Share

Bab 4

Part 4

Aku mendekat ke Mama, hendak ikut duduk di sampingnya. Belum sampai pantat menyentuh sofa.

"Eh, kok ikut duduk, tolong sayang keluarin yang tadi, ya," pinta Mama padaku, kubalas dengan anggukan.

"Eh, nggak usah repot-repot, Jeeeng. Oiya ... #&@^÷÷:£,#;#^×£,#;-;'×¥÷^÷ " 

Sekali lagi mereka mengbrol dengan kecepatan petir. Aku menggaruk kepalaku yang tertutup kerudung lalu masuk ke dapur menyiapkan kudapan.

Kuambil piring dan menata kue bolu yang sudah dipotong di atasnya, lanjut lemper kujajar juga di piring yang persegi panjang, lalu beberapa kudapan kering semacam sus kering isi coklat yang dimasukkan ke toples. Di rumah selalu menyetok kue kering, Mama yang buat sendiri untuk dijual lagi. Biasanya aku bagian yang packaging, kalau meracik resep dan lain-lain aku tak sanggup setelaten Mama. 

Kemudian kubuka kulkas mengambil batu es dan mencampurnya dengan buah yang sudah kutambahi dengan air gula dan susu sebelumnya. 

Semua sudah siap, tinggal mengambil gelas yang masih diletakkan Mama entah di mana, biasanya di atas lemari kitchen set bagian atas. 

Kutarik kursi dari meja makan. Lalu kunaiki kursi sebagai panjatan untuk mengambil gelas. 

Srettt 

Berhasil, aku turun kembali dari kursi. Namun setelah aku buka ternyata isinya sendok.

Ya Allah, Mama. Kebiasaan banget, menyimpan barang bukan di kardus yang semestinya. 

Mungkin di lemari kitchen set bagian bawah. Kubuka pintu lemari kitchen set lebar-lebar supaya mempermudah aku mencari gelasnya. Tetap tidak ketemu.

Kemudian mencarinya di bawah meja besar yang biasa dipakai Mama untuk menata makanan katering. Di bawahnya ada beberapa perkakas yang disimpan dalam kardus.

"Bil, ini tarok mana?"

Duakkk

Suara itu membuatku kaget, sampai tak kuperhatikan aku sedang di bawah meja dan membuat kepalaku terbentur.

"Duh, ngagetin aja, sih, Mas. Sakit tau kepala kepentok meja," ucapku sambil mengusap-usap kepalaku dan berdiri.

"Masih kepentok meja, dari pada kepentok masa lalu?" sahutnya dengan nada datar.

Aku melongo melihatnya, menelan saliva beberapa kali menghilangkan gugupku.

"Mmm ...." 

"Tarok mana ini oleh-olehnya?" potongnya cepat.

Mas Virzha berbeda sekali, sikapnya dingin, jutek, mungkin karena dia lagi sensitif, atau masih marah padaku.

"Di tarok di ... di meja sini aja," ucapku sambil menunjuk meja besar di belakangku. 

Ia menurut, dan saat ia melewatiku, ya Allah, ini parfum wangi banget, jadi pingin nyanyi lihat kebunku penuh dengan bunga. Eh.

"Aku kan lagi nyari gelas, kenapa malah bayangin lagi nyanyi, sih?" gumamku. Lanjut membuka lemari kitchen set.

Mas Virzha kemudian berlalu keluar dari dapur begitu saja setelah meletakkan oleh-oleh yang tadi ia bawa di atas meja.

Auk, ah. Nyari gelas saja belum ketemu malah mikir yang enggak-enggak. Aku kembali sibuk mencari letak gelas.

"Nyari ini?" 

Aku menoleh dan di tangan Mas Virzha sudah ada gelas untuk es buah yang ditumpuk dalam satu wadah.

"Lhoh ... iya," jawabku.

Aku mendekat dan berniat mengambil gelas dari tangan Mas Virzha.

"Begitu caranya meminta?" Mas Virzha menjauhkan gelas dari tanganku.

"Cara apa? Jan tebak-tebakan sekarang keburu leleh esnya," jawabku.

Ia bergeming dan menatapku lurus. Bisa-bisa bukan esnya yang leleh tapi aku.

Astajim, eh, astagfirullahaladziim.

Kuulurkan satu tanganku. 

"Mas ... tolong berikan gelasnya sama aku." Suaraku masih datar.

Ia menaikkan alisnya satu.

Aku menghela napas. Sabar Bilqis ... sabar ....

Tanganku dua-duanya condong ke depannya.

"Mas ... aku butuh gelasnya, tolong."

Ia masih diam tak memberikan gelasnya. Betul-betul nih. Aku tarik napas dalam-dalam ....

"ASTAGFIRULLAHALADZIIM ... LAHAULA WALA KUATA ILLAH!" teriakku.

Mas Virzha sepertinya kaget, kepalanya bergerak mundur dan meletakkan gelas di atas meja makan.

"Ada apa?" Mama dan Tante Laila ikut datang ke dapur, mungkin kaget juga mendengar teriakanku. Emang kusengaja. 

"Kamu apain Bilqis, Zha?" tanya Tante Laila.

Mas Virzha menggeleng sembari menautkan alisnya.

"Enggak Tante, Bilqis kesulitan bawa gelas-gelas sama piring, pas mau bawa hampir jatoh. Gitu," jelasku.

"Bantuin donk, Zha. Buruan bawain gelas dan piringnya," ucap Tante Laila. 

Lalu dua wanita bersahabat itu keluar sambil mengobrol lagi.

"Mau ngerjain aku lagi?" bisikku.

Mas Virzha diam tak menjawab. Namun gegas mengambil gelas-gelas dengan tangan kanannya lalu piring berisi setumpuk kue di tangan kirinya.

"Bagooos ... yang itu juga bawain, ya. Terus jangan lupa, kalau bawa kuenya keluar harus ati-ati, nanti bisa pecah piringnya. Awas ... jaga keseimbangan, jan dimiring-miringin gitu, kalo jalan pakai kaki kanan dulu, awas ... awas, Mas ...," kuperingati berkali-kali saat Mas Virzha kerepotan membawa piring berisi kue dan gelas tanpa kubantu. Ia berhenti berjalan dan menoleh padaku dengan mulut terkatup serta tatapan yang tajam, sepertinya ia kesal.

Hihihi ... sukurin.

Hidangan sudah lengkap di ruang tamu. Meja besar berukuran 1x1.5 meter telah penuh dengan hidangan. 

Mama dan Tante Laila mengobrol tak berhenti-berhenti sampai Om Bagas menyenggol lengan istrinya itu.

Sedangkan Mas Virzha duduk menyandar di punggung sofa dengan posisi kakinya disilangkan rendah.

"Udah, Yah. Mereka berdua sudah pasti setuju, tinggal nentuin tanggalnya aja," ujar Tante Laila diikuti anggukan Mama.

Maksudnya, tanpa menanyaiku soal pernikahan ini dan mereka memutuskan begitu saja. Aku lihat satu per satu dari mereka. Mama dan Tante Laila mengobrol kembali membahas pernikahan, Om Bagas diam mendengarkan. Lalu Mas Virzha hanya memandang dingin pada kedua orang tuanya. 

Apa dia akan setuju begitu saja? Bukankah Mas Virzha juga mempunyai pendapat? Kenapa Mas Virzha tak usul, pernikahan ini memaksa para pihak. Bagaimana mungkin bisa terjadi?

"Mah ...," ucapku.

"Bilqis sudah nggak sabar," potong Mama. 

"Mamah!" tegasku.

Tangan mama merayap ke arahku dan mencubit kecil tanganku.

Ini pernikahan kenapa dipaksa seperti ini. Aku tak suka dengan semua ini.

Mama dan Tante Laila berdiskusi lagi, Om Bagas kini menambahi pendapat. Mas Virzha kenapa diam saja?

"Maaf ...." kalimatku kali ini membuat semuanya diam--hening. 

"Bil ...." Mama ingin memotong.

"Biar Bilqis juga bicara, Jeng. Kita orang tua ingin yang terbaik untuk anak-anak, anak-anak juga pasti tau keinginan kita sebagai orang tuanya, Bilqis anak yang baik, biarkan dia bicara, saya yakin enggak akan mengecewakan kita, dia tau posisinya sebagai anak, Bilqis sangat paham, jika kita sebagai orang tua tak menginginkan lebih, hanya ingin bahagia melihat pernikahan mereka berdua. Apalagi seperti keadaan Jeng yang selama ini jadi single parent merawat Bilqis sampai ia sukses, masa Bilqis menolak dan tega mengecewakan Jeng. Ya kan?" timpal Tante Laila. 

Astaga.

Kalimat Tante Laila kena mental banget.

Sekarang aku jadi merasa bersalah andai  menolak permintaan mama, karena akan membuatnya sedih dan kecewa. Hadeuh, terus kudu gimana ini?

Kenapa enggak aku umpan ke Mas Virzha. Jaman sekarang kalau mendengar perjodohan kok sepertinya lucu banget. Mas Virzha pasti juga tak setuju dengan perjodohan ini.

"Eng ... lalu calon saya?" tanyaku ambigu.

"Ya kan calonnya sama Virzha, keliatannya kalian mudah akrab. Cucok kan?" ucap Tante Laila. Lalu beralih ke Mama. "Ya kan, Jheeeng?"

"Ho-oh," sahut Mama.

Kuberi kode pada Mas Virzha yang tengah menatapku, kubuka mataku sampai membulat sempurna. Ia membalas menaikkan alisnya seolah tanya kenapa. 

"Tuh, udah kode-kodean," goda Tante Laila. 

Aduh ....

Sedari tadi Om Bagas lebih banyak diam. 

"Om apa sudah setuju?" tanyaku, mencari bala bantuan. Mungkin saja beliau kurang berkenan.

"Om, setuju kalau Virzha setuju," jawab Om Bagas. 

"Mas Vi ... eng ... Mas Virzha, kayaknya sudah punya calon sendiri. Tadi waktu aku minta SUKET di kelurahan Mas Vir--"

"Jan ngada-ngada cerita," sahut Mas Virzha cepat dan dingin.

Aku jadi bingung, dia terlihat dingin dan cuek padaku tapi kenapa tidak menolak pernikahan ini?

Sepertinya aku harus jujur jika sudah punya pacar yang sekarang tinggal di Jogjakarta.

"Sebenarnya ... saya ...," ucapku, tapi segera disalip oleh Mama.

"Iya, semua juga tau, Nak, sebenarnya kamu kaget kan?" serobot Mama dengan kalimatnya. Lalu beralih menjelaskan pada para tamu. "Bilqis emang agak syok soal perjodohan ini. Butuh waktu aja biar ilangin kagetnya. Nggak papa, udah yuk, dimakan kuenya. Ini buatan Bilqis, loh," ujar Mama. 

Sejak kapan aku bisa masak?

"Iya? Hebat, sudah cantik pinter masak pula," sahut Tante Laila. 

Terdengar napas yang berhembus kasar dari Mas Virzha, seketika itu aku menoleh padanya. Ia seperti sedang menahan tawa yang ditutupi dengan tangannya.

Ih, apaan sih?

Mungkin ia masih ingat, kalau aku tidak terlalu suka dan bisa soal perdapuran.

Om Bagas, Tante Laila dan juga Mama asik ngobrol sambil makan kudapan. Sedangkan aku duduk diam sembari mengamati lukisan bunga kamboja tepat di dinding depanku. Mas Virzha hanya sesekali ikut bicara jika ditanya, itu pun soal kepengurusan KK-ku yang belum selesai.

Dan akhirnya mereka pamit pulang.

Aku dan Mama mengantarkan Mas Virzha serta kedua orang tuanya sampai ke dekat mobilnya.

"Virzha, sana," ucap Tante Laila pada anaknya itu dengan mengangkat kepalanya sedikit.

Mas Virzha mendekatiku. Eh , mau ngapain?

Aku sedikit mundur, tapi Mas Virzha terus berjalan mendekat. 

"Bil ... aku pulang dulu," ucapnya.

"Oh, iya, Mas. Ati-ati," jawabku.

"Kaku banget sih, Nak," sahut Tante Laila, Mas Virzha tak menjawab apa-apa lagi dan masuk ke dalam mobil. Lalu Tante Laila pindah kepadaku, "Bil, Tante ingin bicara banyak padamu, supaya kamu paham keadaan Virzha dan maksud perjodohan ini, ya, Sayang," kata Tante Laila. 

Aku mengangguk sembari tersenyum.

Namun aku tak akan menyerah begitu saja, aku akan memperjuangkan hubunganku dengan Ko Erik, agar nanti aku tak menyesal untuk mengambil keputusan besar ini.

--------------

Yuk, bintangin. Sehat selalu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status