Share

Bab 5

Part 5

"Balik dulu, ya, Jeeeng. Assalamualaikum ...," ucap Tante Laila dengan tangan melambai di balik kaca mobilnya yang diturunkan separuh, Tante Laila duduk di belakang jok sopir.

"Wa alaikum salam. Ati-ati," jawab Mama.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum pada Tante Laila. Lalu mataku spontan beralih pada sopir mobil Tante Laila, Mas Virzha maksudnya, ia yang ternyata sedang menatapku.

Kubalas dengan serangan tatapan lurus tepat di matanya pula. Eh, malah melengos ngadep ke depan. Dasar, mantan!

Mobil pun berlalu, aku dan Mama masuk kembali ke dalam rumah.

"Gimana, Bil? Guanteng pol kan? Sudah digas aja," ujar Mama sembari meringkas piring-piring bekas kue yang tidak dimakan lalu menumpuk beberapa piring kosong menjadi satu.

"Biasa aja. Ganteng kan relatif, Ma," ujarku penuh dengan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.

"Hilih! Bantuin bersihin ini, Bil," perintah Mama lagi. 

Aku mengambili gelas bekas es buah.

"Ya kan bener. Ganteng itu tergantung sudut pandang yang memandang, Ma."

"Iya, Mama paham. Tapi dia itu sosok laki-laki yang baik. Nggak neko-neko, sudah mapan, ganteng. Kurang apa? Kalo kamu nggak mau, buat Mama aja, lah," sahut Mama lalu berjalan ke dapur dan meletakkan piring ke wastafel, aku mengekor di belakang Mama.

"Idiiih, Mama ini nggilani. Inget umur, Ma. Kalo mau kawin lagi jan sama berondong, sama laki yang udah tua aja, yang tua banget pokoknya tapi yang warisannya banyak terus nggak punya ahli waris. Bilqis siap ngurus surat waris buat dibalik nama ke Bilqis," jawabku.

"Arek gendeng! (Anak gila)." Mama menoyor kepalaku cukup kencang.

"Ini trik biar kaya tanpa susah payah. Kalo pake pesugihan kan dosa?" kataku yang memang ngawur.

"Mama tuh serius, Bil. Mama udah waktunya punya cucu."

"Busyeeettt, kawin aja belum, minta cucu. Beli aja di indimirit ada yang sasetan biar lebih hemat."

"Udah ah, becandanya. Bilqis, Mama berharap kamu nggak kecewain Mama. Mama sayang sama kamu, Mama berharap kamu bisa hidup bahagia dengan orang yang tepat." Mama mengusap kepalaku dan matanya menatapku teduh.

Aku menghela napas. Bagaimana mungkin aku tega melukai hati Mamaku, aku adalah keluarga satu-satunya yang ia miliki, banyak harapan yang ia tumpu selama ini padaku.

Aku merasa belum pernah bisa membuatnya bangga dan bahagia.

Aku mengajak Mama duduk di sofa ruang tengah, mengajaknya bicara serius kali ini.

"Mah, Bilqis minta waktu untuk membuktikan kalo Ko Erik itu juga serius sama Bilqis."

Mama memutar duduknya dan menghadapku untuk melihat lebih intens.

"Tapi ingat Bilqis, jangan pernah mendatangi dia ke Jogja, atau kamu akan menyesal. Kecuali kalau dia yang mengajakmu dengan meminta izin pada Mama dulu, untuk dipertemukan pada kedua orang tuanya."

Padahal rencanaku memang ingin mendatanginya ke Jogjakarta.

Namun kali ini aku harus melanggar nasehat Mama untuk tidak mendatangi Ko Erik. Toh, niatku baik. Aku ingin kejelasan dari hubunganku kali ini.

"Bil ... kamu nggak ada niatan pergi ke Jogja kan? Awas aja kalau sampai kamu datengin dia ke Jogja. Mama malu sebagai ibumu. Apalagi kalau sampai keluarga Jeng Laila tau. Bisa rusak persahabatan Mama."

"Hah? Eng ... enggak, Ma. Cuma memang besok lusa... ada panggilan wawancara kerja ke ... Semarang. Itu perusahaan rokok gitu, Bilqis kapan lalu sudah psikotest di Surabaya, terus disuruh datang ke Semarang untuk Tes asesmen kompetensi, kurang lebih mirip yang di Surabaya tapi kali ini dilakukan oleh Tim dari MT di perusahaan pusat Semarang. Penempatan kerja sih, katanya Surabaya," jelasku.

Maafin, Bilqis, Ya Allah. Padahal tes itu semua sudah akau jalani dan hanya menunggu pengumuman. Aku hanya berusaha, berjuang untuk mendapatkan kejelasan tentang status hubunganku.

"Kapan ke Semarang?" 

"Besok."

"Dadakan banget. Beneran?"

"Ya, beneran, lah, Ma. Masa bo-ongan. Lagian kalo nggak percaya Mama ikut aja. Tesnya lusa, tapi pagi banget, mana belum tau lokasi tepatnya di mana, jadi ya berangkatnya lebih awal, gitu ...," ujarku. 

Duh, mulut. Semoga Mama nggak ada keinginan ikut. Aku menahan napas kuat-kuat.

"Terus langganan katering Mama, gimana kalau mama ikut?"

"Mmm ... gitu, ya?" sahutku.

Alhamdulillah, semoga Mama enggak ikut. 

"Pokoknya kamu kabarin kalo sudah nyampek, kalo mau ngapain aja kabarin. Mama nggak mau mengecewakan pesan Bapak kamu, kepercayaan sahabat Mama dan Mama nggak ingin kamu dikecewakan oleh laki-laki. Kalo laki-laki nggak patut diperjuangkan ya, jangan diperjuangkan," tutur Mama.

"Iya, paham. Bilqis siap-siap dulu. Besok naik kereta, pagi."

"Iya, jan lupa salat dulu."

"Siap, Ibu Ratu," jawabku.

"Pinter banget, bikin alasan. Aslinya ogah nyuci piring kan?" sergah Mama saat aku berdiri.

"Udah buang aja piring kotornya, biar nggak repot," ucapku.

"Belum kaya udah sombong."

"Nggak papa, Ma. Sombong kan gratis!" teriakku menjawab Mama yang sudah berjarak agak jauh dariku.

Kuambil wudhu dan salat isya. Setelah itu, aku mempersiapkan bawaanku untuk pergi ke Jogja.  Membawa beberapa baju dan perlengkapan mandi. Rencananya aku akan menumpang di rumah Intan, teman baikku sewaktu aku masih kuliah di Jogja. Lumayan bisa menghemat pengeluaran.

Besoknya sekitar pukul lima pagi, aku berangkat dengan taksi online menuju Stasiun Gubeng.

Setelah aku membeli tiketnya, merujuk pada peraturan baru New Normal, maka aku diharuskan untuk melakukan tes pemeriksaan GeNose C19, yang menyatakan jika aku terbebas dari virus Corona. Insyaallah aku sehat, tapi tidak dengan rasa rinduku yang sedang tidak waras. Demi apa hidungku disodok-sodok.

Semua serangkaian tes telah selesai dan sudah ada hasilnya, aku pun diizinkan menaiki gerbong kereta. Kukirim pesan pada Mama kalau aku akan segera berangkat. 

[Hati-hati, Bil. Buat istirahat selama perjalanan. Ingat makan dan salat. Kabari Mama terus. Yowes, Mama mau masak lagi ini.]

[Baik, Kanjeng Ratu. Wkwkwk]

Tak berapa lama kereta mulai bergerak dan kereta berangkat menuju kota Pelajar. 

Sengaja tak kubari Ko Erik kalau aku akan berangkat ke Jogja, semoga menjadi kejutan untuknya.

Pagi ini sebelum aku berangkat ke stasiun, Ko Erik hanya mengabariku kalau ia akan berangkat ke tempat usahanya. Sampai sekarang ia tak mengabariku lagi.

Sebenarnya aku merasa bersalah karena membohongi Mama. Seumur-umur aku tak pernah berbohong seperti ini. Jangankan sampai berbohong, bahkan memyembunyikan hubunganku dengan Mas Virzha saja rasanya mengganjal dan berujung kandas.

Semoga saja kali ini aku berhasil meyakinkan Ko Erik. Kukirimkan sebuah pesan untuk Ko Erik.

[Orang tua kita mungkin belum setuju dengan hubungan ini, tapi itu bukan berarti aku berhenti memperjuangkan hubungan ini sampai mendapat restu mereka. Aku ingin kita bersama-sama saling menguatkan, berjuang bersama sampai kita menempati puncak tujuan hubungan kita.]

Terkirim, centang dua.

Belum ada balasan.

Aku biarkan, mungkin ia masih sibuk, sampai tak sempat menjawab pesanku. Kunikmati pemandangan di luar kereta, meskipun malah membuatku pusing.

Kuperiksa lagi aplikasi hijau milikku, sudah centang biru pada pesan untuk Ko Erik. Aku berharap ada balasan, tapi ternyata hanya di-read saja.

Aku mengehela napas meredakan tak nyamannya perasaan ini.

Lalu tak lama kemudian ada yang menelepon ponselku dengan nomor yang tidak aku kenal. 

Kuusap tombol hijau.

"Ya, hallo," jawabku.

"Assalamualaikum, Bilqis. Ini Tante Laila. Kata Mama kamu ke Semarang? Kenapa nggak minta anter Virzha aja."

"Mas Virzha kan kerja Tante. Lagian nggak lama, cuma tes aja."

"Oh, gitu ... eh, bentar ya, Virzha mau ngomong sama kamu," kata Tante Laila. 

Lalu terdengar grasak-grusuk di ujung telepon.

"Apa, sih, Bun. Enggak." Itu suara Mas Virzha, pasti dipaksa oleh Tante Laila. 

"Ih, itu calon istri kamu lagi keluar kota. Masa nggak khawatir, di mana letak kelelakianmu yang memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan secara mudah, responsif dan tidak diskriminatif." Terdengar suara Tante Laila yang penuh penekanan. 

"Itu Misi Polri, Bun. Apa hubungannya?"

"Ah, nggak papa aja. Buruan ngomong! Atau kusuruh kamu makan rawon pake telur asin."

"Hmmm ... Iya, mana," sahut seseorang yang kuyakini itu suara Mas Virzha.

"Mama tinggal ke depan, ya. Ngomong yang baek-baek." Terdengar suara Tante Laila berpesan.

"Hallo, Bil ... kamu keluar kota?" tanya Mas  Virzha.

"Iya."

"Ke mana?"

"Ke ... mmm ...." apa aku juga harus berbohong pada Mas Virzha. Seumur-umur saat berhubungan dengannya aku tak pernah menutupi apapun darinya.

"Kamu bohong kan ke Semarang?" tanya Mas Virzha datar.

"Ada Tante Laila?" tanyaku.

"Enggak."

"Aku ada perlu, Mas. Aku belum bisa cerita sekarang. Maaf ...."

"Bil, kamu bisa bohongi semua orang. Tapi enggak ke Mama kamu. Aku tau ke mana kamu. Pulang," ucap Mas Virzha. 

"Ya mana bisa? Masa kereta lagi kenceng-kencengnya kusuruh berhenti?"

"Terus?"

"Iya ... keretanya jalan terus ini, Mas."

"Siapa yang nanya?"

"Tadi bilangnya 'terus'."

"Lebih baik kamu pulang, Bil."

"Iya, besok pulang. Insyaallah aku bisa jaga diri. Aku juga nggak aneh-aneh. Eh." 

Duh, kenapa aku bicara begitu.

"Hmm," sahutnya lalu menghela napas.

"Aku cuma pengen ...."

"Aku nggak butuh alasan dan penjelasan kamu, Bil. Pakai masker kamu," kata Mas Virzha datar.

"Oh, kok ... Mmm ... ya udah, kalo gitu, Mas. Assalamualaikum." Aku gerogi sendiri.

"Wa alaikum salam."

Sekitar pukul empat sore aku sampai di Stasiun Lempuyangan. Jam segini biasanya Ko Erik masih di toko.

Dulu, aku pernah diajaknya lewat di depan tokonya. Meskipun tak sampai masuk ke dalamnya, tapi aku masih hafal jalannya. Secara aku dulu pernah tinggal di Jogja selama empat tahunan, sampai aku lulus kuliah dan akhirnya kembali ke Surabaya.

LDR dengan Mas Virzha selama masa pendidikan, ini juga salah satu penyebab aku putus dengannya.

Butuh waktu setengah jam lebih menuju ke arah timur dari stasiun Lempuyangan untuk sampai ke toko Ko Erik. 

Kulihat dari balik kaca jendela taksi, di samping kiri tampak dua bangunan toko dua lantai lumayan besar berdiri kokoh, yang satu berjualan alat dan pakaian untuk adventure dan yang satunya adalah toko elektronik. 

Ko Erik sebenarnya juga teman kuliahku, tapi akhirnya tak menyelesaikan masa pendidikannya karena meneruskan usaha keluarga. Dulu, toko belum sebesar dan sebagus ini, sekarang terlihat lebih modern dan elegan. Oiya, setauku Ko Erik saat ini juga sedang membangun cabang baru di daerah Sentul.

Setelah aku bayar tagihan taksi, aku pun turun. Kuselempaikan tas ransel ke punggungku dan berjalan masuk ke toko alat-alat adventure. Biasanya ia memilih 'ngantor' di sini dari pada di toko elektronik. Semoga saja begitu.

"Selamat sore, ada yang bisa kami bantu, Kakak," sambut seorang pegawai setelah aku membuka pintu dan masuk ke dalamnya.

"Bisa ketemu sama Pak Erik, saya marketing dari produk Eigor. Saya sudah ada janji, bisa ketemu?" tanyaku.

"Oh, gitu. Sebentar ya, saya tanyakan dulu," jawab pegawai itu.

Aku menunggu sembari melihat ke sekelilingku. Merek dagang produk yang dijual di toko ini memang lumayan mahal. 

"Mbak, kok, kata Pak Erik nggak ada janji ya?" tanya pegawai itu sembari menutupi gagang telepon bagian mic-nya.

"Sudah, mungkin beliau lupa. Karena saya ke sini menawarkan produk baru, dan promo beli satu gratis lima," jawabku.

Lalu pegawai manggut-manggut dan kembali mengobrol dengan saluran telepon.

Setelah selesai berbincang dan menutup telepon pegawai itu berbicara lagi padaku.

"Silakan naik ke lantai dua. Nanti ada ruangan di pojokan, di sana ruangan Pak Erik. Karena sekarang beliau nasih ada tamu, mohon tunggu saja sebentar," jelas pegawai itu.

"Baik, terima kasih, Mbak," jawabku.

Aku berjalan ke arah tangga dan naik ke lantai dua.

Ternyata benar, ruangan ujung, pintunya sedang tertutup, aku duduk di kursi yang berjajar tiga tepat di depan ruangan Ko Erik.

"Hahaha ... iya, bener, bener ... hahaha ...." itu suara Ko Erik. Ya Allah, aku kangen banget dengar kelakar tawanya seperti itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status