Share

Salting

Aku kalau ketemu sekali dua kali memang masih berusaha seramah mungkin dengan menampilkan senyum palsu yang menawan, tapi kalau terus-terusan, ya gimana, ya? Gak bisa aku tu kalau pura-pura terlalu lama. Mau enggak mau harus menunjukkan sifat aslinya juga.

"Makan lagi aja, gak papa."

Mau selapar apa pun kalau makannya sambil dilihatin begini enggak bakal ketelen. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti makan sekalian.

"Kenapa? Kok, gak jadi makan?"

"Udah kenyang."

Dia manggut-manggut, lalu menyandarkan punggungnya di kursi.

"Kamu beda dari cewek-cewek yang aku temui sebelumnya. Biasanya mereka yang deketin aku, tapi kamu enggak. Emangnya aku kurang menarik, ya, di mata kamu?"

Please, aku paling enggak suka ditanyain hal begini. Kenapa Tuhan mempertemukan aku dengan laki-laki model begini?

"Bukan gak menarik, tapi emang bukan seleranya aja mungkin," jawabku.

"Jadi, aku bukan selera kamu?"

Aku meringis, "Iya mungkin."

"Emang selera kamu yang gimana?"

Aku mengatur napas. Melelahkan sekali.

"Yang kayak Jefri Nichol."

Jo ketawa, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Artinya aku kurang ganteng, ya?"

Aku hanya tersenyum.

"Mungkin kedengeran buru-buru, tapi sejak melihat kamu, aku tertarik sama kamu, Mir."

Tolong! Sekarang aku harus ngapain ini? Aku harus ngomong apa lagi? Apa aku harus baper? 

"Cringe, ya. Sory, tapi aku gak bisa basa-basi. Aku gak minta kamu balas perasaanku sekarang, aku cuma pengen kamu tahu aja. Kalau suatu saat aku makin terang-terangan, setidaknya kamu udah paham."

Aku cuma bisa diam seribu bahasa. Mana mungkin seorang laki-laki yang sudah punya istri dan anak mengutarakan perasaannya kepada wanita lain? Apa semua laki-laki memang begitu saat sedang jauh dari keluarganya?

Jo merogoh ponsel dari saku celana nya saat benda itu berdering. Sepertinya panggilan penting karena setelahnya Jo pamit pergi duluan.

Tinggal aku yang masih mematung dengan perasaan entah. Mendengar Jo mengutarakan perasaannya malah membuatku jadi kesal dan makin yakin kalau aku harus segera menjauh darinya.

Aku ingat saat masuk semester pertama ada satu mahasiswa yang mengutarakan perasaannya kepadaku. Saat itu aku langsung menolaknya dan membuat dia marah. Dia memfitnah dan menjadi orang pertama yang menyebarkan berita bahwa aku suka dengan sesama jenis. 

Sejak saat itu aku trauma dan selalu menjaga jarak dengan laki-laki. Hingga saat ini belum ada laki-laki yang bisa membuat jantungku berdebar saat berhadapan dengannya. Apa karena aku sudah mati rasa?

Tak pernah tebersit dalam pikiran untuk memulai suatu hubungan dengan laki-laki. Aku sudah cukup nyaman dengan duniaku saat ini. Entah kapan aku akan menemukan sosok itu, untuk saat ini aku hanya bertekad untuk menyelesaikan kuliah dan bekerja. Menjalani hidup dengan bebas tanpa tekanan dari siapa-siapa. 

**

"Pagi!"

Aku baru keluar kamar saat Jo menyapa. Kami berjalan bersisian menuju lift yang sama. Aku tidak tahu apa pekerjaan Jo, tapi setiap hari dia selalu memakai kemeja dan juga dasi dengan begitu rapi.

"Kamu hari ini mulai kerja di mana?" tanyanya. Mungkin karena melihatku memakai kemeja putih dan celana hitam. 

"Di PT Asfindo grup."

Kami pun masuk ke dalam lift bersamaan. Biasanya aku tak secanggung ini, apa karena kemarin Jo mengungkapkan perasaannya, ya?

"Nanti siang makan bareng, ya."

"Lihat nanti," jawabku.

Kami berpisah di parkiran. Anehnya kenapa aku tidak kesal seperti biasanya? Aku justru merasa bersalah dan canggung saat bertemu dengan Jo.

Aku tak begitu kesulitan saat hari pertama bekerja, hanya belum terbiasa saja dengan lingkungan baru yang harus berinteraksi dengan banyak orang. 

Untuk awal-awal memang rekan kerjanya masih terbilang asyik dan ramah. Entah kalau suatu saat nanti. Aku harus terbiasa dengan sifat dan watak orang yang berbeda denganku. Setidaknya aku harus berusaha tetap nyaman di mana pun tempatnya.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12.15. Aku baru sempat menyalakan ponsel sejak pagi dan langsung membuka pesan dari Imel.

"Miir, gimana hari pertama? Masih OK, kan?"

"Gue selalu OK. Lo tenang aja."

"Iyalah, namanya juga baru naik ke satu tangga pasti belom kerasa capeknya. Coba kalo udah naik dua puluh tangga, pegel dah, lo."

Aku ketawa. Perumpamaan yang sungguh di luar saklar.

Setelah membalas pesan dari Imel dengan emot jempol berderet, aku membuka pesan dari Joshua. 

"Gimana hari pertamanya?"

Aku yang semula malas membuka pesan darinya, kenapa kali ini malah merasa berbeda? Rasanya enggak enak kalau enggak dibalas, tapi ....

"Mir? Makan siang dulu, aku pesenin makanan lewat ojol, ya?"

Pesan dari Jo datang lagi, padahal yang awal saja belum dibalas. 

"Gak usah, aku beli dekat sini aja." Balasku.

"Oke, deh. Happy lunch, dear."

Aku tidak membalas lagi. Makin lama aku makin enggak beres.

**

Aku tak langsung pulang sore ini karena masih harus absen ke kampus. Setelah dari kampus aku mampir ke tukang fotokopi untuk mencetak beberapa dokumen dan juga file dari dosen.

Sembari menunggu berkasku selesai, aku melihat-lihat sekeliling. Di seberang jalan terdapat bangunan sekolah dasar swasta cukup terkenal di kota ini. Aku menajamkan mata ketika melihat Jo turun dari mobil dan masuk ke dalam bangunan itu. Apa dia bekerja sebagai pendidik di sana?

Aku berdiri agar bisa melihat lebih jelas, raut wajah Jo seperti sedang khawatir sehingga dia berjalan dengan terburu-buru. Aku baru ingin menyeberang, tapi Jo telanjur menghilang. 

"Udah, Mbak."

Aku kembali duduk, membayar pada tukang fotokopi dan memilih pulang.

**

Aku merasa aneh saat menyadari bahwa aku sudah berkali-kali mengecek kepulangan Jo sore ini. Entah sudah berapa kali aku membuka pintu kamarku dan memastikan apakah Jo sudah pulang atau belum.

Hingga lewat jam tujuh malam, Jo baru kelihatan. Aku pura-pura sedang menelepon saat kepergok olehnya.

"Nungguin aku, ya?"

Ish! 

"Udah makan malam? Bareng, yuk!"

Aku seperti terhipnotis. Bukannya kembali masuk ke dalam apartemen, aku malah mengikuti langkah Jo untuk masuk ke dalam lift dan turun ke restoran. Restoran sop iga menjadi menu pilihan Jo malam ini. Aku ikut saja karena memang belum makan sejak siang di kantor tadi.

"Berat gak hari pertamanya?" tanya Jo, saat kami sedang menunggu pesanan.

"Lebih berat ngerjain skripsi, sih."

Jo ketawa. "Kenapa gak fokus kuliah aja?"

"Pengen punya duit sendiri. Biar gak minta mulu ke mami sama papi. Mereka udah capek, udah waktunya istirahat di rumah, gak mikirin biaya hidup gue lagi."

"Good. Kamu masih muda, tapi pikiran kamu sangat dewasa."

Baru kali ini aku tersipu sama pujian dari Jo. 

"Aku pernah kenal sama wanita. Saat dia seumuran kamu, dia enggak sedewasa kamu. Yang dia tahu cuma gimana caranya bisa bersenang-senang, tapi enggak mau tahu perasaan orang yang berusaha membuat dia senang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status