Sarapan pagiku kali ini berupa curhatan dari Imel. Dia menelepon sejak jam lima pagi tadi dan ngoceh seperti burung. Seperti biasa aku hanya meletakkan ponsel dan mendengar ocehannya sambil mondar-mandir menyiapkan sarapan."Lo tahu, gak?! Masa bos gue tu mau nikah lagi, mana calon istri keduanya tuh, ya, baweeeel banget! Dikit-dikit marah, dikit-dikit ngomel. Gak seru banget. Kalo gue jadi istri pertamanya udah gue racun tu calon madu. Sumpah, nyebelin banget orangnya!"Imel memang kadang suka enggak sadar diri. Dia sendiri bawel, tapi kalau ada orang yang bawel ke dia, dia ngereog. Pantas saja dia awet bersahabat denganku karena aku orangnya alim. Uhuk. "Asal lo tahu aja, ya. Masa cuma gara-gara pendapatan kemarin kurang cepek aja tu cewek jam empat pagi udah ngomelin gue. Baru jadi calon istri bos aja udah kayak mak lampir, gak kebayang gue kalo mereka beneran nikah!""Udah, sabar. Gue aja selama ini sabar ngadepin kebawelan lo yang brutal itu," kataku, berusaha menenangkan."Sial
"Gimana? Udah baikan?"Untuk pertama kalinya aku menjawab telepon dari Jo. Mulanya aku sedikit ragu, tapi karena aku merasa harus berterima kasih, aku pun menggeser tombol hijau di layar ponsel. "Udah. BTW, makanannya enak. Makasih, ya.""Kamu suka?""Suka. Apalagi es strawberry-nya."Aku mendengar dia tertawa. "Nanti malam mau makan bareng enggak? Sekalian ngobrol."Aku diam beberapa saat. Biasanya saat suasana hati sedang kacau, aku memilih untuk berdiam diri di kamar hingga berhari-hari. Namun, sepertinya kali ini aku memutuskan untuk menerima tawaran dari Jo saja. "Boleh. Di mana?""Nanti aku jemput.""Eh, enggak usah. Aku bisa berangkat sendiri.""Aku tahu, tapi emangnya enggak boleh, ya, kalo aku pengen semobil sama kamu?""Bo-leh, sih.""Nah, sip! Nanti aku kabarin lagi, ya. Aku kerja dulu."Kenapa jantungku tiba-tiba berdebar begini? Argh, sial! Aku kenapa, sih? Padahal jelas-jelas Joshua itu bukan tipeku. Aku bener-bener pemilih waktu deket sama cowok sebelumnya, tapi kenap
Aku malah bengong karena enggak tahu harus bagaimana. Bukankah kalau di drakor, menerima bunga artinya menerima cinta dari si pemberinya?Tetapi, kenapa Jo enggak menyatakan cintanya? "Gak suka, ya? Sama, sih, aku sendiri lebih suka bunga bank. Ini ide temen kantorku sebenernya."Jo ketawa. Akhirnya dengan sedikit canggung aku pun menerima bunga dari Jo. Sekuntum mawar merah itu kuletakkan di sebelah kanan, berdekatan dengan jendela."Aku baru pertama dikasih bunga sama cowok, jadi agak syok," kataku kikuk."Masa? Kalo gitu tiap hari aku kasih, deh, biar terbiasa."Kami sama-sama ketawa."Gimana kuliahnya?"Obrolan kami terjeda karena pelayan mengantarkan minuman. Jo memesan es americano sementara aku es strawberry. Paduan strawberry yang asam, susu, dan sodanya sangat cocok di lidahku. Meminumnya seketika membawa energi baik yang mengalir hingga ke ujung kaki."Lancar, tinggal nunggu wisuda aja.""Setelah wisuda mau ngapain? Kerja atau nikah?""Nggak tahu belum kepikiran. Palingan
Sadar dengan itu, aku segera menarik tanganku dan mengusapnya. Tentu saja Jo ketawa dan meminta maaf setelahnya. Aku sendiri merasa ada yang tidak beres. Jantungku bergetar hebat hingga membuatku kembali duduk. Takut sewaktu-waktu tak sengaja bersentuhan lagi dengan dia."Deg-degan nggak?"Ish! Aku tak menjawab. Setelah jantungku kembali normal, aku pun memutuskan untuk meninggalkan kamar Jo. Laki-laki itu mengantarku hingga pintunya sambil melambaikan tangan. Aku buru-buru masuk dan segera duduk di sofa. Kupegangi dadaku yang masih berdegup kencang. Ada apa denganku?Aku mengacak rambut, kemudian berlari menuju kamar mandi. Berendam di dalam bathup membuatku sedikit rileks. Tiba-tiba aku teringat hal konyol tadi dan tiba-tiba juga tersenyum sendiri. Wajah Jo seketika memenuhi kepalaku. Aku segera menggeleng dan membasuh wajahku.**Jam dua belas siang aku sudah berada di kantor Imel. Melihatku sudah duduk menunggunya, tentu saja Imel langsung berlari menujuku. Tanda-tanda reog pun mu
Aku menggeplak kepalaku sendiri, kemudian kembali masuk mobil dan pulang ke apartemen. Kayaknya emang lama-lama otakku mulai geser. Aku masih saja berusaha mengingat dan memastikan, apakah Jo tadi bilang love you atau see you?Lagi-lagi aku menggeleng dan gelimpungan di kasur. Aku sudah benar-benar tidak waras! Telingaku juga sepertinya harus sering-sering dibersihkan biar bisa mendengar dengan jelas.Aku meraih ponsel, mengetuk nama Joshua di aplikasi chating. Aku bertanya-tanya sendiri, haruskah aku mengirimkan pesan kepada Jo? Memilih bangkit dan duduk bersila, aku memutuskan untuk mengetik sesuatu di sana.Namun, ponsel itu kembali kulempar dengan asal. Aku harus mengetik apa? Terserahlah. Aku memilih untuk kembali rebahan sambil menutup wajah dengan bantal.Tiba-tiba pintu apartemenku diketuk. Aku bangkit dengan malas dan berjalan menuju pintu."Jo?""Ada waktu nggak, Mir?""Kenapa?""Aku ada meeting sama klien dan aku perlu asisten buat nemenin. Nanti kamu bantuin merangkum poi
"Mir, temenin aku makan malam, ya? Aku lagi butuh temen."Sontak saja mataku membulat sempurna. Aku segera duduk, hendak membalas pesan dari Jo, tapi Imel si kepo malah ikutan duduk dan melihat ke layar ponselku."Kenapa lo?""Apa, sih, Meeel? Kepo, deh." Aku meninggikan HP agar Imel tak bisa melihatnya. "Dih, aneh." Imel kembali rebahan.Aku mengetik balasan untuk Jo. "Boleh. Tunggu sebentar aku harus ganti baju dulu.""Lo di sini aja, ya, Mel. Gue lagi ada urusan."Aku melompat dari kasur dan memilih baju. Kali ini aku tidak akan memakai hodie lagi. Setelan blouse dan rok ala korea menjadi pilihanku malam ini. Imel yang semula tiduran seketika duduk saat melihatku sibuk."Lo mau ke mana pakai baju kayak gitu?""Gue ada urusan. Lo di sini aja jaga rumah.""Sama siapa, heh?""Ntar gue cerita. Gue udah ditunggu."Aku buru-buru meninggalkan Imel karena Jo sudah menunggu di mobilnya. Saat tiba di parkiran, Jo menyambutku dengan senyuman."Cantik," kata Jo.Aku seketika tersipu dan menye
Aku sedikit gugup saat Jo memperkenalkanku pada semua staf yang dia temui di kantor. Sebagai seorang CEO, Jo sangat ramah dengan semua karyawan. Aku bertanya ruanganku di mana, tapi hanya menjawab, "nanti juga tahu," sambil tertawa. Aku hanya mengikuti langkahnya dan masuk ke dalam ruangan CEO yang setara dengan luas apartemenku. Ada dua meja kerja dan satu sofa, juga ada beberapa rak yang berisi map-map berjejer. Di meja paling besar dekat jendela, tertulis nama Joshua Alexander sebagai CEO di PT Astaprima ini.Sementara di meja yang lebih kecil hanya berisi vas bunga mawar dan juga berkas-berkas. "Kamu kerja di sini, Mir."Aku membulatkan mata. "Satu ruangan sama kamu?""Memangnya kenapa? Aku mau kita sama-sama terus.""Aku nggak bisa kerja kalau seruangan sama kamu.""Alasannya?"Aku terdiam seketika. Masa aku harus bilang kalau alasannya karena deg-degan? Konyol, Mira!"Iya, udah nggak papa," jawabku akhirnya.Aku meletakkan tas jinjing dan juga tas laptop di meja, kemudian dudu
Entah apa yang ada di pikiran papi saat ini, sejak tadi matanya tak beralih dariku. Aku memilih untuk membuang muka, atau lebih sering menundukkan wajah agar tidak bertatapan langsung dengannya. Meski begitu aku senang karena papi tak memberitahu Jo bahwa aku adalah anaknya.Kalau bukan karena meeting bersama Jo hari ini, tentu aku tidak akan tahu kalau ternyata papi sudah lama aktif dalam melakukan kerja sama seperti ini. Aku pikir papi menggunakan uang yang dia dapatkan untuk berfoya-foya saja, nyatanya papi sangat peduli dengan nasib anak-anak yatim dan anak-anak jalanan. Dalam hati aku bangga karena ternyata papi adalah orang yang dermawan seperti namanya. Namun, kenapa dia tidak pernah cerita?Meeting ditutup dengan tanda tangan Jo dan papi di atas materai. Semoga kerja sama kali ini berjalan dengan lancar dan baik. Usai menutup laptop, aku memesan makanan untuk kami. Obrolan berlanjut dengan santai. Mereka membahas keadaan di kantornya masing-masing. "Seingat saya terakhir kit