugu. Namun, pesonanya justru kian terpancar saat ikatan suci itu telah terlepas. Ya, Alfin menyesal telah melepaskan pemilik wajah teduh itu, namun dia malu untuk mengakuinya. Egonya terlalu tinggi.Alfin menendang bak sampah yang berada di area toilet hingga terguling, beberapa isinya tercecer di lantai. Amarahnya ti