Share

Salting

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2023-11-28 15:47:37

Aku kalau ketemu sekali dua kali memang masih berusaha seramah mungkin dengan menampilkan senyum palsu yang menawan, tapi kalau terus-terusan, ya gimana, ya? Gak bisa aku tu kalau pura-pura terlalu lama. Mau enggak mau harus menunjukkan sifat aslinya juga.

"Makan lagi aja, gak papa."

Mau selapar apa pun kalau makannya sambil dilihatin begini enggak bakal ketelen. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti makan sekalian.

"Kenapa? Kok, gak jadi makan?"

"Udah kenyang."

Dia manggut-manggut, lalu menyandarkan punggungnya di kursi.

"Kamu beda dari cewek-cewek yang aku temui sebelumnya. Biasanya mereka yang deketin aku, tapi kamu enggak. Emangnya aku kurang menarik, ya, di mata kamu?"

Please, aku paling enggak suka ditanyain hal begini. Kenapa Tuhan mempertemukan aku dengan laki-laki model begini?

"Bukan gak menarik, tapi emang bukan seleranya aja mungkin," jawabku.

"Jadi, aku bukan selera kamu?"

Aku meringis, "Iya mungkin."

"Emang selera kamu yang gimana?"

Aku mengatur napas. Melelahkan sekali.

"Yang kayak Jefri Nichol."

Jo ketawa, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Artinya aku kurang ganteng, ya?"

Aku hanya tersenyum.

"Mungkin kedengeran buru-buru, tapi sejak melihat kamu, aku tertarik sama kamu, Mir."

Tolong! Sekarang aku harus ngapain ini? Aku harus ngomong apa lagi? Apa aku harus baper? 

"Cringe, ya. Sory, tapi aku gak bisa basa-basi. Aku gak minta kamu balas perasaanku sekarang, aku cuma pengen kamu tahu aja. Kalau suatu saat aku makin terang-terangan, setidaknya kamu udah paham."

Aku cuma bisa diam seribu bahasa. Mana mungkin seorang laki-laki yang sudah punya istri dan anak mengutarakan perasaannya kepada wanita lain? Apa semua laki-laki memang begitu saat sedang jauh dari keluarganya?

Jo merogoh ponsel dari saku celana nya saat benda itu berdering. Sepertinya panggilan penting karena setelahnya Jo pamit pergi duluan.

Tinggal aku yang masih mematung dengan perasaan entah. Mendengar Jo mengutarakan perasaannya malah membuatku jadi kesal dan makin yakin kalau aku harus segera menjauh darinya.

Aku ingat saat masuk semester pertama ada satu mahasiswa yang mengutarakan perasaannya kepadaku. Saat itu aku langsung menolaknya dan membuat dia marah. Dia memfitnah dan menjadi orang pertama yang menyebarkan berita bahwa aku suka dengan sesama jenis. 

Sejak saat itu aku trauma dan selalu menjaga jarak dengan laki-laki. Hingga saat ini belum ada laki-laki yang bisa membuat jantungku berdebar saat berhadapan dengannya. Apa karena aku sudah mati rasa?

Tak pernah tebersit dalam pikiran untuk memulai suatu hubungan dengan laki-laki. Aku sudah cukup nyaman dengan duniaku saat ini. Entah kapan aku akan menemukan sosok itu, untuk saat ini aku hanya bertekad untuk menyelesaikan kuliah dan bekerja. Menjalani hidup dengan bebas tanpa tekanan dari siapa-siapa. 

**

"Pagi!"

Aku baru keluar kamar saat Jo menyapa. Kami berjalan bersisian menuju lift yang sama. Aku tidak tahu apa pekerjaan Jo, tapi setiap hari dia selalu memakai kemeja dan juga dasi dengan begitu rapi.

"Kamu hari ini mulai kerja di mana?" tanyanya. Mungkin karena melihatku memakai kemeja putih dan celana hitam. 

"Di PT Asfindo grup."

Kami pun masuk ke dalam lift bersamaan. Biasanya aku tak secanggung ini, apa karena kemarin Jo mengungkapkan perasaannya, ya?

"Nanti siang makan bareng, ya."

"Lihat nanti," jawabku.

Kami berpisah di parkiran. Anehnya kenapa aku tidak kesal seperti biasanya? Aku justru merasa bersalah dan canggung saat bertemu dengan Jo.

Aku tak begitu kesulitan saat hari pertama bekerja, hanya belum terbiasa saja dengan lingkungan baru yang harus berinteraksi dengan banyak orang. 

Untuk awal-awal memang rekan kerjanya masih terbilang asyik dan ramah. Entah kalau suatu saat nanti. Aku harus terbiasa dengan sifat dan watak orang yang berbeda denganku. Setidaknya aku harus berusaha tetap nyaman di mana pun tempatnya.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12.15. Aku baru sempat menyalakan ponsel sejak pagi dan langsung membuka pesan dari Imel.

"Miir, gimana hari pertama? Masih OK, kan?"

"Gue selalu OK. Lo tenang aja."

"Iyalah, namanya juga baru naik ke satu tangga pasti belom kerasa capeknya. Coba kalo udah naik dua puluh tangga, pegel dah, lo."

Aku ketawa. Perumpamaan yang sungguh di luar saklar.

Setelah membalas pesan dari Imel dengan emot jempol berderet, aku membuka pesan dari Joshua. 

"Gimana hari pertamanya?"

Aku yang semula malas membuka pesan darinya, kenapa kali ini malah merasa berbeda? Rasanya enggak enak kalau enggak dibalas, tapi ....

"Mir? Makan siang dulu, aku pesenin makanan lewat ojol, ya?"

Pesan dari Jo datang lagi, padahal yang awal saja belum dibalas. 

"Gak usah, aku beli dekat sini aja." Balasku.

"Oke, deh. Happy lunch, dear."

Aku tidak membalas lagi. Makin lama aku makin enggak beres.

**

Aku tak langsung pulang sore ini karena masih harus absen ke kampus. Setelah dari kampus aku mampir ke tukang fotokopi untuk mencetak beberapa dokumen dan juga file dari dosen.

Sembari menunggu berkasku selesai, aku melihat-lihat sekeliling. Di seberang jalan terdapat bangunan sekolah dasar swasta cukup terkenal di kota ini. Aku menajamkan mata ketika melihat Jo turun dari mobil dan masuk ke dalam bangunan itu. Apa dia bekerja sebagai pendidik di sana?

Aku berdiri agar bisa melihat lebih jelas, raut wajah Jo seperti sedang khawatir sehingga dia berjalan dengan terburu-buru. Aku baru ingin menyeberang, tapi Jo telanjur menghilang. 

"Udah, Mbak."

Aku kembali duduk, membayar pada tukang fotokopi dan memilih pulang.

**

Aku merasa aneh saat menyadari bahwa aku sudah berkali-kali mengecek kepulangan Jo sore ini. Entah sudah berapa kali aku membuka pintu kamarku dan memastikan apakah Jo sudah pulang atau belum.

Hingga lewat jam tujuh malam, Jo baru kelihatan. Aku pura-pura sedang menelepon saat kepergok olehnya.

"Nungguin aku, ya?"

Ish! 

"Udah makan malam? Bareng, yuk!"

Aku seperti terhipnotis. Bukannya kembali masuk ke dalam apartemen, aku malah mengikuti langkah Jo untuk masuk ke dalam lift dan turun ke restoran. Restoran sop iga menjadi menu pilihan Jo malam ini. Aku ikut saja karena memang belum makan sejak siang di kantor tadi.

"Berat gak hari pertamanya?" tanya Jo, saat kami sedang menunggu pesanan.

"Lebih berat ngerjain skripsi, sih."

Jo ketawa. "Kenapa gak fokus kuliah aja?"

"Pengen punya duit sendiri. Biar gak minta mulu ke mami sama papi. Mereka udah capek, udah waktunya istirahat di rumah, gak mikirin biaya hidup gue lagi."

"Good. Kamu masih muda, tapi pikiran kamu sangat dewasa."

Baru kali ini aku tersipu sama pujian dari Jo. 

"Aku pernah kenal sama wanita. Saat dia seumuran kamu, dia enggak sedewasa kamu. Yang dia tahu cuma gimana caranya bisa bersenang-senang, tapi enggak mau tahu perasaan orang yang berusaha membuat dia senang."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Om Bule   Part 30

    "Morning, Dear!" "Morning, Miss!"Aku masih mengucek mata saat membuka pintu apartemen. Joshua dan Joseph sudah tampak rapi dengan kemeja dan ... kue di tangan mereka. "Happy birthday, Miss!" Aku menekuk lutut, menjajarkan tinggi badan dengan Joseph sambil tertawa."Tapi, hari ini Miss Mira nggak ulang tahun," kataku."Daddy bohong, ya!" Joseph langsung melotot pada daddy-nya, begitu juga denganku.Sementara laki-laki yang sedang dalam pusat perhatian itu malah tertawa."Prank!' katanya.Aku tertawa ketika melihat Joseph berlari mengejar Joshua. Kubawa dua potong kue tadi ke atas meja dan memotongnya. Kupanggil dua manusia kembar beda usia itu ke meja makan dan menikmati potongan kue red velvet dengan toping buah strawberry diatasnya.Aku selesai lebih dulu dan pergi mandi, berganti baju, dan juga berdandan. Dua laki-laki yang duduk di sofa menungguku itu tampak asyik dan saling bercanda. Setelah siap, aku pun menemui mereka."Are you ready?" tanyaku."Yes, i'am ready!" Joseph ber

  • Pesona Om Bule   Part 29

    "Feeling gue mafia sebenernya tu malah Bastian, deh, Mel.""Sepemikiran!""Tapi, dia cuci tangan. Membuat orang lain terlihat seperti tokoh jahat untuk menutupi kejahatannya.""Sepakat!""Kasihan, ya, Bianca."Kali ini Imel menjawab. "Gak sepakat buat yang ini. Kasihan dari mana? Salah dia sendiri, kok, mau-maunya.'"Dia terpaksa kali, Mel.""Terpaksa karena duitnya.""Bisa jadi.""Lo tahu nggak, Mel? Bianca bilang setelah menikah bakal pindah ke Singapore. Dia bakal tinggal di sana sama Bastian dan Joseph.""Baguslah. Kalo mereka beneran ke Singapore kayaknya gue nggak bakal jadi babunya Bianca lagi.""Kalo bener Bianca keguguran karena ide dari Bastian, gue harus cari cara biar hak asuh Joseph turun ke tangan Joshua secepatnya. Gue takut Joseph kenapa-kenapa.""Kan, udah gue bilang Pak Bastian tu nggak suka anak-anak. Istrinya aja yang punya satu anak langsung diselingkuhin, diceraiin.""Ngeri juga, ya."Aku dan imel menunggu operasi sambil makan kuaci. Mataku sudah hampir terpejam

  • Pesona Om Bule   Part 28

    Aku masih mematung di tempat karena tidak tahu harus berbuat apa. Kalau aku pulang sekarang, Joseph masih harus minum obat satu kali lagi. Aku takut Bianca tak peduli dan Joseph tidak minum obat malam ini. Sebaiknya aku tunggu saja jam minum obatnya kemudian pulang.Aku ikut duduk di sofa, sedikit berjarak dengan Bianca. Namun, bisa kulihat dengan jelas bahwa wajah Bianca pucat dan kelihatan gelisah. Apa yang terjadi dengannya?"Bu, wajah ibu pucat sekali. Apa ibu sakit?" tanyaku.Bianca hanya menggeleng, tapi tangan kirinya memegang perut. Aku membelalak. Jangan-jangan?"Bu, sebaiknya kita pergi ke dokter. Saya takut Bu Bianca kenapa-kenapa."Aku mencoba mendekat, tapi Bianca menepis tanganku. "Tolong ambilkan air hangat dan obat saya di mobil."Aku mengangguk dan bergerak cepat. Bertambah lagi beban di kepalaku. Bukan hanya Joseph, tapi Bianca juga sakit sekarang. Lantas apa yang harus aku lakukan?Bianca merebahkan tubuhnya di sofa, tangan kirinya masih menempel diatas perut dan m

  • Pesona Om Bule   Part 27

    Aku masih mengeratkan pelukan sambil menatap pada pintu. Entah apa yang mereka bicarakan diluar, aku sangat penasaran dengan keputusan yang akan mereka ambil. Tak terasa isak tangis Joseph sudah tak terdengar, saat kulihat ternyata dia tertidur di pelukanku. Mungkin dia terlalu lelah karena menangis cukup lama.Aku meraih ponsel dan menelepon Imel, berharap dia tidak sedang dalam perjalanan. Namun, sepertinya Imel memang belum sampai di kosan karena panggilanku tidak dijawab olehnya. Kulihat lagi undangan pernikahan Bastian dan Bianca yang Imel kirim beberapa hari yang lalu, acara akan diselenggarakan tepat satu bulan lagi, pantas saja Bianca tak begitu peduli dengan Joseph dan sibuk pulang-pergi.Apakah ini bisa menjadi bukti di persidangan nanti? Jika Bianca terbukti akan menikah lagi, apakah peluang Joshua mengambil alih hak asuh Joseph akan menjadi lebih banyak?Joshua masuk dengan wajah tegang, sementara Bianca entah kemana. Dia duduk di sofa sambil mengusap wajahnya. Pelan-pelan

  • Pesona Om Bule   Part 26

    Aku menepikan mobil di sebelah motor Imel. Dia masih nongkrong diatas motornya, tak ikut masuk ke dalam."Udah mau lahiran?" tanyaku yang langsung dijawab dengan toyoran kepala."Yakaliii udah mau lahiran. Periksa doang kali. Bener, kan, apa kata gue? Dia hamil.""Kok, bisa dia nyuruh lo yang nganter?""Lo gak tahu, ya, kalo gue tuh babu dia di kantor? Jabatan gue staf administrasi, tapi semenjak tu nenek lampir dateng ke kantor, gue kudu nurut sama semua perintah dia. Lo bayangin betapa gilanya gue tiap hari ngadepin dia? Makanya gue pengen resign aja.""Maksud gue kenapa nggak sama Bastian gitu?""Gue aja disuruh tutup mulut. Aneh, kan? Hamilnya nggak sama Bastian kali.""Hust!" Sontak aku menutup mulut Imel. Mataku membelalak saat melihat Bianca sudah keluar dari klinik. Aku sontak menutup kaca mobil dan menunduk agar dia tidak melihatku. "Langsung ke rumah Bastian aja, ya, Mel," kata Bianca."Siap, Bu," jawab Imel.Saat suara motor Imel mulai menjauh, aku pun menyalakan mesin dan

  • Pesona Om Bule   Part 25

    Aku menepikan mobil di sebelah motor Imel. Dia masih nongkrong diatas motornya, tak ikut masuk ke dalam."Udah mau lahiran?" tanyaku yang langsung dijawab dengan toyoran kepala."Yakaliii udah mau lahiran. Periksa doang kali. Bener, kan, apa kata gue? Dia hamil.""Kok, bisa dia nyuruh lo yang nganter?""Lo gak tahu, ya, kalo gue tuh babu dia di kantor? Jabatan gue staf administrasi, tapi semenjak tu nenek lampir dateng ke kantor, gue kudu nurut sama semua perintah dia. Lo bayangin betapa gilanya gue tiap hari ngadepin dia? Makanya gue pengen resign aja.""Maksud gue kenapa nggak sama Bastian gitu?""Gue aja disuruh tutup mulut. Aneh, kan? Hamilnya nggak sama Bastian kali.""Hust!" Sontak aku menutup mulut Imel. Mataku membelalak saat melihat Bianca sudah keluar dari klinik. Aku sontak menutup kaca mobil dan menunduk agar dia tidak melihatku. "Langsung ke rumah Bastian aja, ya, Mel," kata Bianca."Siap, Bu," jawab Imel.Saat suara motor Imel mulai menjauh, aku pun menyalakan mesin dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status