Share

Bab 5. Miskin selalu terhina.

Dengan menutup mulut karena syok dengan pernyataan yang putrinya bawa. Bu Susi mulai menitihkan air mata, seakan dirinya ikut merasakan sakit dengan apa yang putrinya rasakan. Orang tua mana yang bisa tegar jika mendengar pernyataan yang begitu menyayat hati.

"Kurang ajar! Apa salahmu sampai diusir dan diceraikan? Bukankah kamu baru melahirkan keturunan mereka?" hardik pak Anton tak terima. Ada segurat kekecewaan besar di wajahnya. Rahangnya mengeras dan terlihat beberapa gambar urat dilehernya, menandakan ia begitu marah.

"Laila, Laila ..."

"Jawab Nak. Jangan takut." Bu Susi memegang pundaknya, berusaha menguatkan putrinya. Ia tahu, bagaimana perasaan putrinya saat ini. Antara takut dan sakitnya diperlukan seperti itu saling bersahutan.

"Laila di usir Bang Zidan karena Laila melahirkan anak laki-laki, Bu. Laila ..."

Mengalir lah cerita Laila didepan ayah dan ibunya. Mereka seakan memberi ruang untuk Laila bercerita dan mendengar tanpa memotong.

"Wong gendeng! Perjanjian macam apa itu La. Dikasih keturunan kok milih-milih gitu! Ngga waras itu orang!" gerutu pak Anton dengan geram. Ia berulang kali mengepal tangannya seakan marah itu sudah memuncak, karena tindakan yang menurutnya gila.

Nafas pak Anton memburu, naik turun tak beraturan. Berusaha tenang dengan alasan yang dibawa putrinya namun sangat sulit. Benar-benar tidak paham. Apa yang menjadi perbedaan, hingga karena melahirkan keturunan tak sesuai harapan, mereka seenak jidat memperlakukan Laila bak binatang.

"Sabar Yah, sabar! Kendalikan dirimu!" nasihat Bu Susi. Ia sadar, jika suaminya itu tengah marah.

"Bagaimana tidak marah Bu! Putri kita diperlakukan seperti binatang! Mereka pikir siapa? Jangan karena mereka kaya bisa seenaknya saja!" ucap pak Anton dengan intonasi tinggi.

"Sudah Yah. Tapi Ibu juga tidak mau Ayah nanti kumat lagi. Cukup! Kendalikan amarah Ayah," pinta Susi, pasalnya suaminya memiliki riwayat darah tinggi. Ia tak mau suaminya sakit hanya karena kabar ini.

Akhirnya, pak Anton berusaha mengendalikan diri dan tenang kembali.

"La, kenapa kamu tidak bilang sama Ayah, kalo misalkan kamu punya perjanjian macam itu! Jika Ayah tahu dari dulu. Ayah tidak akan merelakan kamu hidup bersama lelaki bajingan itu!" ujar pak Anton lagi.

"Laila tidak tau Yah. Laila mengetahui itu setelah pernikahan kami," ucap Laila dengan Isak tangis yang sama.

Saat itu ia bingung, apakah harus mengatakan pada ayahnya soal perjanjian itu, sedangkan ia baru saja menikah dan menjadi seorang istri. Bagi Laila saat itu, ia tidak mau mempermalukan orang tuanya hanya karena syarat itu. Meski sebenarnya ia sendiri tak yakin, kelak akan melahirkan keturunan seperti apa.

Ruangan itu dipenuhi dengan air mata kesedihan. Merasa terhina karena sebuah status. Begini kah jika menjadi orang miskin? Bisa seenaknya diperlukan tidak baik oleh mereka yang punya harta dan kedudukan?

Jika benar? Sedih sekali hidup ini. Semua dinilai oleh materi dan kekayaan.

"Kenapa mereka jahat Bu," rintih pak Anton.

"Ibu juga tau apa yang bapak rasakan. Tapi Ibu mohon, kendalikan diri Ayah. Kita menyalahkan mereka pun tetap kita akan kalah, mereka akan membela diri mereka sendiri! Kita saja yang bodoh mau menerima pinangan mereka dulu. Ibu menyesal telah menyerahkan anak kita pada orang yang tidak punya perasaan seperti mereka!" Rintih Bu Susi sedih.

Laila hanya menatap sendu kedua orang tuanya. Begitu menyakitkan terlahir menjadi orang miskin. Ia pikir, dulu saat Zidan mempersunting dirinya. Ia akan hidup bahagia. Di cintai oleh lelaki tampan dan kaya. Ia pikir Zidan lelaki baik yang tidak mempermasalahkan kedudukan atau status. Tapi kenyataannya semua orang kaya sama saja. Selalu menanggap rendah orang miskin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status