Share

Bab 4. Merindukannya

Dengan rasa penasaran yang meronta-ronta, aku terus membuka satu-persatu foto-foto Darasifa. Kuperhatikan wajahnya baik-baik. Memang model muslimah itu jauh lebih cantik. Namun kenapa mereka sangat mirip sekali?

Matanya ... ya mata bulat namun terkesan sendu dan tenang itu sangat tidak asing bagiku. Senyum itu. Senyum yang menenangkan setiap orang jika memandangnya.

Arrgh ...! Tidak mungkin itu Lidia. Mana mungkin Lidia menjadi model. Wanita itu sangat sederhana. Difoto saja dia sangat pemalu.

Apa mungkin mereka kembar? Tapi dulu selama aku menjadi suaminya, Lidia bilang bahwa dia adalah anak satu-satunya.

Drett ... Drett

Aku terlonjak  karena tiba-tiba ponselku bergetar. Tertera nama Rena di sana.

Ah, Ya ampuuun.  Pasti wanita itu berteriak minta diantarkan makanan. Dasar manja!

"Hallo, Maaaas. Mana makanannyaaa  ...?Aku sudah lapar, nih!"

Tuh, kan betul dugaanku. Entah bagaimana caranya menasehati istriku itu. Semua apa yang dia minta harus segera di layani.

"Maaaas ! Kok diam ?"

"Iy-iyaa sayang. Sabar dulu ya. Sebentar lagi aku pesankan. Aku baru saja selesai meeting," sahutku. Lalu segera memesankan makanan kesukaannya secara online.

Setelah memastikan bahwa Rena telah menerima makanannya. Aku kembali fokus pada Darasifa. Artis cantik itu terus manggangu pikiranku.

"Rud, tolong bantu aku untuk mendapatkan Darasifa sebagai model produk kita. Kali ini perusahaan memberikan tanggung jawab itu padaku." Aku menghenyakkan tubuhku pada kursi di hadapan Rudi, asistenku.

"Oke bos. nanti aku cari informasi kontak manajernya."

"Aku tunggu secepatnya. Cari tau juga jadwal pemotretannya. Aku mau ketemu langsung,"ujarku seraya menyalakan laptop.

"Cieeee, awas ntar naksir!" goda Rudi terkikik.

"Menurut informasi, tidak mudah untuk melakukan kontrak kerjasama dengan artis muslimah itu. Aku penasaran. Apa maunya wanita cantik itu sebenarnya."

"Wah aku enggak ikut-ikutan kalau Mbak Rena sampai cemburu ya." Lagi-lagi Rudi menggodaku.

Pekerjaanku selesai hingga pukul delapan malam.  Aku bersiap untuk pulang. Kubuka  beberapa pesan dari istriku  yang baru sempat kubaca. Lagi-lagi ia meminta dibawakan makanan untuk makan malamnya.

Apa saja yang di kerjakan istriku itu di siang hari jika makan saja harus mengandalkanku?

Lama-lama kesabaranku bisa habis. Cukup sudah selama ini aku memanjakannya. Apapun yang ia minta selalu aku turuti.

Aku berhenti di sebuah rumah makan padang ternama di kota ini. Atas permintaan Rena melalui pesannya di ponselku.

(Maaaas, nanti pulangnya beliin nasi padang di restoran yang mewah itu yaaaaa. Ingat! aku pakai ayam bakar dua)

Pantas saja tubuhmu makin besar, Rena. Makanmu saja lebih banyak dariku.

Selama perjalanan aku berpikir bagaimana cara untuk merubah istriku ini. Setiap aku minta untuk masak, selalu banyak alasan yang dia utarakan.

Kadang aku rindu masakan rumah. Rindu sambutan hangat dengan hidangan nikmat masakan istriku di meja makan.

Lidia, Sepertinya aku merindukan wanita itu. Kenapa setelah berpisah baru aku rasakan begitu sempurnanya wanita itu sebagai seorang istri.

Aarrgghh.....! Kembali merutuki kebodohanku di masa silam. Membuang  berlian seperti Lidia.

"Sudah pulang, Mas? mana pesanannku?"

Selalu seperti itu Rena menyambutku. Tidak ada air minum untukku di meja. Tidak ada air hangat untuk aku mandi.

Yang dia pikirkan hanya perutnya saja.

"Rena, mana baju-bajuku?" tanyaku masih melihat lemari yang kosong.

"Sebagian belum aku setrika, sebagian lagi masih di keranjang cucian," sahutnya.

Aku membuang nafas kasar.

"Kenapa tidak kamu cuci dan setrika semua bajuku?" tanyaku menahan emosi.

"Ribet banget sih, Mas. Besok pagi Mas antar aja ke laundry sekalian jalan kerja ya. Lalu ambil lagi besoknya sepulang kerja. Gampangkan?" sahutnya tenang seraya menonton televisi.

"Renaaa ...!!" Kamu pikir aku asisten rumah tanggamu ,hah? Seenaknya saja kamu menyuruhku untuk jemput antar cucian ke laundry. Kenapa tidak kamu saja yang jalan??"

Rena tersentak mendengar bentakanku.

"Kamu tau enggak? Aku sudah lelah seharian kerja. Sedangkan kamu ngapain aja di rumah??" Akhirnya keluar juga uneg-unegku selama ini.

Rena terngamga mendengar ucapanku. Pasti ia tak menyangka aku akan membentaknya dengan kata-kata itu.

Perlahan ia bangkit dan melangkah mendekatiku.

"Kamu lupa dengan janjimu dulu, Mas?Sebelum menikahiku kamu janji akan membahagiakanku. Kamu akan menjadikan aku ratu di rumah ini." Rena berkata tenang namun penuh penekanan,  seraya bertolak pinggang di hadapanku.

Ya, dulu aku memang berjanji demikian. Saat itu aku sedang tergila-gila padanya. Apapun yang ia minta pasti aku berikan. Termasuk untuk menceraikan Lidia.

"Besok aku akan mempekerjakan asisten rumah tangga dari sebuah yayasan dekat kantorku. Kamu tidak boleh protes. Jika keberatan, Kamu harus mau mengerjakan semua pekerjaan rumah ini," tegasku dan kemudian berlalu dengan pakaian yang masih kusut.

Aku tidak lagi mendengar protes dari Rena. Semoga saja itu artinya dia setuju denganku.

Akupun menghubungi ketua yayasan yang kudatangi tadi siang. Mereka akan mengirim asisten rumah tangga untukku besok pagi-pagi sekali.

Malam kian larut. Rena mendekatiku yang kini sedang duduk bersandar di atas ranjangku.

"Maas, ini cantik enggak?" Rena memperlihatkan sebuah foto di ponselnya.

"Darasifa ...??" Aku membelalak melihat foto Darasifa yang diperlihatkan Rena padaku.

"Maaaaas ..!! maksudnya yang cantik bukan modelnya. Tapi kalung yang dia pakai. Aku mau, Maaas," rengeknya seperti bocah yang minta jajan pada ibunya.

Rena memang belum pernah bertemu dengan Lidia  Jadi dia tidak akan tau kalau Darasifa itu sangat mirip dengan mantan istriku.

"Maaaas, gimana kalungnyaaa? Jadi beli ya, Ya ?" Rena membuyarkan lamunanku

"Iya." Aku mengangguk. Entah kenapa aku selalu tidak bisa menolak setiap permintaannya.

"Oke besok kamu boleh pesan!" sahutku dengan berat hati.

---------

Tok tok tok

"Assalamualaikum, Pak."

Aku tersentak melihat seorang wanita berhijab lebar dengan kacamata agak tebal dan  berwarna samar.

"Waalaikumsalam. Cari siapa, Mbak?"

"Apa benar ini rumah Bapak Yusuf? Saya dari yayasan Sejahtera Keluarga.

Astaga! suaranya lembut sekali. Kenapa terasa sangat nyaman mendengarnya.

"Pak??"

"Oh, eh, iyaaa . Betul. saya Yusuf. Silahkan masuk mbak." Aduh, kenapa aku jadi grogi begini?

"Seperti yang di informasikan oleh yayasan kepada Bapak, Saya bekerja hanya sampai pukul sepuluh pagi. Dan setiap jam enam pagi saya sudah tiba di sini." Jelas wanita itu.

"Maaf, namanya siapa, Mbak?"

"Saya Widia, Pak."

Aku sontak ternganga. Kenapa mirip lagi? Namanya nyaris sama dengan Lidia. Ah, ini semua pasti hanya kebetulan saja.

"Mari Widia, saya antar ke belakang."

"Maaf, istri Bapak ke mana?" tanyanya heran.

"Istri saya masih tidur. Oh ya. Kamu bisa tolong buatkan saya kopi? semua  ada di dapur. Kamu cari saja sendiri!"

Widia mengangguk dan berlalu ke dapur.

Tak lama kemudian Wanita itu membawakaku segelas kopi. Segera aku menghirup kopi panas itu dengan menggunakan sendok yang ia sediakan. Tidak seperti Rena yang selalu lupa membawakan sendok dan kopinya tidak pernah pas di lidahku.

Astaga! Kenapa kopi ini rasanya sungguh nikmat sekali. Lagi-lagi kopi ini persis seperti buatan dia. Ada apakah denganku? Kenapa semua yang aku temui selalu membuatku teringat padanya? Apakah aku terlalu merindukannya??

"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status