Home / Rumah Tangga / Pesona Mantan Istri / Bab 4. Merindukannya

Share

Bab 4. Merindukannya

Author: Rina Novita
last update Last Updated: 2023-02-21 11:26:56

Dengan rasa penasaran yang meronta-ronta, aku terus membuka satu-persatu foto-foto Darasifa. Kuperhatikan wajahnya baik-baik. Memang model muslimah itu jauh lebih cantik. Namun kenapa mereka sangat mirip sekali?

Matanya ... ya mata bulat namun terkesan sendu dan tenang itu sangat tidak asing bagiku. Senyum itu. Senyum yang menenangkan setiap orang jika memandangnya.

Arrgh ...! Tidak mungkin itu Lidia. Mana mungkin Lidia menjadi model. Wanita itu sangat sederhana. Difoto saja dia sangat pemalu.

Apa mungkin mereka kembar? Tapi dulu selama aku menjadi suaminya, Lidia bilang bahwa dia adalah anak satu-satunya.

Drett ... Drett

Aku terlonjak  karena tiba-tiba ponselku bergetar. Tertera nama Rena di sana.

Ah, Ya ampuuun.  Pasti wanita itu berteriak minta diantarkan makanan. Dasar manja!

"Hallo, Maaaas. Mana makanannyaaa  ...?Aku sudah lapar, nih!"

Tuh, kan betul dugaanku. Entah bagaimana caranya menasehati istriku itu. Semua apa yang dia minta harus segera di layani.

"Maaaas ! Kok diam ?"

"Iy-iyaa sayang. Sabar dulu ya. Sebentar lagi aku pesankan. Aku baru saja selesai meeting," sahutku. Lalu segera memesankan makanan kesukaannya secara online.

Setelah memastikan bahwa Rena telah menerima makanannya. Aku kembali fokus pada Darasifa. Artis cantik itu terus manggangu pikiranku.

"Rud, tolong bantu aku untuk mendapatkan Darasifa sebagai model produk kita. Kali ini perusahaan memberikan tanggung jawab itu padaku." Aku menghenyakkan tubuhku pada kursi di hadapan Rudi, asistenku.

"Oke bos. nanti aku cari informasi kontak manajernya."

"Aku tunggu secepatnya. Cari tau juga jadwal pemotretannya. Aku mau ketemu langsung,"ujarku seraya menyalakan laptop.

"Cieeee, awas ntar naksir!" goda Rudi terkikik.

"Menurut informasi, tidak mudah untuk melakukan kontrak kerjasama dengan artis muslimah itu. Aku penasaran. Apa maunya wanita cantik itu sebenarnya."

"Wah aku enggak ikut-ikutan kalau Mbak Rena sampai cemburu ya." Lagi-lagi Rudi menggodaku.

Pekerjaanku selesai hingga pukul delapan malam.  Aku bersiap untuk pulang. Kubuka  beberapa pesan dari istriku  yang baru sempat kubaca. Lagi-lagi ia meminta dibawakan makanan untuk makan malamnya.

Apa saja yang di kerjakan istriku itu di siang hari jika makan saja harus mengandalkanku?

Lama-lama kesabaranku bisa habis. Cukup sudah selama ini aku memanjakannya. Apapun yang ia minta selalu aku turuti.

Aku berhenti di sebuah rumah makan padang ternama di kota ini. Atas permintaan Rena melalui pesannya di ponselku.

(Maaaas, nanti pulangnya beliin nasi padang di restoran yang mewah itu yaaaaa. Ingat! aku pakai ayam bakar dua)

Pantas saja tubuhmu makin besar, Rena. Makanmu saja lebih banyak dariku.

Selama perjalanan aku berpikir bagaimana cara untuk merubah istriku ini. Setiap aku minta untuk masak, selalu banyak alasan yang dia utarakan.

Kadang aku rindu masakan rumah. Rindu sambutan hangat dengan hidangan nikmat masakan istriku di meja makan.

Lidia, Sepertinya aku merindukan wanita itu. Kenapa setelah berpisah baru aku rasakan begitu sempurnanya wanita itu sebagai seorang istri.

Aarrgghh.....! Kembali merutuki kebodohanku di masa silam. Membuang  berlian seperti Lidia.

"Sudah pulang, Mas? mana pesanannku?"

Selalu seperti itu Rena menyambutku. Tidak ada air minum untukku di meja. Tidak ada air hangat untuk aku mandi.

Yang dia pikirkan hanya perutnya saja.

"Rena, mana baju-bajuku?" tanyaku masih melihat lemari yang kosong.

"Sebagian belum aku setrika, sebagian lagi masih di keranjang cucian," sahutnya.

Aku membuang nafas kasar.

"Kenapa tidak kamu cuci dan setrika semua bajuku?" tanyaku menahan emosi.

"Ribet banget sih, Mas. Besok pagi Mas antar aja ke laundry sekalian jalan kerja ya. Lalu ambil lagi besoknya sepulang kerja. Gampangkan?" sahutnya tenang seraya menonton televisi.

"Renaaa ...!!" Kamu pikir aku asisten rumah tanggamu ,hah? Seenaknya saja kamu menyuruhku untuk jemput antar cucian ke laundry. Kenapa tidak kamu saja yang jalan??"

Rena tersentak mendengar bentakanku.

"Kamu tau enggak? Aku sudah lelah seharian kerja. Sedangkan kamu ngapain aja di rumah??" Akhirnya keluar juga uneg-unegku selama ini.

Rena terngamga mendengar ucapanku. Pasti ia tak menyangka aku akan membentaknya dengan kata-kata itu.

Perlahan ia bangkit dan melangkah mendekatiku.

"Kamu lupa dengan janjimu dulu, Mas?Sebelum menikahiku kamu janji akan membahagiakanku. Kamu akan menjadikan aku ratu di rumah ini." Rena berkata tenang namun penuh penekanan,  seraya bertolak pinggang di hadapanku.

Ya, dulu aku memang berjanji demikian. Saat itu aku sedang tergila-gila padanya. Apapun yang ia minta pasti aku berikan. Termasuk untuk menceraikan Lidia.

"Besok aku akan mempekerjakan asisten rumah tangga dari sebuah yayasan dekat kantorku. Kamu tidak boleh protes. Jika keberatan, Kamu harus mau mengerjakan semua pekerjaan rumah ini," tegasku dan kemudian berlalu dengan pakaian yang masih kusut.

Aku tidak lagi mendengar protes dari Rena. Semoga saja itu artinya dia setuju denganku.

Akupun menghubungi ketua yayasan yang kudatangi tadi siang. Mereka akan mengirim asisten rumah tangga untukku besok pagi-pagi sekali.

Malam kian larut. Rena mendekatiku yang kini sedang duduk bersandar di atas ranjangku.

"Maas, ini cantik enggak?" Rena memperlihatkan sebuah foto di ponselnya.

"Darasifa ...??" Aku membelalak melihat foto Darasifa yang diperlihatkan Rena padaku.

"Maaaaas ..!! maksudnya yang cantik bukan modelnya. Tapi kalung yang dia pakai. Aku mau, Maaas," rengeknya seperti bocah yang minta jajan pada ibunya.

Rena memang belum pernah bertemu dengan Lidia  Jadi dia tidak akan tau kalau Darasifa itu sangat mirip dengan mantan istriku.

"Maaaas, gimana kalungnyaaa? Jadi beli ya, Ya ?" Rena membuyarkan lamunanku

"Iya." Aku mengangguk. Entah kenapa aku selalu tidak bisa menolak setiap permintaannya.

"Oke besok kamu boleh pesan!" sahutku dengan berat hati.

---------

Tok tok tok

"Assalamualaikum, Pak."

Aku tersentak melihat seorang wanita berhijab lebar dengan kacamata agak tebal dan  berwarna samar.

"Waalaikumsalam. Cari siapa, Mbak?"

"Apa benar ini rumah Bapak Yusuf? Saya dari yayasan Sejahtera Keluarga.

Astaga! suaranya lembut sekali. Kenapa terasa sangat nyaman mendengarnya.

"Pak??"

"Oh, eh, iyaaa . Betul. saya Yusuf. Silahkan masuk mbak." Aduh, kenapa aku jadi grogi begini?

"Seperti yang di informasikan oleh yayasan kepada Bapak, Saya bekerja hanya sampai pukul sepuluh pagi. Dan setiap jam enam pagi saya sudah tiba di sini." Jelas wanita itu.

"Maaf, namanya siapa, Mbak?"

"Saya Widia, Pak."

Aku sontak ternganga. Kenapa mirip lagi? Namanya nyaris sama dengan Lidia. Ah, ini semua pasti hanya kebetulan saja.

"Mari Widia, saya antar ke belakang."

"Maaf, istri Bapak ke mana?" tanyanya heran.

"Istri saya masih tidur. Oh ya. Kamu bisa tolong buatkan saya kopi? semua  ada di dapur. Kamu cari saja sendiri!"

Widia mengangguk dan berlalu ke dapur.

Tak lama kemudian Wanita itu membawakaku segelas kopi. Segera aku menghirup kopi panas itu dengan menggunakan sendok yang ia sediakan. Tidak seperti Rena yang selalu lupa membawakan sendok dan kopinya tidak pernah pas di lidahku.

Astaga! Kenapa kopi ini rasanya sungguh nikmat sekali. Lagi-lagi kopi ini persis seperti buatan dia. Ada apakah denganku? Kenapa semua yang aku temui selalu membuatku teringat padanya? Apakah aku terlalu merindukannya??

"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Mantan Istri   Bab 50. Gagal Liburan

    Kami sedang menuju kampung halaman Naila. Walau kak Fahri keberatan, Mama tetap bersikeras mau ikut mendampingi kami. Akhirnya Kak Fahri menyerah. Justru aku sangat senang jika mama ikut. Mama bisa menjadi penengah diantara kami. Suasana di dalam mobil agak canggung. Kak Fahri menyetir mobil ditemani Bondan yang duduk disampingnya.Naila dan aku duduk di kursi tengah. Sementara Mama memilih pergi dengan mobilnya sendiri dengan seorang supir yang menyetir mobilnya. Mobil kami beriring-iringan hingga sampai ke kampung halaman Naila yang masih terletak di daerah jawa barat. Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana namun cukup luas dan bersih. Menurut Naila dia sudah menceritakan semuanya pada bapak dan ibunya semalam lewat telpon. Jadi sepertinya mereka sudah siap-siap menyambut kedatangan kami. Naila menghambur ke pelukan seorang laki-laki tua sambil menangis tergugu. "M-maafkan Nai, Pak! Nai sudah banyak bohong sama Bapak." "M-maafkan Nai, Bu!" Seorang wanita setengah ba

  • Pesona Mantan Istri   Bab 49. Cerai

    Kak Fahri bilang malam ini dia akan menyelesaikan masalah Naila. Suamiku itu telah meminta Naila untuk datang selepas isya. "Lidia, Aku butuh dukunganmu. Malam ini aku akan menceraikan Naila. Lalu, tolong biarkan dia tinggal di asrama putri hingga masa iddahnya habis." Entah kenapa dadaku selalu bergemuruh setiap Kak Fahri membicarakan Naila. Rasanya sangat sakit jika mengingat mereka pernah terikat dalam ikatan pernikahan. Walaupun Kak Fahri bilang akan menceraikan wanita itu, tapi hati ini terasa panas dan membara saat mendengar namanya. "Lidiaa ..." Kak Fahri membelai lenganku lembut, karena aku hanya bergeming. Kemudiam suamiku itu menggenggam erat jemariku. "Lidia Sayang, di hati ini hanya ada kamu seorang. Tak pernah berubah sejak dulu." "Halaah, gombal!" ketusku spontan. Kak Fahri terkejut dengan sikapku. Suamiku itu kemudian menjatuhkan bobotnya di sofa ruang tamu ini. Entah kenapa aku kini merasa risih setiap menerima sikap mesra dari kak Fahri. Apakah aku terlalu ke

  • Pesona Mantan Istri   Bab 48. Kekasih Naila

    POV FAHRI "Assalamualaikum, Ustad. Ada seorang pria yang hendak bertemu dengan Ustad." Seorang santri masuk ke ruanganku. "Siapa?" "Dia bilang namanya Bondan, Ustad." Sontak aku berdiri. "Cepat suruh orang itu masuk!" pintaku tak sabar. Tak lama santri itu keluar dan menyuruh pria yang bernama Bondan itu masuk. "Assalamualaikum, Ustad Fahri!" Seorang pria tinggi dengan tubuh kekar, memakai kaos kerah bergaris, celana jeans dan peci di kepalanya. Jika diliat dari penampilannya yang bersih dan rapi, sama sekal tidak menampakkan dirinya seorang preman. "Waalaikumsalam! Silakan duduk ...!" "Terima kasih, Ustad." "Apa benar kamu yang bernama Bondan?" Pria itu mengangguk sopan. "S-saya Bondan. Saya pernah dekat dengan Naila." Aku menatap tajam pada pria di hadapanku ini. Bagaimanapun juga aku harus tetap waspada. Namun wajahnya sekilas ada kemiripan dengan Ibrahim, Anak Naila. Semoga saja ada titiik terang. "Kenapa kamu dulu putus dengan Naila?" pancingku. "Saya nggak pernah

  • Pesona Mantan Istri   Bab 47. Bertemu Naila

    Sebenarnya datang bulanku sudah telat satu minggu. Namun aku belum berani berharap apapun. Apalagi dengan masalah yang aku hadapi saat ini membuatku merasa lebih tegang dan banyak pikiran. Rasanya begitu lelah. Pagi ini seperti biasa Kak Fahri sudah berangkat ke pesantren. Mama masih menginap di sini. Hanya Mama yang membuatku kuat saat ini. Beliau begitu menguatkan diriku. Persis ketika aku terpuruk saat sakit dan diceraikan oleh Mas Yusuf dulu. Mama Anne juga yang memberiku semangat agar bisa sehat kembali. Menurut Jeng Putri saat itu, yang bisa menyembuhkan tubuh kita adalah diri kita sendiri. Sejak tadi aku tak melihat Mama Anne keluar kamar. Setelah sarapan tadi, Mama masuk lagi ke kamar. Namun sepertinya Mama sedang menghubungi seseorang. Sejak tadi tak henti-hentinya Mama berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. Akan tetapi tak begitu jelas apa yang sedang Mama bicarakan. Ya Allah, kenapa perutku sakit sekali? Aku bergegas ke kamar mandi. Kekecewaan kembali kurasakan s

  • Pesona Mantan Istri   Bab 46. Terjebak

    POV FAHRI Assalamualaikum ..." Aku tersentak dari lamunan saat mendengar seseorang datang mengucapkan salam. "Naila..?" "Ustad ...!" Tiba-tiba saja Naila menghampiriku dan meraih tanganku, lalu menciumnya. Aku yang masih terkejut tak sempat mengelak. "Hei! Lepaskan tangan anakku!" Ternyata Mama dan Lidia telah berada di belakangku. Ya Allah, Lidia tampak sangat sedih dan terpukul. Wajahnya pucat dan sembab. "Kamu Naila, kan? Apa kamu lupa peraturan yang ada di pesantren ini?" Mama memandang sinis pada Naila. "Iy-iyaa, Bu. Tapi ..., Ustad Fahri adalah ...""Kenapa dengan anak saya? Apa yang hendak kamu katakan?" Mama menatapku tajam seolah menyimpan kecurigaan. Apa yang hendak dikatakan Naila? Apa dia akan membongkar semuanya di depan Mama? "Ustad Fahri adalah ... suami saya." Ya Allah, Naila ... "Apaaa?" Mama terpekik mendengar ucapan Naila barusan, hingga membuatku menghempas napas kasar. Tidak seharusnya dia mengatakannya sekarang. "Fahri! jelaskan pada mama sekarang

  • Pesona Mantan Istri   Bab 45. Aib Lima Tahun Yang Lalu

    Pov Fahri Mama dan Lidia masuk ke dalam kamar. Tinggal aku sendiri berada di ruang tamu ini. Masalah Naila sungguh membuatku pusing. Seharusnya sejak anaknya itu lahir, aku segera menceraikannya. Namun aku juga nggak tega mendengar bapaknya yang sedang sakit-sakitan. Orang tuanya pasti sangat terpukul jika tahu keadaan anaknya yang sebenarnya. Tiba-tiba saja kejadian lima tahun yang lalu kembali terlintas di benakku. Saat itu Nenek masih hidup. Aku sudah mulai membantu nenek mengajar para santri di pesantren. Naila adalah salah satu alumni yang juga mengajar di pesantren ini. Kami memang sering bertemu di acara-acara khusus dan rapat pengurus pesantren. Walau aku bukan lulusan pesantren, tapi Nenek bersikeras agar aku mau mengajar dan menggantikan beliau kelak. Mama menyekolahkan aku di bidang bisnis dengan harapan bisa ikut mengelola perusahaan Mama di jakarta dan di luar negeri. Namun setelah lulus S2, aku lebih memilih tinggal dan membantu Nenek di bogor. Bagaimanapun juga, Nen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status