Tepat enam puluh menit akhirnya seorang dokter yang masih mengenakan baju operasi warna hijau daun tua membuka pintu, mengatakan jika operasi berjalan lancar. Meskipun ada sedikit masalah namun bisa diatasi.
Dengan sigap perawat mendorong tempat tidur Devan menuju ruang rawat inap. Dewi melangkah dengan wajah sumeringah lengkap dengan tetes air mata di sudut mata, penuh haru.
Devan tersenyum memandang wanita yang setia duduk di sebelahnya. Pandanganya begitu teduh bak rembulan kala purnama. Dari wajah Dewi terpancar sesuatu yang berbeda, cinta, kesetiaan, ketulusan dan penghormatan semua terletak pada Dewi.
Meskipun kadang kala seperti bocah, tapi dari situlah Devan menemukan sesuatu yang dimiliki dari seorang anak kecil. Ketulusan. Entah mengapa baru sekarang Devan merasakan begitu besarnya cinta Dewi padanya. Ke mana saja selama ini baru menyadari hal itu?
Dialah wanita yang paling menerima kondisi Devan.
Di dalam mobil yang Devan kendarai hanya terdengar suara derung mobil dan bising suasana jalan siang itu. Sesampainya di rumah Devan melangkah melewati pintu dengan gontai lalu merebahkan badan di sofa halus ruang tamu. Sedangkan Dewi berjalan kearah dapur mencari minuman segar di kuklas. Diraihnya jus dalam kemasan kotak rasa jambu biji kemudian dituangkan kedalam gelas. “Minumlah Mas!” ucap Dewi sambil duduk di sebelah Devan. Devan kemudian meraih segelas jus dari tangan Dewi kemudian mencicipi sedikit. “Terimakasih,” ucap singkat Devan. Kesegaran jus jeruk nyatanya tidak berefek dengan suasana hatinya sekarang. Cemas, sedih, kalut telah tercampur rata memenuhi isi kepala Devan. “Aku akan hubungi beberapa teman dan mencari informasi ke teman-temanku dokter, Mas.” Dewi duduk tepat di samping Devan, kemudian memeluk dan bersandar tepat di bahu Devan. Keesok harinya Dewi dengan semangat duduk di atas ranjang kamar menunggu Devan keluar dari kamar mandi. Tanpa basa basi saat suaminya
Devi merapatkan tangannya di atas dada sambil menatap Jessy dan Rangga bermain lempar bola di halaman belakang. Hatinya kembali kacau ketika mengetahui Devan menghubungi Rangga. Sebenarnya hal yang wajar seorang kakak telfon adiknya. Tapi bagi Devi itu hal yang mengusiknya. Itu tak biasa.Terlebih lagi Devan menghubungi hingga lima kali panggilan. Jika waktu bisa diputar mungkin lebih baik dirinya tak membuka ponsel Rangga. Agar tak melihat yang tak seharusnya.Rangga melambaikan tangan. Isarat untuk mengajak Devi bergabung. Tapi Devi tak bernafsu.“Aku akan buatkan minuman untuk kalian.”“Ide bagus!” Rangga mengakat kedua jempolnya diikuti Jessy. Sesaat Devi meletakan jus jeruk lengkap dengan es batu yang menyegarkan. Jessy dan Rangga berlari menghampiri meraih gelas masing-masing. Rangga menhabiskan jus jeruk seketika itu juga. Dan Jessy men
"Lebih baik kita pulang saja Rangga." Tatapan Devi ke arah jalan, dengan segala pikiran yang berkecamuk. "Bahkan kamu lama sekali tidak berkunjung ke apartemen, sekali-kali kita bisa bersantai di sana." Mulut Devi bungkam, berfikir alasan apa yang masuk akal agar pria ini mau mengikuti kemauannya. Tapi belum sempat otak bekerja, lagi-lagi ponsel Rangga kembali berdering dengan panggilan yang sama. Semakin mengusik pikiran Devi. “Udah angkat aja!” ucap Devi lemas. “Bentar lagi sibuk.” “Aku jadi curiga?” Devi sengaja membuang muka tak ada keberanian menatap wajah pria di sampingnya. “Maksutnya apa?” “Jangan-jangan aku dijebak.” Tanpa menjawab Rangga langsung tahu apa maksud kekasih. Ia perlu melakukan sesuatu untuk membuktikan jika praduga Devi itu salah. Perlahan mobil itu berhenti. Rangga meraih ponsel lalu menelfon balik Devan. “Iya Mas." "Kamu di mana? Susah sekali terima telfon." Terdengar jelas suara Devan. "Maaf sebentar lagi dijalan. Nanti aku telfon lagi ya!” "Ya
Sebuah pagi yang suram kala itu. Entah bagi Devi, Rangga atau Devan sendiri. Yang merasa sedikit bahagia hanya Dewi. Awalnya Devan marah besar, dia tak mengira jika mantan istrinya menjalin hubungan dengan adik kandungnya. Adik yang selama ini ia gadang-gadang, bahkan bukan hanya Devan tapi seluruh wanita muda se-Indonesia yang mengidolakan sosok Rangga, kini membuat Devan hancur. “Dia itu jalang! Kamu bisa cari wanita mana pun yang kamu mau tapi mengapa harus dia?” Rangga membuang muka lalu tertunduk. Wajahnya merah padam berkali-kali wanita yang ia cintai disebut-sebut hina. “Memang ini salah saya Mas. Awalnya tidak ada niatan apa pun tapi takdir yang mempersatukan kita. Sebenarnya saya ingin jujur pada Mas Devan, tapi Devi selalu menolak.” “Takdir? Astaga?” “Iya Mas, awalnya hanya betah bermain dengan Jessy. Toh dia juga keponakanku juga. Tapi ternyata kami tak bisa
“Jadi kamu sudah…” Devan mencoba menyakitkan diri bahwa dugaanya keliru.Dengan percaya diri Rangga mengangguk dua kali. “Iya Mas, kami saling cinta. Maafkan saya Mas.”Devan berdiri menatap wajah Rangga dengan sangat jelas. Tampak wajah kejujuran dan ketulusan itu terpancar jelas di wajah adiknya. “Bahkan Jessy bukan anakku. Aku ke sini untuk berobat karena aku mandul.”Devan sekilas menatap Dewi, kedua matanya memberi isyarat untuk meninggalkan ruangan itu. Dengan cepat Dewi berdiri mengandeng Devan. Meninggalkan Rangga yang mematung bak tugu.Kali ini Rangga yang dibuat pusing kepayang. Badannya yang masih letih karena pergulatan semalam, ditambah kenyataan pait yang harus ia terima benar-benar membuatnya stress. Sejak kepergian Devan dari apartementnya ia mencoba menelfon Devi namun tak ada satu pun panggilanya ia terima. Bahkan nomor whatsapp telah di b
Sekilas Devi menatap mobil warna putih melintas tepat disampingnya yang melaju dengan kecepatan penuh. Hanya seperkian detik saja Devi melihat mobil putih itu menyalip dan hampir menyenggol bis dihadapnya. Nyaris kecelakaan. Entah apa yang terjadi jika dua kendaraan itu saling bersentuan.Bukan hal itu yang mengusik Devi tapi mobil itu mirip milik Rangga. Meskipun di jalan mobil warna putih tidak terhitung namun melihat mobil warna putih yang baru sja melintas benar-benar mengusiknya.Taksi online itu benar-benar melaju ke Malang melalui jalan tol lalu menuju ke kota Batu. Sampailah di alun-alun Batu, sopir itu menunggu di parkiran dan Devi sebentar saja keliling taman. Bukan mendapatkan fikiran fres justru semakin stress, kala melihat sepasang kekasih saling bercengkrama. Devi yang malas lantas meminta balik ke Surabaya.Namun baru saja membuka pintu gerbang ia telah mendapatkan pemandangan yang ingin membuat lari
Devi tak menjawab, hatinya begitu bergemuruh. Hatinya terasa diremas hingga hancur. Pria kesayanganya ternyata benar-benar menunggu di ruang tamu. Termenung sendiri dengan makanan dan minuman yang disediakan asisten rumah tangga Devi. Biasanya dari tangan Devi sendirilah segelas air putih untuk Rangga disediakan. Tepat pukul delapan malam ketika Jessy telah terlelap. Saat Devi selesai membacakan sebuah buku dongeng si kacil di halaman nomer tiga, dengan perasaan penuh harap Devi turun ke ruang tamu. Berkali-kali dirinya berdoa semoga Rangga sudah pulang. Jika menurut jadwal hari ini yang Devi ketahui malam ini kekasihnya harus ke luar kota. Dengan langkah yakin Devi berjalan menyusuri tangga. Matanya tertuju pada rambut yang sedikit ikal masih di tempat yang sama. Bahkan Rangga menyadari kehadiran Devi. Dua hati berdetak kencang dengan emosi yang belum tersalurkan.
Rona wajah Devi memerah, ia berkali-kali mencoba napas panjang. Melongarkan dada yang terasa sesak. Berusaha merangkai kata yang paling tepat untuk pria dihadapnya sekarang. Untuk Rangga yang begitu penasaran dengan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu Devi. Dan malam ini Devi bagai binatang setelah hibernasi panjang, ia harus keluar dari tempat persembunyian. “Kamu pernah bilang jika kamu akan hidup di masa depan bersamaku, bukan masalaluku.” Butiran air menetes di sudut mata Devi, entah mengapa malam ini ia merasa sangat takut. Takut dengan banyak kemungkinan dan kehilangan. “Bukan itu yang jadi masalah tapi aku ingin sebuah keterbukaan.” Dengan napas panjang Devi menceritakan sebuah hal yang tak seorang pun tahu. Sebuah rahasia besar yang ia sembunyikan selama bertahun-tahun. Sebuah rahasia yang ia sendiri tidak yakin apakah benar hal itu terjadi. *** Sebuah ambisi seorang perempuan untuk hidup mandiri, secara finansial dan kuat secara mental. Tidak bergantung kepada orang