Share

Cinta pada Pandangan Pertama

Aku melompat-lompat kegirangan saat mendapat pesan dari HRD perusahaan. Akhirnya setelah dua hari menunggu keputusan, aku dinyatakan diterima bekerja sebagai staf administrasi di perusahaan tersebut. 

Aku segera menelepon Imel dan memberi tahu kabar bahagia ini kepadanya. Bukannya ikut bahagia, Imel malah mengejek.

"Duit lo mau dikemanain, sih, Mir? Ngapain capek-capek kerja? Lo bukannya tinggal minta aja sama nyokap lo, urusan beres." Imel ngakak.

"Gabut doang, Mel. Daripada gue tidur mulu di apartemen, mending kerja, kan?"

"Tukeran jiwa aja kita, Mir. Gue yang capek kerja maunya tidur di rumah doang gak bisa, lo malah gabutnya pengen kerja. Gak habis pikri gue."

"Lo bukannya ngedukung malah bikin gue kesel aja, Mel. Dah, ah, kalo gitu gue gak jadi ngajak lo makan di restoran."

"E-eh, tunggu, Mir. Ya, kalo tahu bakal ditraktir gue gak bakal ngomel kali. Sharelok!"

Aku mendengkus, lalu mematikan panggilan dan mengajak imel bertemu di kafe galaksi. Kafe itu sedang viral di dunia maya saat ini karena sangat instagramable.

"Punya waktu luang gak, Mir? Pengen ngobrol."

Ish! Padahal aku tidak pernah merespons, tapi Jo masih terus-terusan kirim pesan. Aku saja bosan, kenapa dia tidak?

"Jangan sering mengabaikan aku, nanti kamu jatuh cinta."

Aku sontak bergidik membaca pesan baru dari Jo. Amit-amit jangan sampai aku jatuh cinta sama dia. Kulempar ponsel ke kasur dan pergi mandi.

Usai mandi, aku meraih ponsel yang sepertinya sejak tadi berdering. Benar saja sudah ada lima belas panggilan tak terjawab dari Imel dan spam chat.

"Lo di manaaaa?"

"Woy, Mir! Jangan bilang lo lagi mandi!"

"Sialan, lo! Gue udah setengah jam di sini!"

Aku terkikik sendiri saat membaca pesan dari Imel. Salah sendiri dia langsung berangkat padahal aku saja belum mandi.

"OTW." Aku membalas pesan dari Imel padahal belum selesai berganti baju.

**

Aku ngomel-ngomel ke Imel karena dia tiba-tiba sudah pindah lokasi ke restoran jepang. Namun, tetap saja omelanku tidak ada apa-apanya dibanding ocehan Imel. 

Aku ngomong sedetik, dia balas ngomong sejam. Bener-bener berisik!

"Salah lo! Gue udah setengah jam di sana, udah pesen makanan juga. Eh lo lama banget, terpaksa gue yang bayar tu makanan!" omelnya sambil melahap sushi. 

"Seumur-umur gue hidup, baru tadi gue jajan pisang goreng sama kopi harga tiga ratus ribu!"

Kali ini aku langsung ketawa. Lalu, mengaku salah dan meminta maaf kepadanya.

"Lo bayangin! Gue yang tiap hari kudu irit, gak boleh sekali jajan lebih dari seratus ribu tiba-tiba jajan pisang goreng harga tiga ratus ribu. Gila gak, tuh?!"

"Anggep aja apes. Lagian buru-buru amat, deh. Gue belom mandi lo udah sampai aja. Harga ni sushi juga dua kali lipat dari harga pisang goreng yang lo beli."

Imel menghentikan kunyahannya seketika. Aku mengernyit saat melihat dia celingukan.

"Kenapa?" tanyaku. 

"Mending lo kasih mentahannya aja deh, Mir, daripada ditraktir di tempat begini. Gak tega gue nelen duit sejuta sehari doang. Bisa gue irit-iritin tu duit selama sebulan."

Aku ketawa lagi. Ada aja celotehan Imel yang bikin suasana jadi lebih hidup. Aku jadi berandai-andai jika dulu tak mengenal Imel pasti hidupku bakal kesepian terus. Ya meski kadang dia terlalu berisik, tapi duniaku benar-benar terasa berbeda saat mengenal imel.

Aku kembali terbayang masa-masa SMA dulu, saat aku memutuskan untuk berhenti home schooling. Aku pikir memilih teman akan sesimple saat kita membalikkan telapak tangan. Nyatanya tidak. 

Aku sering kali dibully karena irit bicara, jarang bergaul, dan hanya diam saat mereka membicarakan lawan jenis. Bahkan mereka menjauh sambil menyebarkan berita bahwa aku suka dengan sesama jenis hanya karena aku tidak punya pacar. Gila, kan?

Sejak saat itu aku menjadi lebih pendiam daripada sebelumnya. Aku lebih suka melakukan segalanya sendirian saja. Aku tak suka keramaian, aku akan sangat lelah jika kebanyakan bicara. 

Hanya Imel yang benar-benar mengerti seperti apa sifatku, bahkan aku yakin orang tuaku sendiri tak paham. Meskipun kadang Imel suka ngomel saat ocehannya tak kutanggapi, tapi itu memang sifatnya. Dan aku paham dengan itu.

Hanya kepada imel aku bisa menjadi diri sendiri. Aku tak segan menceritakan kekurangan diriku karena tak mau dia berekspektasi berlebihan terhadapku.

Kami mencoba saling memahami. Kadang dia begitu tersiksa saat kuajak hanya berdiam diri di dalam kamar seharian. Sebaliknya, aku juga kadang merasa tak nyaman kalau harus menemani dia duduk dalam keramaian. Walaupun begitu, kami selalu menyempatkan diri untuk we time dan bergantian menentukan pilihan.

"Keadaan ibu gimana?" tanyaku ketika Imel selesai dengan makanannya.

"Udah membaik. Kecapekan aja karena kerja dari subuh sampai malem. Gue udah ada rencana pulang, tapi nunggu gajian dulu."

Aku mengangguk sambil menyeruput capuchino yang mulai dingin. 

"Oh iya, Mel. Lo kasih nomer gue ke tetangga baru itu, ya?" tanyaku. Aku benar-benar penasaran darimana Jo mendapatkan nomorku.

"Tetangga baru? Maksud, lo ... Joshua?"

Aku mengangguk dengan malas.

"Enggak! Gue aja gak pernah ketemu sama dia. BTW, lo punya nomornya? Gue minta, dong!"

Aku pun menceritakan kepada Imel tentang Jo yang akhir-akhir ini begitu mengganggu hingga akhirnya Imel menggerutu.

"Belom juga jadian, udah ketikung aja gue sama lo!"

Aku mendelik. "Apa, sih?!"

"Dia tertarik sama lo, Mir. Masa lo gak sadar, sih?"

Aku tertawa sinis. "Tertarik? Gue ketemu dia aja gak pernah, ngobrol gak pernah, mana mungkin dia bisa tertarik."

"Lo mah gak peka! Bisa aja dia jatuh cinta pada pandangan pertama. Ya, gak?"

"Gak! Cinta pada pandangan pertama cuma ada di sinetron."

Imel menabok lenganku dengan spontan. Sementara aku mengaduh, telunjuknya mengarah ke pintu masuk restoran. 

"Lihat, Mir!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status