Hasrat yang sudah tidak tertahankan yang Devan rasakan, sesuatu di dalam tubuhnya minta dikeluarkan. Tubuhnya yang gempal berdiri dan berjalan ke samping rumah, melepas kancing celana jins yang ia kenakan kemudian menurunkan resleting mengeluarkan pusaka miliknya. Kaki Devan maju selangkah tubuhnya hampir menghimpit tembok berusaha menyembunyikan pusaka yang menjulur di balik celananya. Air kencing membasahi tembok rumah, tak perduli itu rumah siapa yang penting Devan segera kencing. Lalu kembali ke tempat duduk semula sambil meraih bungkus rokok di atas meja.
Bungkus rokok kosong yang bergambar terselip gambar leher bolong itu kosong. Devan menarik nafas panjang sambil meremas bungkus lalu melemparnya sembarangan. Hanya ditemani puluhan bahkan ratusan nyamuk yang bergantian mencicipi darahnya Devan terus menunggu berharap ada manusia datang memberi kabar soal Devi. Berkali-kali menepuk nyamuk yang sudah gendut mengisap darahnya, gatal di kaki dan
Dada Rangga sedikit bergetar tapi masih mampu mengusai emosi membuatnya tak begitu menampilkan kepanikan. Tak ada pilihan lain selain menatap wajah kakaknya yang mudah tersulut emosi. “Wow ... kejutan apa ini?” kata Devan. “Gini Mas, kita bicara dulu!” suara Rangga sangat bergetar. Dengan sangat tergesa-gesa Devi turun dari mobil melangkah menuju rumah. Devan yang melihat Devi menghindar lantas mengikuti dari arah belakang meninggalkan Rangga. “Dev ... Dev ... tunggu!” Devi terdiam tak menjawab atau pun menoleh, kini berdiri di hadapan pintu merogoh tasnya mencari kunci rumah. Karena panik Devi hanya mengaduk-aduk tas tak menemukan kunci yang ia cari. “Kita tak perlu bicara!” kata Devan di sampingnya. Devi tetap sama tak menoleh atau menjawab tanganya terus mencari kunci di dalam tas. “Dev!” Suara Devan terdengar keras. Tangan Devi berhenti bergerak, tertunduk sejenak. “Mau apa?” “Jelaskan semua!” “Apa lagi yang harus aku jelaskan?” Tangan Devan kembali mengepal kuat, dadany
Malam ini Devan sangat liar, lebih liar dari biasanya sedikit kasarya tapi Dewi suka. Hampir setengah jam akirnya Devan mengulirkan tubuhnya ke samping Dewi, nafasnya masih ngos-ngosan tubuhnya basah karena keringan keluar dari pori-pori tubuhnya, Dewi yang berada di sampingnya kini mendekat dan memeluk Devan.Hormon endorfin yang dihasilkan dari bercinta membuat pusing, stres yang dilanda Devan mencair. Tubuh dan otak lebih rileks hatinya pun tak sekalut sebelumnya. Sudah tertangkap basah telah mendua secara naluriah egoisme laki-laki tak ingin kehilangan untuk kedua kali bagaimana pun caranya tak ingin membuat Dewi marah atau curiga. Dengan cara itu Devan juga berhasil membuat Dewi tak menghujani dengan segudang pernyatan ‘dari mana baru pulang’.“Mas, aku pengen kita punya anak.” Suara Dewi memecah keheningan.“Kan-baru saja bikin.”Cubitan manja dar
Tubuh sexy hanya terbalut kutang dan tengtop warna hitam, langkah meninggalkan Susi yang masih asik bermain ponsel. Waktu menunjukan pukul satu dini hari, dengan melepas kaos yang ia kenakan berharap tubuh Devi lebih nyaman untuk tidur. Tubuh Devi meringkuk di sebelah Jessy memejamkan mata. Bukan ngantuk justru fikir terus berhalusiansi lompat kesana kemari. Merenungi nasibnya yang begitu buruk kehilangan seorang ayah, suami dan sekarang kehilangan ibu saat memerlukan dukungan penuh dari orang dicinta. Ditambah Susi menyebut nama Goman memicu pemikiran baru. Teman pria Devi waktu SMA berhasil mengusik otaknya kembali. Mengingat suatu kejadian yang tak terpikirkan sebelumnya. Mulai gemas, Devi kembali bangkit merogoh tas miliknya mengambil obat batuk kemudian minum satu biji. Kembali merebahkan diri di samping Jessy berharap bisa tidur pulas di bawah pengaruh obat. Tak punya cara lain untuk bisa membuang semua pikiran negatif di mal
Sebenarnya pria tak pernah takut dengan istri, secara fisik dan logika laki-laki selalu unggul dari pada wanita. Pria yang dihadapkan dengan seorang manusia yang bernama istri saat marah lantas nyalinya lansung menciut, bukan takut tapi malas mendengar ocehan yang begitu panjang kadang melebar kesalahan A-Z diungkit kembali. Seperti Devan hal yang paling membuatnya malas dan tak bergairah omelan yang keluar dari bibir Dewi. Ya, justru setelah menjadi istir sah secara agama dia begitu sensitif dan dihantui rasa takut.Takut Devan selingkuh, sama seperti masa lalu yang dijalani berdua. Persis seorang pencuri takut hasil curian dimaling.Takut Devi kembali dan merebut Devan dari pelukan hangat yang selama ini terjalin.Ketakutan yang berlebihan itu melahirkan sikap negatif yang memuakkan Devan. Selalu curiga, cemas dan posesif.Setelah membaca surat pengadilan ada rasa
Pagi-pagi sudah gusar! Bagaimana tidak gelisah, tidak resah? Bukan hanya Devan yang membuat suasana hati Dewi berantakan tapi sebuah kenyataan yang harus di terima, malaikat maut lebih awal ketemu Dr. Haris ketimbang dirinya, meskipun Dewi sudah janjian lebih dulu bahkan siap membayar dua kali lipat. “Dr. Haris meninggal baru saja,” ucap Dewi pada Devan. “Kita cari dokter lain.” Dewi tertunduk. “Dokter kandungan mana yang buka di hari libur jika belum janjian.” Devan kembali terdiam, memilih tak banyak bicara dari pada salah berucap karena saat ini wanita di sebelahnya sedang kacau. “Apakah aku akan jadi satu-satunya atau madu?” terdengar ucapan Dewi halus dan sangat berhati-hati dengan pandangan ke arah kertas di tangan. Devan menoleh kemudian tersenyum manis. “Kamu memang satu-satunya dan kamu maduku, manisku.” Tangan Devan mencoba menyentuh pipi Dewi, merayu sekuat tenaga. Kata-kata Devan seperti palu yang jatuh tepat di ubun-ubun Dewi, sangat menyakitkan. Devan berkata san
Cukup lama Devi terdiam, berusaha menetralkan pikiranya. Agus yang sedari tadi memandang rakus semakin gemas ketika melihat leher mulus dan bibir sensual Devi meskipun dengan gincu warna netral. Memandangnya saja membuat ke jantannya mengeras apalagi menyentuh. Bisa-bisa mati di pelukan Devi.“Gimana Mbak Devi? Bukannya sudah lama tak dipeluk? Ngak pengen dipuaskan?”Wajah Devi sangat datar, senyuman Agus begitu manis diacuhkan begitu saja berusaha mengakat wajah sambil manahan marah.“Begini saja, saya tinggalkan nomor telefon saya. Semua bisa diatur. Jika hal pribadi dibahas di sini itu sangat memalukan. Malu sama seragam Bapak dibeli dari uang rakyat.”Jawaban Devi sangat ketus bahkan kata-kata terakir membuat Agus tersinggung, tapi Agus puas dengan jawaban Devi itu artinya setuju dengan tawarannya. Ngopi di hotel sambil berendam bersama janda muda yang tubuhnya masih langs
Tangan kanan Dewi menarik selimut menutupi tubuh yang berbalut lingerie merah jamu dilirik pria di sampingnya sudah tertidur pulas. Sudah dua hari Dewi tak bisa tidur nyeyak setelah mengetahui Devan telah mempunyai anak dari Devi, yang membuatnya semakin sakit kepala adalah Devan tetap ingin bertanggung jawab atas anak tersebut meskipun nantinya sudah bercerai.Ada sesuatu yang Dewi rasakan, yang sulit dijelaskan namun dapat dimengerti semua wanita dewasa.Sekarang mulai timbul ragu bahkan hampir menjurus rendah diri ‘mengapa dirinya tak kunjung hamil’. Padahal tak pernah sekalipun mengunakan kontrasepsi selama ini, apa lagi kondom? Sudah lama tak mengunakan karet itu lagi untuk mencegah kehamilan sejak menikah.Pikirnya Dewi terus melayang-layang memikirkan hal yang sama, sepupunya menikah baru dua minggu sudah hamil tapi mengapa hal itu tidak terjadi pada rahimnya juga. Tidak ada bedanya badan miliknya atau
Jessy bermain pasir yang sudah bercampur tanah di bawah sinar mentari pagi yang menghangatkan, menghasilkan uap keringat yang membuat keningnya berembun. Satu tanganya memegang serokan kecil dan tangan lainnya mencekam wadah kecil yang berisi pasir. Wadah itu diisi lalu dibuang dan begitu terus berulang. Sedangkan Sang ibu duduk santai melihat putri kecilnya asik sendiri, di sebelahnya Susi ikut duduk sambil menikmati suasana berjemur pagi yang jarang mereka dapatkan kesempatan itu di tengah bisnis yang berkembang.Sejak ditinggal mati Namy, Devi memilih cepat untuk bangkit dan menerima. Mau diratapi atau tidak Namy tetap mati dan tubuhnya tetap hancur di makan belatung. Jadi pilihan hidup Devi sekarang meneruskan hidup yang tersisa tanpa seorang anggota keluaga. Tak bisa dipungkiri Jessy masih terlalu kecil untuk mengartikan sebuah kesedihan karena kehilangan. Emosinya masih tahap perkembangan hal itulah yang membuat Devi ingin anaknya tumbuh dengan mental yang