Share

Pesona Sang Mantan
Pesona Sang Mantan
Penulis: Nurul Fitria Santoso

Bab 1

"Mah, Bilqis berangkat dulu ada janjian sama temen, kebetulan dia pembaca cerita-ceritaku yang tinggal di kota ini, mo beli novelku," ucapku lalu menarik paksa tangan Mama, beliau sedang duduk di dapur sedang menyiapkan bumbu untuk katering. Lalu kucium punggung tangannya.

"Haduh, cari kerja yang bener, napa Bil, jan cuma liatin hape, nulis novel. Pendidikan kamu nanti sayang nggak kepake," sahut Mama.

"Iya, ini juga sambil usaha nyari kerja, emang susah nyari kerja jaman pandemi gini. Sementara ini mayan lah nulis-nulis cerita di platform biar dapet duit buat jajan."

"Jajaaan mulu yang kamu pikirin. Tuh, kamu urus dulu di kelurahan, bukti kita pindah KK ke sini. Udah lengkap berkasnya, tinggal narok di kelurahan aja. Berkasnya di map, Mama tarok di atas meja makan," ujar Mama.

"Kelurahan? Besok apa, Ma. Kelurahan ke taman Bungkul tuh nggak searah," jawabku.

"Udah jan ngebantah. Pokoknya kamu urus ini ke kelurahan dulu."

Pasrah--nurutin titah Mama, entar kalau aku menolak pasti dikiranya aku anak durhaka. Iya kalau dikutuk jadi batu, kalau dikutuk jadi jomblo? 

Kuambil map plastik besar berkancing dari atas meja.

"Bilqis berangkat. Miiikuuum!"

"Salam model apaan, mikum-mikum. Enggak ada artinya itu. Yang bener assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, gitu ...," tandas Mama.

"Walaikum salam, Mama," jawabku cengengesan.

"Bocah! Diajarin orang tua cengengesan," gerutu Mama lalu melempariku bawang putih yang sedang ia kupas. Sedikit memiringkan badanku untuk berkelit agar tak kena lemparan bawang.

"Hahaha ... nggak kena! Bilqis berangkat, yak!" 

Mama masih menggerutu tak jelas. Kutinggalkan Mama untuk keluar menuju motor yang aku parkir di carport.

Kunyalakan mesin supaya panas, sementara itu aku membuka pagar.

Setelah itu aku naik ke atas motor dan melaju motorku pelan keluar dari pagar.

Ada beberapa tetangga yang lewat, kusenyumi saja mereka, agar aku terkesan ramah, baik hati tidak sombong dan selalu mengamalkan pancasila dan sepuluh dasa dharma pramuka.

Maklum saja, aku masih baru di kampung ini. Rumah lama dijual untuk menutupi hutang biaya kuliahku juga biaya Bapak sakit yang sekarang sudah meninggal. Lalu sebagaian sisanya kami belikan rumah yang sekarang aku tempati bersama Mama. Meskipun tak sebesar rumah dulu, yang penting nyaman dan Mama nggak kepikiran terus soal hutang.

****

Surabaya ... jangankan siang, masih jam sembilan pagi matahari sudah begitu terik dan menyengat.

Kubetulkan letak maskerku yang agak melorot sambil terus konsentrasi ke jalan, jaman pandemi begini semua makin susah. Bahkan aku baru saja dirumahkan karena pengurangan pegawai di perusahaan. 

Aku mengambil jalur putar balik lalu mengambil arah kiri dan aku pun sampai di kantor kelurahan.

Aku menyerahkan amplop tadi pada pegawai kelurahan yang duduk di balik meja setinggi dada orang dewasa pada bagian depan kantor kelurahan. 

"Tunggu sebentar ya, Mbak. Saya cek dulu, nanti kalau ada yang kurang, segera dilengkapi," jelas Mas-mas pegawai kelurahan.

Aku mengangguk dan berdiri di dekat meja.

Sambil menunggu, kulepas sebentar maskerku dan mengambil botol minum yang biasa aku bawa ke mana-mana.

Beberapa tegukan, lumayan membuat basah tenggorokan. Panas banget, Gusti.

Kukibas-kibaskan tangan ke dekat wajahku, agar mengurangi rasa gerah, sambil tengok kanan-kiri memerhatikan ke sekitarku.

Mungkin karena masih pagi kantor kelurahan masih belum seberapa ramai.

"Hei, kamu!" Suara bariton itu membuatku kaget. Beberapa staf kelurahan lantas berdiri dan memberi salam padanya. Mungkin dia lurahnya.

Laki-laki berperawakan tinggi, berseragam PDH warna kakhi lengan pendek, dengan tatanan rambut rapi. Ia memakai masker N-95 lengkap dengan kaca mata hitam. Aku masih melongo melihatnya dengan setengah mendongak karena badannya yang lebih tinggi dari pada aku.

"Kenapa melongo?" tanyanya membuatku tersadar dan menggeleng-geleng pelan mengembalikan ingatanku. Kulihat staf lainnya sudah kembali bekerja.

"Kamu nggak tau ini jaman pandemi. Virus di mana-mana. Kenapa itu masker pindah ke dagu?"

"Abis minum Om, eh, Pak." Dia om-om apa bapak-bapak sih? Tapi jidatnya mulus, glowing amat, ya.

"Mana? Nggak ada! Push up kamu!" perintahnya dengan nada datar.

Kampret! Aku disuruh push-up?

"Enggak!" tolakku.

"Push up, hukuman karena kamu sudah tidak memakai masker!" perintahnya.

"Tapi saya minum. Gimana caranya kalo nggak dibuka."

Lalu ia membuka kacamatanya.

"Ikut saya!" pintanya.

"Ih, enggak. Emang aku cewek apapun."

Terdengar cekikikan dari belakangku, aku menoleh ternyata beberapa staf menahan tawa. 

Ah, sial! 

"Cepat push up di sana. Kamu sudah melanggar tidak mengenakan masker saat melakukan kegiatan di luar!" perintahnya lagi. 

Hiiihhhg! Ngeselin banget. Sepertinya aku dikerjain ini. Mana kelurahan sudah mulai ramai.

Lalu laki-laki berseragam PDH itu mendekat ke meja pegawai kelurahan.

"Ngurus apa, Mbak ini?" tanyanya pelan pada pegawai kelurahan. Aku masih bisa mendengar karena sedikit kumiringkan kepala dan telingaku hampir menempel punggungnya, tapi tak sampai menyentuh, aku menguping dengan konsentrasi penuh. 

"Ngurus pindah KK, Pak," jawab pegawai perempuan.

Oh, ternyata bapak-bapak.

Lalu ia melihat berkasku, menarik kertas Kartu Keluarga. Ia baca dengan seksama lalu ia letakkan kembali.

Srettt

Brukkk

Aku terhuyung, hampir jatuh, untung aku bisa seimbangkan tubuhku. Namun, ternyata aku tak jatuh karena tanganku ditahan oleh bapak lurah ini. Eh, dia lurah apa bukan, sih?

Gegas ia melepas pegangan tangannya dan aku pun begitu. Duh.

"Kira-kira, donk kalo muter badan. Badan situ gede, badanku kecil. Muter sembarangan," keluhku sambil menggosok-gosok lenganku.

"Makanya kebiasaan nguping jangan dipelihara, kebiasaan. Itu masker masih belum dipakai kan? Push up kamu!" perintahnya lagi.

Matanya menatap tajam di kedua netraku, sampai bikin salting sampai salto. Eh. 

Mmm ... sepertinya aku pernah melihat tatapan mata itu, tapi aku lupa.

Aku menyerah dan melimpir ke pinggir ruangan untuk push-up. Ia masih menungguiku. Aduh, malunya aku.

"Push up 5 kali!"

"Tapi, Pak," sanggahku.

"6 kali."

"Saya--"

"7 kali."

Huft!

Kulakukan saja dari pada bertambah terus hukumannya. 

"Bukannya biasa ikut pertandingan pencak silat? Mudahkan cuma push up gitu aja," ujarnya.

Dia tahu aku suka menguping, dia tahu aku ikut kejuaraan pencak silat. Siapa, sih?

Cepat kulakukan push-up sampai tujuh kali dan bangun kembali.

"Bapak penggemar saya, ya? Suka baca novel saya?" tanyaku percaya diri. Enggak papa percaya diri sedikit, sedikit berlebihan maksudnya, hihihi .... Dari pada enggak punya jati diri, yekan?

Dia malah nunjuk bibirku. Apa maksudnya?

"Apaan?" tanyaku.

Ia melihat ke sekitar lalu menunjuk bibirku lagi.

"Jan ngadi-ngadi, bapak minta cium?" tanyaku.

Ia sedikit menunduk lali berbisik, "ada sayur hijau nempel di gigi kamu."

Nyesss.

Kugigit bibirku menahan malu. Wajahku terasa hangat. Astaga!

Aku berbalik badan, mengambil tisu dari tasku dan segera aku bersihkan, dan sungguhan, ada sisa bayam sarapanku tadi pagi.

Aku berbalik badan lagi, ternyata dia masih menunggu.

"Pake maskernya," ujarnya sambil mengamatiku, serius aku penasaran, kubalas dengan menatap matanya, seperti pernah tahu, tapi siapa?

"Siapa, sih?" tanyaku pada akhirnya. 

"Pake maskernya, Ayam," ujarnya lalu ia menarik masker hingga menutup sampai hidungku.

Ayam? 

Dia manggil aku ayam? Kubetulkan maskerku agar lebih nyaman.

"Pake handsanitizer, kamu abis pegang lantai. Masih suka jorok kan makan tanpa cuci tangan?" tanyanya lagi lalu berbalik menuju ke pintu sebuah ruangan.

Aku ingat siapa yang biasa memanggilku 'Ayam', karena aku fobia dengan Ayam tapi suka makan di mekdi.

"Mas Virzha?" tanyaku.

Langkahnya berhenti. Ia menoleh dan menatapku sekilas. 

Mas Virzha mantanku, kami putus karena sebuah kesalahpahaman akibat kebodohanku. Sekarang dia jadi lurah tempatku tinggal?

-----------

Hai teman-teman, salam kenal. Yuk, subscribe dan bintangnya. Makasih, sehat selalu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status