Share

Bab 6. Kemarahan Pak Anton.

Dulu Laila yakin Zidan mencintainya dengan tulus, karena saat dirinya hamil, Zidan begitu baik memperlakukannya. Tapi semua ini seakan bertolak belakang saat dirinya melahirkan putranya.

"Oeeek, oeeek." Anak bayi itu kembali menangis. Kali ini Laila sudah bisa mengendalikan dirinya. Ia langsung menyusui putranya yang sudah sangat kelaparan.

"Maafkan Ibu Nak," lirihnya. Mengusap lembut wajah bayi mungil itu. Wajahnya begitu mirip Zidan. Ia tampan dan memiliki hidung bangir seperti Zidan.

Bayi yang malang. Seharusnya sekarang ia tengah berada di gendongan sang ayah dan dipeluk oleh ayahnya. Tapi kenyataannya, semua itu tidak dirasakan bayi itu. Justru ia terasingkan di usianya yang belum genap sehari.

Melihat bayinya yang malang, Laila kembali menangis lagi. Hati dan raganya begitu sakit, bukan karena pasca melahirkan beberapa jam yang lalu, namun karena perlakuan yang tak mengenakan ini. Ia merasa Tuhan tak adil, begitu mudah membalikan kehidupannya hingga di jurang yang dalam. Sakit teramat sakit.

"Bu, Ayah akan ke rumah mereka! Ayah tidak terima putri kita diperlakukan begini. Kita memang miskin Bu, tapi kita masih punya harga diri!" teriak pak Anton. Ada bulir bening mengalir di pipinya.

"Jangan Yah, Laila mohon," cegah Laila langsung. Ia tidak mau kejadian dirinya terulang kepada Ayahnya.

"Kenapa Nak? Kenapa Ayah tidak boleh kesana?" tanya pak Anton.

"Laila takut Ayah diperlukan buruk oleh mereka. Laila mohon jangan Yah" cegahnya terus-menerus.

"Betul Yah. Biarlah, kita jaga dan rawat anak dan cucu kita saja. Jika mereka tidak mau mengakui dan menerimanya. Masih ada kita Yah, orang tuanya," ucap Bu Susi ikut mencegah.

"Tidak! Ayah akan tetap kesana. Tidak akan aku biarkan kita di injak-injak begini. Ayah akan ke sana dan meminta penjelasan atas perlakuan mereka terhadap putri kita!"

"Jangan Yah! Ayaaah!"

Pak Anton tidak mendengar panggilan Laila dan Bu Susi. Ia terus melangkah meninggalkan gubuknya menuju rumah pak Fernando.

"Bu, susul Ayah. Laila takut Ayah nekat, mereka bukan orang sembarangan Bu," pinta Laila memohon.

Bu Susi mengangguk, ia lantas berlari menyusul suaminya. Ia sendiri sama, khawatir jika suaminya akan diperlakukan tidak baik oleh keluarga Zidan.

"Pak! Ibu mohon, jangaaaan!" teriak Susi. Namun, sama saja, itu tak berarti apa-apa. Kalimatnya terabaikan begitu saja oleh pak Anton. Ia tetap berangkat ke kediaman apk Fernando dengan sepeda ontelnya.

"Aku tidak akan membiarkan siapapun merendahkan Putriku. Kami memang miskin, tapi bukan berarti tidak punya harga diri!" ucapnya dengan geram sambil mengayuh sepeda ontel dengan kemarahan yang sudah tak terbendung.

****

Di rumah, Bu Susi nampak khawatir dengan sikap suaminya. Ia takut, jika suaminya dalam keadaan marah seperti tadi, akan membuat penyakitnya kambuh.

"La bagaimana ini? Ayahmu sudah kesana dengan sepeda ontelnya," cemas Susi.

"Bu, Laila mohon. Cepat susul Ayah Bu ..." mohon Laila.

"Laila takut mereka memperlakukan Ayah buruk," sambungnya lagi. Air mata seakan menjadi saksi, berapa Laila mengkhawatirkan Ayahnya.

"Iya, iya. Ibu kesana sekarang," balas Susi tanpa menunda.

Ia mulai berjalan menuju kediaman pak Fernando dengan sedikit berlari, hingga sampai pertengahan jalan. Ia bertemu seorang pegawai perkebunan yang rumahnya tidak jauh dari pak Fernando. Ia berlari ke arah Susi yang membuat langkah Susi terhenti karena bingung.

"Sus ... Sus! huh, huh." Ia membuang nafas kasar karena kelelahan berlari.

"Ada apa Mira? Kenapa kamu lari-lari seperti itu?" tanya Susi heran.

"U-dah, lebih baik kamu cepat ke rumah Pak Fernando. Suamimu, Sus. Suamimu," ucapnya tersengal-sengal.

Mata Susi membulat sempurna kala mendengar suaminya disebut, hati Susi tak karuan. ia cemas, takut jika suaminya dalam masalah besar.

"Kenapa Suamiku Mir?" tanya Susi lagi.

"Sudah! Kamu cepat ke rumahnya. SEKARANG!" teriak Mira yang membuat Susi semakin cemas.

Tak ada lagi pertanyaan, Susi segera berlari ke arah rumah pak Fernando, untuk menyusul suaminya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status