Mayumi tidak pernah tahu bagaimana kehidupannya akan berjalan. Dia hanya selalu berharap bisa memiliki banyak uang supaya bisa meringankan beban ibunya. Dua tahun lalu hidupnya tercukupi karena sang ayah masih bertanggung jawab, tapi setelah ibu sakit-sakitan ayah pergi bersama Wanita barunya. Saat itu Mayumi benar-benar terpuruk karena harus menghidupi ibu dan dirinya sendiri. Segala hal telah Mayumi lakukan demi mendapatkan uang. Andai dulu tidak ikut ayah pindah ke sini, mungkin Mayumi tidak akan sesial sekarang.
Apakah kesetiaan orang akan diuji saat pasangannya sakit?Mayumi tidak menyalahkan ayah saat pergi bersama Wanita lain. Jika itu ayah kandungnya, tidak mungkin melakukan hal itu, bukan? Dan pada kenyataanya pria itu hanyalah ayah tiri yang kebetulan menikahi ibu saat menjadi turis di jepang. Pertemuan yang sangat konyol! Mayumi heran kenapa dulu ibu dengan mudahnya mau menerima pinangan pria itu yang pada akhirnya membawa kehidupan menyedihkan di negara orang.“Ada apa Mayumi?” tanya Hana.Diam-diam sudah sedari tadi Hana memperhatikan putrinya yang sedang melamun itu. Sejak pulang, Mayumi lebih banyak melamun dan suka menyendiri.Mayumi memutar posisi duduknya menghadap ibunya. “Tidak ada apa-apa.”Hana meraih satu kursi lantas mendudukinya. “Bagaimana dengan pekerjaan kamu?”Mayumi tersenyum tipis. Ia membungkukkan badan lalu meraih kedua tangan ibunya. “Tentu saja baik-baik saja. Pekerjaanku lancar.”“Maaf ibu merepotkan kamu. Kalau saja ibu tidak menikah ….”“Shht!” Mayumi mendesis dan menggeleng. “ Tidak perlu membalas hal itu lagi. Lupakan tentang apa yang pernah terjadi.”Sudah cukup lama pria itu meninggalkan ibu dan dirinya. Tidak penting juga sebenarnya, hanya saja Mayumi merasa kecewa karena dengan ibunya menikah lagi membuatnya tersesat di negara orang dan tidak bisa kembali pulang. Dan perlu diketahui, mencari pekerjaan di tempat asing itu sangatlah susah. Belum lagi mereka akan mempertanyakan tentang wajah Mayumi yang khas orang Jepang.Selesai mengobrol tidak jelas dan sang ibu, Mayumi memutuskan untuk pergi. Ia tidak mau terus-terusan menganggur seperti ini. Ketika sampai di luar kompleks perumahannya, Mayumi berjalan menyusuri trotoar yang ramai. Tidak peduli sejauh apa berjalan, setidaknya hal ini mempermudah untuk mendapatkan informasi pekerjaan. Pikirnya begitu.“Pesangonku hanya cukup untuk makan sampai minggu depan. Aku harus jalan kaki mencari info pekerjaan.”Sampai di sebuah restoran sederhana di pinggir jalan, Mayumi memantau keadaan. Dia berjinjit mengintip keadaan di dalam sana yang cukup ramai.“Aku coba masuk saja,” celetuk Mayumi.Sampai di dalam medekati meja kasir, Mayumi dihampiri salah satu pelayan. Mayumi yang celingukan seperti orang kebingungan membuat mereka—para pelayan—penasaran.“Ada yang bisa kami bantu?”Mayumi berdengung dan menggaruk tengkuknya. Ia gugup dan ragu untuk bicara.“Em, maaf, apa ada lowongan pekerjaan?” pertanyaan itu lolos dari mulut Mayumi.Dua pelayan yang berada di dekat Mayumi saling pandang beberapa saat sebelum akhirnya memasang wajah datar.“Maaf, di sini tidak ada lowongan pekerjaan.”Mayumi tersenyum getir lalu berbalik badan dan pergi. Entah kenapa dua pelayan itu mendadak berwajah datar dan pasi setelah Mayumi menjelaskan tujuannya datang ke sini.“Apa ada yang salah dengan wajahku?” gumam Mayumi seraya menepuk-nepuk wajahnya untuk memastikan.Mayumi mendengkus dan mengentak kaki dengan kesal, membuat rambutnya yang dikuncir kuda bergoyang. Kalau seperti ini, Mayumi akan kesusahan mencari pekerjaan di sini, selain tidak memiliki teman, wajah asing juga semakin menyulitkan.“Sial!” umpatnya sambil menendang batu kerikil di jalanan.“Hei! Lepaskan! Jangan main-main kamu!”Mayumi mendongak dan terksesiap Ketika mendengar suara seseorang. Menoleh ke sana sini, akhirnya Mayumi menemukan seseorang yang sedang adu mulut di seberang jalan. Satu orang Wanita terus mengoceh sambil menarik paper bag dan satu orang berjas parasut juga tengah menari paper bag itu itu juga.Pikiran Mayumi sudah bisa menebak apa yang terjadi di sana. Dengan cepat, Mayumi berlari menyeberang jalan, dan sampai di sana, dengan cepat ia mengangkat kaki lalu menendang pria itu hingga tersungkur.“Apa yang kamu lakukan!” hardik Mayumi sambil mengulurkan satu tangan untuk mengunci Wanita paruh baya yang berdiri di belakangnya. “Kamu mau merampok?”Pria itu berdiri seraya mendecih. Ia mengibas dan menepuk jaketnya lantas mengerutkan bagian bibir dan hidung seperti menunjukkan sebuah kekesalan pada Mayumi,“Tidak usah ikut campur kamu!” sentak pria itu.Tanpa basa-basi dan banyak omong, saat Pria itu hendak maju, Mayumi sudah lebih dulu melayangkan sebuah tendangan tepat mengenai selakangan pria itu. Mayumi tidak berpikir akan melakukan hal itu, ia hanya spontan saja hingga kedua matanya sampai tertutup rapat.“Sialan kamu!” umpat pria itu.“Hei awas!” ibu paruh baya itu menarik Mayumi mundur karena takut pria itu akan membalas.Namun, sebelum pria itu berhasil maju, beberapa orang datang untuk membantu. Pria itu langsung diamankan dan di bawa ke tempat yang berwajib.“Nyonya tidak apa-apa?” tanya Mayumi sambil memeriksa keadaan Wanita itu.“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Terima kasih.”Mayumi bernapas lega. Meski napasnya masih naik turun tidak karuan, tapi sekarang sudah merasa aman. Mayumi pikir orang-orang akan acuh dan tidak ikut membantu, tapi ternyata masih ada yang peduli.“Lain kali hati-hati, Nyonya. Di kota rawan kejahatan,” ujar Mayumi sambil membantu mengambil barang-barang di dalam paper bag yang sempat berjatuhan. Mayumi juga melihat kalau tas ibu itu putus di bagian talinya.“Apa ada yang hilang?” tanya Mayumi sambil mengulurkan paper bag besar itu.Dia menggeleng. “Tidak. Hanya tanganku sedikit luka. Sepertinya pria itu sempat mencakarku.”“Oh!” Mayumi membulatkan mata dan melihat memang ada dua luka bekas kuku di bagian lengan kiri. “Apa sebaiknya ke rumah sakit?”“Tidak usah,” Wanita itu tersenyum. “Sekali lagi terima kasih sudah membantuku, aku tidak tahu apa yang terjadi kalau kamu tidak datang tadi. Kamu sanga berani.”Mayumi langsung tersipu malu.“Em, kalau begitu, sebaiknya aku pergi,” ucap Mayumi sambil mengangkat lengan dan mengacungkan ibu jari ke arah belakang. “Aku sedang buru.”“Tunggu dulu!” Wanita itu menarik tangan Mayumi, lalu merogoh tasanya seperti hendak mengambil sesuatu. “Ini untukmu.”Mayumi menaikkan kedua alisnya saat melihat lembaran uang kertas itu. Itu banyak dan bisa ia gunakan untuk makan satu bukan.“Oh, tidak usah. Tidak perlu seperti ini. Nyonya baik-baik saja, saya sudah senang.” Mayumi membungkukkan badan dan menganggukkan kepala.” Wanita paruh baya itu tersenyum melihat masih ada Wanita muda yang sang sopan di jaman sekarang. Sebelum Mayumi pergi, Wanita itu memanggilnya lagi. Saat Mayumi menoleh, buang uang yang ia lihat.“Ini kartu namaku. Kalau kamu butuh sesuatu kamu bisa menghubungi nomor yang tertera.”Mayumi tertegun melihat benda persegi pipih itu, ia kemudian tersenyum dan menerimanya.Mayumi kembali berjalan seperti orang hilang lagi. Ia bingung harus mencari pekerjaan di mana lagi sementara hari semakin siang. Ketika ia beristirahat duduk di kursi Panjang, Mayumi teringat kembali dengan uang yang ada di dalam koper.“Ini akan menjadi milik kamu kalau kamu mau menjadi istriku.”Uang itu sangat banyak dan membuat liur ingin menetes, tapi syarat yang dilontarkan juga sebanding dan membuat siapa pun harus berpikir ulang sebelum memutuskan.“Cih! Lebih baik aku tidak mendapatkan uang itu dari pada aku harus menikah dengan kamu.”Keputusan itu membuat Mayumi pada akhirnya pergi dari rumah besar itu tanpa membawa uang sepeser pun.***Sampai malam hari, Mayumi tak kunjung menemukan tempat kerja. Dia sampai kelelahan dan lupa makan. Tubuhnya yang lemas, sudah berkeringat dan terasa sangat lengket. Jika ada yang tanya kenapa tidak melamar pekerjaan di tempat yang lebih pasti? Misalnya perkantoran, pabrik atau sejenisnya? Maka Mayumi akan menjawab. “Aku datang kesini tidak membawa apa pun selain perlengkapan resmi dan pakaian.”Selain itu, Mayumi hanya lulusan sekolah menengah atas yang memang akan kesulitan untuk masuk ke tempat perkantoran. Dan itu sangat mustahil. Sungguh bodoh!“Sekarang harus apa?” desah Mayumi.Mayumi memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam lalu menghadap ke langit. Ia lihat tidak begitu banyak bintang di atas sana. Mungkin sedikit mendung.Sekitar pukul Sembilan malam, Mayumi memutuskan untuk pulang. Entah sampai kapan Mayumi membohongi ibunya tentang dirinya yang sebenarnya sorang pengangguran.“Aku akan jelaskan nanti,” celetuk Mayumi sambil beranjak.Di tempat lain, orang yang kemarin
Sudah sekitar satu minggu, Frans tidak kembali ke rumah keluarga besarnya. Dia memilih tinggal di rumah warisan kakeknya yang jauh dari keramaian. Dia hanya tinggal bersama para pelayan dan pengawalnya saja. Frans turun dari mobil di sambut dua pengawal rumah. Ketika sudah berdiri sambil menarik kemejanya lebih rapi dan menyugar rambutnya, Frans meminta dua orang itu untuk segera menyingkir. Setelah itu, Frans berkedip meminta Leo dan Tom berjalan di belakangnya.Sampai di depan anak tangga menuju pintu masuk, Frans berdiri sambil mendongak memandangi bangunan rumah di hadapannya itu.“Untuk apa juga aku datang ke sini?” decak Frans. “Cih, bukankah sudah ada putra kesayangan juga?”Frans menarik napas lalu menaiki tangga bersamaan dengan napasnya yang berembus cepat. Suara tapak sepatunya bergema membuat suasana mendadak tegang dan tidak nyaman bagi dua orang yang ada di belakang Frans. Mereka tidak yakin kalau Tuannya sudah datang ke rumah ini, karena biasanya akan ada perdebatan.D
Di ruang tamu rumahnya, Mayumi sedang duduk menghadap ke arah jendela yang terbuka seraya bersandar pada dinding sofa. Dua matanya yang indah tengah menatap bunga mawar yang baru saja mekar di luar sana. Dahannya yang sebesar jari kelingking tampak bergoyang-goyang saat angin melintas.Mayumi mengagumi keindahan itu, meski angin terus menerpanya tapi bunga itu tetap berdiri kokoh. Harusnya Mayumi bisa sekuat itu, tapi bagaimana jika angin itu lebih kencang? Siapa yang akan sanggup berdiri mempertahankan posisinya?Mungkin hak itu yang sedang Mayumi rasakan saat ini. Tidak memiliki teman, tidak memiliki pekerjaan, sementara kebutuhan seolah mengejar-ngejarnya.“Kamu tidak kerja hari ini?”Suara lembut dan lebah dari arah belakang membuat Mayumi spontan menoleh. Mayumi tersenyum lantas mempersilakan sang ibu ikut duduk. Sebenarnya ibu sudah membaik, beliau sering sakit hanya saat belum bisa melupakan sang suami yang tega pergi bersama Wanita lain. Saat itu ibu sangat terpukul dan sering
Mayumi sudah tersenyum getir sedari tadi. Dia merasa tidak nyaman dalam situasi seperti ini. Tatapan Frans yang aneh, juga membuat Mayumi ingin segera angkat kaki saat ini juga. Namun, bukan itu tujuan Mayumi. Mayumi datang untuk menemui seseorang yang pastinya bukan Frans. Lalu, ada hubungan apa di antara Frans dan Nyonya Sarah? Kenapa bisa satu meja?Berbagai macam pertanyaan mulai muncul.“Kamu baru datang?” tanya Sarah.Mayumi mengangguk. Ia masih mencoba untuk tersenyum mencoba bersikap biasa saja. Ketika matanya sempat melirik ke arah Frans, Mayumi sedikit membelalakkan mata lalu menunduk dengan cepat. Tatapan Frans dan senyumnya yang miring, membuat Mayumi bergidik ngeri.“Apa kalian sudah saling mengenal?” tanya Sarah.Mayumi mengangkat wajah, ia tatap lebih dulu Nyonya Sarah lalu perlahan menatap Frans. Ia kemudian menelan ludah, saat lagi-lagi Frans tersenyum padanya.“Memang siapa dia? Wajahnya sangat aneh!” cibir Frans. Ia mendecih dan menjulingkan mata lalu meraih segelas
Mayumi ragu saat ingin mengatakan tentang pekerjaan yang ia dapatkan pada ibunya. Dan juga, jika Mayumi memang bersedia menerima pekerjaan itu, maka ia harus bersedia pindah ke rumah mereka. Apa yang harus Mayumi katakana? Jika Mayumi pergi, ibu akan sendirian di rumah.“Apa ada yang salah?” tanya Hana. Hana duduk di samping Mayumi. Dari raut wajah Mayumi yang termenung, Hana pikir ia gagal mendapatkan pekerjaan.“Tidak apa kalau kamu belum mendapatkan pekerjaan,” ucap Hana sambil mengusap lengan Mayumi.Mayumi spontan menoleh, ia tatap wajah ibunya lalu tersenyum. Sebuah senyum yang manis dan tulus, tapi menunjukkan ada sesuatu kebimbangan di dalamnya.Mayumi menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara. “Aku sudah mendapatkan pekerjaan,” ucapnya.“Sungguh?”Reaksi antusias itu membuat Mayumi tersenyum getir. Ia senang, tapi bagaimana dengan ibu yang akan di sini sendirian?Hana merasa ada yang aneh karena putrinya itu tidak menunjukkan kalau sedang senang mendapatkan pekerjaan. B
Mayumi tidak menyangka kalau di rumah ini begitu banyak pelayan. Mungkin ada sekitar lima pelayan Wanita dan dua pelayan pria. Jumlah pelayannya tidak jauh berbeda dari rumah yang pernah Mayumi kunjungi di hutan pinus waktu itu. Mereka sudah dibagi tugas masing-masing sementara Mayumi masih belum tahu harus apa pagi ini karena sejak semalam ia belum bertemu dengan Nyonya Sarah. Mereka orang sibuk yang pastinya akan tidak ada waktu untuk sekedar menyapa pelayan baru. Its okay, itu tidak masalah untuk saat ini, yang terpenting sudah mendapatkan pekerjaan.“Kamu pelayan baru?” tanya seorang Wanita yang baru saja ke luar dari dalam kamar mandi. Wanita itu kemungkinan berumur tiga puluh tahunan. Dua pelayan berada dalam satu kamar dengan Mayumi.Mayumi mengangguk. “Salam kenal.” Kemudian Mayumi membungkukkan badan memberi hormat perkenalan.Dia tersenyum lalu mengulurkan tangan. “Aku Emely. Siapa namamu?”Mayumi tersenyum dan segera membalas jabatan tangan itu. “Aku Mayumi.” Sekali lagi Ma
Sampai semuanya berangkat dengan keperluan masing-masing, Frans belum juga datang. Jeff yang mulai kesal hanya bisa berdecak usai menyelesaikan sarapannya.“Anakmu itu memang benar-benar keterlaluan!”Sarah melengos membuang mata jengah. “Dia kan memang begitu. Tenanglah, nanti juga sampai di sini.”“Untuk apa paman memaksa kalau memaksa? Frans itu pria yang susah diatur!” Drako ikut bicara.“Diamlah!” Rachel menyikut lengan putranya itu supaya tidak ikut bicara.Drako langsung mendengkus kemudian meraih tasnya dan menyeret lengan Jessy. Dia pergi begitu saja tanpa pamit. Jessy yang kala itu ingin menghabiskan minumannya jadi urung, untung saja gelas yang sempat ia pegang tidak terjatuh.“Dia juga ingin bicara, kenapa kamu melarangnya,” ucap Johny. “Drako juga bicara sesuai fakta kan? Kalau Frans memang susah diatur.”Jeff meneguk habis minumannya lalu beranjak. Sesungguhnya ia lelah sekali menghadapi iparnya yang tidak tahu diri itu. Dia sudah menumpang, tapi bicara seolah dia tuanny
Mayumi masih melongo beberapa detik sebelum kemudian Frans membuatnya terjungkat lagi. Frans menjentikkan dua jarinya tepat di depan wajah Mayumi hingga Mayumi mundur dan bergidik.“Ka-kamu?”“Ambil barang-barang di mobil!” perintahnya sambil melipat kedua tangan di depan dada. Mayumi menaikkan satu bibirnya dan membuang mata jengah. Ia seolah enggan atau menolak perintah dari Frans.“Kamu tuli?” Frans sedikit mencondongkan badan hingga wajahnya begitu dekat dengan wajah Mayumi.Mayumi mengerutkan dahi lalu menarik wajah mundur hingga membuat badannya mencondong ke belakang. “A-aku, aku bekerja untuk Nyonya Sarah di sini. Kamu, ka-kamu tidak berhak memberi perintah.”Tuk!Frans mengetuk ujung kepala Mayumi menggunakan siku jarinya, membuat Mayumi mengaduh.“Apa yang kamu lakukan?” hardik Mayumi dengan wajah merengut.“Aku yang membayar kamu di sini. Sekarang ambilkan barang-barangku di dalam mobil.”Frans tersenyum tipis, tapi wajahnya tampak kesal. Bukan kesal karena marah, tapi ent