Share

Bagian 6

Sampai malam hari, Mayumi tak kunjung menemukan tempat kerja. Dia sampai kelelahan dan lupa makan. Tubuhnya yang lemas, sudah berkeringat dan terasa sangat lengket. Jika ada yang tanya kenapa tidak melamar pekerjaan di tempat yang lebih pasti? Misalnya perkantoran, pabrik atau sejenisnya? Maka Mayumi akan menjawab. “Aku datang kesini tidak membawa apa pun  selain perlengkapan resmi dan pakaian.”

Selain itu, Mayumi hanya lulusan sekolah menengah atas yang memang akan kesulitan untuk masuk ke tempat perkantoran. Dan itu sangat mustahil. Sungguh bodoh!

“Sekarang harus apa?” desah Mayumi.

Mayumi memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam lalu menghadap ke langit. Ia lihat tidak begitu banyak bintang di atas sana. Mungkin sedikit mendung.

Sekitar pukul Sembilan malam, Mayumi memutuskan untuk pulang. Entah sampai kapan Mayumi membohongi ibunya tentang dirinya yang sebenarnya sorang pengangguran.

“Aku akan jelaskan nanti,” celetuk Mayumi sambil beranjak.

Di tempat lain, orang yang kemarin memaksa Mayumi untuk menjadi istri palsunya sedang menikmati minumannya di temani beberapa Wanita. Luka di bagian perut bawahnya belum sembuh, tapi dia sudah berani pergi lagi. Dua penjaganya yang ikut, sedari tadi sudah memantau penuh rasa was-was. Jika tuannya sudah berkemauan, tidak akan ada yang bisa menolaknya.

Frans duduk sambil bersandar, sementara dua Wanita sedang bergelayut manja sambil melikkan badan penuh rayuan, dan dua Wanita lain sedang sibuk bergantian menuang wine ke dalam gelas.

Cih! Aku tidak percaya ada Wanita yang berani menolakku!

Frans sedang bicara sendiri di dalam hati. Ia teringat saat Mayumi dengan tegas menolak uang di dalam koper yang ia tawarkan kemarin malam. Uang itu sangat banyak dan mungkin akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sampai bertahun-tahun.

Wanita macam apa dia? Semua Wanita akan tergila-gila dengan uang bukan?

Frans mengulurkan gelas, meminta dua Wanita itu menuangkan kembali winennya. Biasanya Frans menyukai situasi seperti ini. Di kelilingi dan di layani banyak Wanita bukankah itu sangat menyenangkan? Sialnya hal ini sekarang terasa hambar. Wanita itu tak bisa menghiburnya. Frans merasa bosan dan muak. Wanita yang terus bergelayut dan mengusap dadanya bahkan membuatnya risi.

“Brengsek!” umpatnya tiba-tiba, membuat Wanita itu tersentak kaget.

Dengan cepat Frans berdiri usai melempar gelasnya di atas meja. Wanita itu ingin merayu lagi, tapi dengan cepat Frans menepisnya. Mereka berempat hanya bisa melongo tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Tunggu, Tuan!” Leo dan Tom berlari mengejar ke luar melewati kerumunan para pengunjung yang sedang berjoget ria.

Frans tidak menoleh dan ia terus berjalan hingga sampai di halaman. Sampai di sana, Frans berdiri bersandar pada tiang listrik seperti orang gila. Dia merogoh sakunya, merih sebungkus rokok. 

“Apa yang terjadi, Tuan?” tanya Leo.

Leo dan Tom saling pandang sesaat.

“Aku hanya bosan di dalam sana,” ujar Frans.

Frans menggapit ujung rokok menggunakan bibirnya, sementara dua tangannya mula memantik korek api. Kebulan asam mulai mengudara dan saat puntung rokok itu tertarik, desahan pun terdengar.

Leo dan Tom masih belum mengerti kenapa Tuannya mendadak aneh malam ini. Seperti tidak ada gairah untuk menikmati pesta kelab dengan para Wanita seksi.

Frans masih bersandar pada tiang listrik sambil mengamati kendaraan yang berhalu lalang. Ini seperti bukan Frans si pewaris kekayaan keluarga Velton. Keluarga terkaya ke tiga di negara ini. Untuk posisinya saat ini yang berdiri di pinggir jalan seperti itu, bahkan kemungkinan tidak akan ada yang tahu kalau di seorang anak konglomerat.

Tunggu dulu!  Kalau pun Frans berpenampilan mewah dan elegan, belum tentu juga orang akan tahu mengenai keluarganya. Frans selalu menjauh dari keluarganya dan berharap mereka tidak pernah menyebut siapa didirinya. Tujuan utama hanyalah karena Frans ingin ke mana-mana terasa nyaman. Dan itu memang berhasil.

“Tuan, apa sebaiknya kita masuk mobil saja?” tawar Leo. “Di sini sangat dingin.”

Frans membuang puntung rokok ke jalanan. Ia berbalik lalu menginjak puntung rokok tersebut sampai mati, lalu melenggak menuju mobilnya terparkir jauh di sana. Dua pengawal yang berjalan di belakangnya, diam-diam saling menyikut karena masih heran dengan sikap Tuannya yang mendadak berubah.

Di dalam perjalanan, suasana mobil tampak sunyi hanya terkadang Leo dan Tom berbincang yang entah membahas apa, Frans tidak terlalu peduli. Sampai kemudian, Frans yang semula diam, duduk sambil menyandarkan kepala ikut menimbruk.

“Menurut kalian apa semua orang suka dengan uang?”

Leo dan Tom lagi-lagi saling tatap beberapa detik. Dari kaca spion yang menggantung di atas mereka berdua melihat tuannya itu.

“Apa maksud Tuan?” tanya Tom.

Frans mendesah diikuti senyum tipis. “Aku hanya masih heran, jaman sekarang masih ada orang yang menolak uang.”

Dan sekali lagi kalimat itu sangat membingungkan. Leo dan Tom memiringkan kepala seperti sedang menebak-nebak. Mobil bahkan berjalan melambat karena mereka berdua sempat saling lirik lagi.

“Aku tebak semua Wanita itu penggila uang. Lihatlah para Wanita penggoda tadi, apa pun akan dilakukannya demi uang. Dan ingat, mantan kekasihku yang gila itu, dia juga menggila uang.”

Apa ini tentang Wanita kemarin malam?

Leo dan Tom mulai menemukan maksud dari kalimat tuannya itu. Wanita cantik itu dengan tegas menolak uang yang diberikan oleh Frans.

“Apa ini tentang Wanita malam itu?” tanya Leo.

Frans berdecak “Memang siapa lagi! Tentu saja wanita itu. Dia dengan bodohnya menolak uang sebanyak itu dan memilih pergi bahkan tanpa meminta bayaran lagi selain ongkos untuk pulang.”

Frans kini tertawa getir. Baru kali ini dalam hidupnya ada Wanita yang menolak permintaan dan juga pemberiannya. Kebanyakan Wanita di luar sana akan langsung mengangguk jika ini bersangkutan dengan Frans. Frans pria tampan yang selalu dikagumi siapa pun, apa lagi para karyawan di kantornya. 

Di tengah perjalanan, ponsel Tom berdering. Tom dengan cepat memastikan siapa yang alam-malam begini memanggilnya. Dan saat satu nama tak asing terpampang jelas, dengan cepat Tom mengangkatnya.

“Iya, Tua. Ya benar. Tuan Frans sedang bersama kami.”

Kening Frans berkerut mendengar suara Tom.

“Baik, Tuan. Kami segera ke sana.”

Dan kening Frans semakin berkerut. “Siapa, Tom?” tanyanya.

“Em, anu, Tuan …”

Frans berdecak dan meraup kasar wajahnya. “Pasti si tua bangka itu kan?”

Tom mengangguk.

“Untuk apa dia memintaku datang?”

“Saya kurang tahu, Tuan. Mungkin masalah penting.”

“Aku malas datang ke rumah itu. Kamu tahu di sana banyak pendusta kan?”

Frans paling malas jika berurusan dengan keluarga besarnya. Tidak ada yang bisa di percaya di sana kecuali sang ibu dan kakeknya yang sekarang sudah tiada.

“Kita lihat saja, apa maunya si tua bangka itu.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status