Share

Jodoh

"Ganteng banget," kata Imel sambil geleng-geleng kepala. 

"Dih, ganteng dari sebelah mana?"

"Mata lo minus berapa, sih, Mir?"

Aku tak menanggapi dan memilih fokus pada layar ponsel. Namun, tiba-tiba saja Imel berdiri dan berteriak.

"Kak Jo ... sini gabung sama kita!"

Aku sontak menarik tangan Imel dan melotot tajam. Maksudnya apa, coba?

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Jo berjalan dengan santainya menuju meja kami dan langsung duduk berhadapan denganku.

"Kalian udah lama?" tanya Jo.

"Udah dari tadi, tapi kalo disuruh nemenin Kak Jo dulu gak papa, kok."

Kak Jo? Aku jijik dengan panggilan Imel itu. Dia rabun atau gimana? Bapak-bapak, kok, dipanggil kakak?

"Panggil Jo aja biar lebih akrab," kata laki-laki sipit itu. Mungkin dia juga jijik sama panggilan yang Imel berikan.

"Hai, Mir." Dia tersenyum menatapku. 

Aku ikut tersenyum sedetik, lalu fokus dengan ponsel lagi.

"Oh, iya, Jo. Lo dapat nomor Mira dari siapa? Dia penasaran banget sampai nuduh gue yang ngasih nomer dia ke lo."

Aku mencubit perut Imel. Selain cerewet, dia memang agak ember. Bisa-bisanya dia cerita sama Jo soal ini?

"Dari driver ojek online yang waktu itu anter makanan ke apartemen."

"Hah?!" Aku dan Imel sama-sama terkejut.

"Kok, bisa? Maksud gue, kenapa harus ke driver ojol?" Pertanyaanku terwakilkan oleh Imel.

"Iseng aja."

"Jawaban yang sangat tidak memuaskan. Bintang satu," kataku.

Jo ketawa, lalu mulai memesan makanan.

"Jadi, kita ngapain? Nungguin dia makan? Kurang kerjaan tahu, gak?" Aku mengirimkan pesan kepada Imel meski duduk bersandingan.

"Lo diem aja, deh. Rezeki gak boleh ditolak."

"Rezeki dari mana? Konyol!"

"Sabar kali. Lima belas menit paling kelar."

Aku menginjak kaki Imel, dia membalas, hingga akhirnya kami saling injak dan membuat Jo tersadar.

"Lain kali ada waktu luang gak? Kita atur jadwal makan bareng lagi." Jo memulai obrolan setelah selesai makan.

"Gampang itu, mah. Bisa diatur sama Miranda."

"Kok, gue?" Aku protes, dong.

"Lo tahu sendiri gue sibuk." Imel mengedipkan matanya bergantian. Apaan, coba?

Jo mengangguk dan memanggil pelayan untuk membayar makanan. 

"Sekalian sama punya mereka," kata Jo.

"Eh, gak usah biar aku bayar sendiri," cegahku. 

"Gak papa kali, Mir. Anggep aja ini gantinya waktu itu lo, kan, gak ikut dinner." 

Imel dasar!

Jo menyelesaikan bill dan pamit duluan karena masih ada meeting, katanya. Ketika laki-laki itu pergi, Imel malah menyenggol lenganku.

"Lo mah gak bakat jadi cewek matre! Orang mau dibayarin segala pake minta gak usah."

Lah, kenapa dia yang ngomel?

**

Hari ini aku mengajak Imel full di luar. Meski terasa kurang nyaman, tapi ini hari terakhirku menjadi pengangguran. Setelah hari ini mungkin aku akan sibuk dengan dunia kerja dan tidak sempat we time lagi.

Tempat pertama yang kami datangi adalah toko buku. Meski Imel tidak suka baca buku, tapi karena ini adalah salah satu hobiku, dia pun memahami itu.

Pulang dari toko buku, kami pindah tempat ke taman kota. Tempat terbuka seperti ini menjadi tempat favorit Imel karena banyak jajanan. Biasanya kami hanya akan duduk di kursi taman sambil makan es krim. Namun, kali ini Imel mengajakku untuk duduk di dekat air mancur. 

"Tengkyu, ya, Mel."

Imel yang tadi bermain air seketika menoleh.

"Apaan, nih? Kok, aneh."

Aku memeluk Imel hingga membuat gadis itu hampir terjengkang.

"Gila, lo, ya!"

Aku ketawa. Kalau bukan karena Imel, aku gak akan datang ke tempat-tempat seperti ini. Yang semula membosankan, ternyata cukup mengasyikkan. 

"Makanya sekali-kali tu keluar kamar biar tubuh lo tuh kena udara segar. Orang, kok, kalo gak ada gempa gak bakal keluar kamar."

Aku masih ingat saat awal-awal Imel mengajakku ke tempat ini. Aku selalu menolak karena memilih untuk berdiam diri di dalam kamar. 

Imel selalu mengajakku dalam kegiatan apa saja di outdoor. Meski aku hanya diam seperti patung dan tak banyak bicara, tapi tak membuat gadis itu bosan. Aku pun demikian, walaupun bawelnya gak ada tandingan, tapi Imel tetep orang pertama yang membuatku merasa begitu nyaman.

"Dih, kenapa? Belok, lo, ya? Jangan bilang lo naksir sama gue?!"

Tabokan Imel membuatku mengaduh seketika. 

"Kalo pun belok gue bakal milih-milih kali, Mel."

Kita sama-sama ngakak.

***

Aku baru menempelkan cardlock saat mendengar suara anak kecil dari dalam kamar Jo. Pintunya yang sedikit terbuka membuatku penasaran, apakah ada anak kecil di dalam sana? Apa laki-laki itu benar-benar sudah punya istri dan anak?

"Daddy ... Joseph kangen sama daddy."

Aku mengernyit sambil menajamkan pendengaran. Suara itu terdengar seperti rekaman yang diputar berulang-ulang. Jika sedang menelepon, seharusnya Jo ikut bicara. Akan tetapi, itu hanya suara satu orang saja.

Joseph? Siapa itu?

"Ehm!"

Suara dehaman membuatku tergagap dan berjalan mundur. Laki-laki yang sudah bersedekap tangan di dada itu menaik turunkan alisnya.

"Ngapain?" tanyanya.

"Eng ... itu ... salah kamar."

Ah, dasar! Mulut emang kadang suka belibet kalo diajak ngomong!

"Masuk aja sekalian."

Aku mendengkus, lalu balik badan. Malunya sampai tujuh turunan. Mungkin kalau di depan kaca, mukaku udah merah kayak kepiting rebus.

"Hei ... nanti malam makan bareng, ya?"

Aku tak menjawab, memilih untuk terus berjalan dan masuk ke dalam kamar. Aku langsung memberi kabar kepada Imel kalau Jo ternyata sudah punya istri dan anak.

"Mel, bener tebakan gue kalo si Jo udah punya istri dan anak. Barusan gue denger suara anaknya, namanya Joseph."

"Di mana?" Balas Imel.

"Di kamar dia, lah."

"What? Di kamar dia? Gila, lo!"

Aku menepuk keningku sendiri. "Bukan, bukan. Maksud gue, gak sengaja denger aja pas gue lewat. Bukan berarti gue masuk ke kamar dia."

Imel ngakak. "Lo yakin? Kok, istri dan anaknya gak diajak tinggal di sana? Keponakan doang, kali."

Aku berpikir kembali. Bener juga kata Imel. Eh, tapi kenapa aku peduli? Ah, gak beres. Aku segera menyudahi obrolan dengan Imel dan pergi mandi.

Jam tujuh malam aku baru sadar kalau tidak punya kemeja putih dan celana panjang hitam. Sial. Mana besok jam delapan pagi udah harus sampai kantor, mana sempat kalau beli mendadak? Pinjam Imel rasanya gak mungkin karena tinggi badanku dan dia berbeda. 

Akhirnya dengan rasa malas yang menguasai jiwa raga, aku memutuskan untuk meninggalkan apartemen dan berangkat ke mall.

Malam-malam pun jalanan begitu padat dan macet. Seharusnya aku meminta motor saja sama Mami, tapi aku yakin mami tak akan setuju. Aku begitu malas berdebat dan akhirnya ikut saja dengan kemauan dia.

Usai memarkirkan mobil di basemen aku segera menuju lift dan naik ke lantai tiga. Setelah hampir satu jam berkeliling akhirnya kemeja putih dan celana hitam pun sudah di tangan. Aku mampir ke salah satu stand makanan untuk mengisi perut yang sejak siang belum terisi.

Spicy fried chicken menjadi menu pilihan setiap datang ke tempat ini. Ketika lagi nikmat-nikmatnya menyantap kulit ayam, seorang laki-laki duduk tepat di hadapanku. 

"Sering ketemu bukannya pertanda jodoh, ya?"

Aku langsung tak nyaman, selera makanku pun menghilang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status