LOGIN“Ma–maafkan aku!” Danira buru-buru melepaskan pelukan Bimo yang terbilang erat dan sepertinya Bimo juga enggan melepaskan pelukannya.“Sssttt, jangan menangis lagi. Ada apa sebenarnya?” Bimo tanpa sadar mengusap air mata yang jatuh di pipi Danira.Kisah kasih di sekolah dan cintanya yang belum pernah tersampaikan.“Aku nggak apa-apa, Bim,” Danira berbalik dan ingin menyembunyikan wajahnya. Dia terlihat malu-malu saat berhasil dengan Bimo.“Aku akan antar, kamu mau kemana?” dengan senang hati Bimo menawari diri untuk mengantarkan Danira yang terlihat ingin pergi dan menghindarinya.“Nggak usah, Bim. Aku nggak apa-apa. Aku baik-baik saja. Lebih baik kamu pergi sekarang,” sepertinya Danira merasa tidak enak dan masih sedikit memiliki hati nurani untuk tidak melakukan aksi yang bisa dibilang suatu hal yang tidak baik.“Kenapa? Kau benar-benar nggak ingin ketemu denganku? Atau kamu memang nggak ingin berbicara denganku?” jawab Bimo terlihat tidak suka dengan jawabannya.Danira menatap Bimo
Bimo baru saja berpikir akan segera ke kantor dan menunggu telepon istrinya, namun tatapannya beralih saat mobilnya melintas dan melihat Danira sedang berada ditengah jalan. Dia terlihat sedang bertengkar dengan dua orang laki-laki yang terlibat tidak bersahabat dengannya.“Aku nggak tahu dan nggak mau ikut campur urusan Roni dan mama Elly,” suara Danira begitu berat saat dia menentang, dia sudah bertekad tidak akan lagi mengurus keluarga.Baginya ucapan sang ibu sudah sangat menyakitkan. Bagaimana bisa seorang ibu membiarkan anak perempuannya yang menanggung sedangkan adik laki-lakinya tidak harus melakukan apapun karena dia lebih muda.“Gimana bisa begitu, si Elly dan Romi bilang semua urusan keuangan kamu yang atur. Kami hanya menagih saja. Semua urusan tagihan kau yang akan membayar,” cetus salah satu dari mereka terlihat tidak suka dengan penolakan yang Danira lakukan.“Kepala rumah tangga itu mama, mana mungkin aku. Aku ini hanya anak perempuannya saja. Kalau dari apapun harusn
“Nggak masuk akal! Memangnya siapa dia? Seenaknya saja mengatur. Ingat San … kau ini sudah menikah dan punya anak!” Batin Santi sedang megap-megap seperti ikan kekurangan air.Perlakuan Baga yang berbeda. Saat dia terluka seperti itu pun dia seperti tidak peduli dengan lukanya. Masih sempat melakukan rayuan gombalnya.“Hei, kamu mendengarnya kan, Sayang?” Santi mengerutkan kening saat mendengar Baga berbicara hal yang tidak masuk akal lagi, “kamu mendengarnya kan? Jika aku menghubungi berarti aku sangat merindukanmu. Kau harus menjawabnya!” cengkraman Baga pada salah satu tangan Santi membuat dia mengalihkan pandangannya pada laki-laki bertubuh tinggi besar tersebut.‘Agh, iya, iya!” Santi yang ditekan dengan cengkraman cukup kuat terpaksa menjawab dengan cepat.“Aku akan meminta orang-orangku mengantar!” ucap Baga sedang memberikan perintah pada dua orang yang sempat menyeretnya tadi.“Nggak perlu! Aku bisa sendiri!” kata Santi berusaha menolak.“Dengarkan aku,” Baga mendekat lagi da
“Sepertinya aku membuat kesalahan, bagaimana ini? Mas Bimo pasti akan mengamuk!” Santi bingung dengan yang akan terjadi nanti. Dia bahkan tidak pernah memperkirakan akan ada hal yang seperti itu. Semua terjadi begitu saja. Tidak ada kepastian dari seorang Baga. Sepertinya laki-laki itu tidak takut pada apapun. “Bagaimana? Kalau setuju dengan panggilanku tadi?” Santi tetap diam dan benar-benar tidak ingin beradu argumen dengan laki-laki yang tidak dikenalnya itu. “Baiklah tidak apa-apa. Aku akan angkat kamu setuju!” wajahnya semakin mendekat ke arah Santi. Santi memundurkan tubuhnya agar laki-laki itu tidak menggapai wajahnya. “Anakku sedang dalam antrian aku harus segera ke sana,” ucap Santi mencoba bernegosiasi. “Antrian?” “Aku baru saja melahirkan. Mama mertuaku sedang mengantri untuk mengecek kondisi anakku,” seperti orang bodoh Santi malah menjelaskan tujuannya datang ke rumah sakit, “jadi aku mohon biarkan Aku pergi!” Santi masih mencoba dengan berbagai cara supaya dia
Laki-laki itu menatap tajam pada pintu kemana Santi sedang berganti baju. Tidak memerlukan waktu lama Santi sudah keluar mengenakan baju baru.“Kau benar-benar sangat cantik!” Santi benar-benar terkejut, saat dia membuka pintu laki-laki itu sudah berdiri di hadapannya. Santi mundur satu langkah namun terantuk pintu ruangan tadi. Laki-laki itu dengan sikap tangan Santi sampai tidak sadar tubuhnya sudah berada dalam pelukan seseorang. “Apa-apaan ini!! Apa maksudnya ini?” Santi mendorong tubuhnya perlahan, namun pinggangnya tetap ditahan dari belakang hingga dia benar-benar tidak bisa menghindari atau kabur dari cengkraman tangan laki-laki itu. “Terima kasih sudah menolongku!” ucapannya. Suara bariton langsung menyapa telinga Santi.Tatapannya sangat tajam, Santi bahkan tidak bisa menghindarinya.“Aku, aku sudah bilang, aku nggak perlu ucapan terima kasih. Aku sudah nggak mempermasalahkan itu!” kata Santi, dia memang hanya menganggap semua hanya sesuatu yang biasa saja.Tidak ada yang
“Maafkan Aku, tapi aku benar-benar nggak bisa ke tempat orang itu. Aku harus segera pergi, Apa kau tidak melihat noda di pakaianku?” Arah mata perawat tadi langsung mengikuti tangan Santi.Warna kopi yang sudah membuat bajunya terlihat benar-benar kotor.“Tolong katakan saja, aku benar-benar minta maaf kalau aku nggak bisa bertemu denganmu. Kalau dia merasa aku harus bertanggung jawab, aku sudah membantunya memberikan perawatan barusan.” Santi sudah menolaknya dengan tegas.Dia tidak ingin berurusan dengan orang yang akan mengganggu ketenangannya.“Tapi, tuan itu bilang, dia ingin mengucapkan terima kasih padamu!” tambah suster tadi. Semakin membuat Santi tadi tidak nyaman.“Katakan Saja Aku tidak mau, aku harus segera mencari baju ganti!” Santi menolaknya dan segera berbalik badan, namun sebelum langkahnya menjauh beberapa orang menghadang Santi.“Maafkan, kami, Nona, tuan ingin bertemu dengan anda juga berbicara!” salah seorang berbicara pada Santi.“Aku? Siapa?” Santi merasa tid







