Suara lantang Tania membuat pak satpam yang tengah berjalan kembali ke pos-nya itu kembali memutar tubuh.“Jangan bercanda, Mbak.” “Saya tidak bercanda, Pak. Saya serius, saya ini istrinya Daniel!” balas Tania, jari-jari tangannya mencengkram pagar besi. Mendengar ribut-ribut dari arah depan rumahnya. Adrian yang tengah menikmati sarapan pagi bersama para asisten rumah tangganya menjadi terusik. “Suara siapa, ya?” Adrian meletakkan sendok dan garpunya. “Kurang tahu, Den. Apa perlu saya lihat ke depan?” Asisten rumah tangga yang berusia paling tua itu menggeser duduknya hendak berdiri. Namun, Adrian cepat-cepat mencegahnya. “Tidak perlu, Bu. Saya sudah selesai sarapan. Biar saya saja yang ke depan. Ibu dan lainnya bisa melanjutkan sarapan dulu.” Adrian berdiri setelah meneguk habis air putih dalam gelas tinggi di depannya. Para asisten rumah tangga terlihat sungkan namun tak ada yang berani membantah. Mereka membiarkan Adrian ke depan sendiri.“Benar-benar suami idaman, ya, Pak
Tania merasa hidupnya tak pernah beruntung. Saat suaminya mendapatkan kesempatan untuk kembali pada keluarga besarnya, pria itu justru menolak mentah-mentah dengan alasan harga diri. Tania nyaris kehilangan akal sehatnya. Ia nyaris gila memikirkan itu semua. Jika tak mengingat ada Tiara di antara dia dan Daniel, mungkin ia akan memilih pergi saja dari kehidupan pria yang kini ia cap miskin itu. Usahanya mendekat pada Adrian gagal. Ia tak berhasil mendapat apa yang ia inginkan. Justru sebuah tantangan cukup berat yang harus ia setujui supaya hidupnya bisa lebih baik. Suara motor yang sangat ia hafal berhenti di depan kontrakan. Tania mendengkus, kesal. Apalagi saat wajah kuyu suaminya muncul di ambang pintu yang memang terbuka sejak tadi. Rasa dongkol Tania semakin menjadi-jadi.“Assalamualaikum,” ucap Daniel, masuk lalu duduk di samping Tania. Pria itu juga mengulurkan tangannya untuk dicium.“Waalaikumsalam,” balas Tania, malas-malasan saat mengecup punggung tangan suaminya.“Kena
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak