Home / Romansa / Pesona Sang Penguasa / 1. Perjodohan Bisnis

Share

Pesona Sang Penguasa
Pesona Sang Penguasa
Author: 5Lluna

1. Perjodohan Bisnis

Author: 5Lluna
last update Last Updated: 2025-01-10 21:11:01

"Bagaimana mungkin aku bisa menikahi pria yang hanya lebih muda dua tahun dari papaku sendiri. Ini gila dan AKU TIDAK MAU!"

"Ini sama sekali tidak gila, Anna. Ini demi kita semua. Kau anak berbakti yang mau membantu keuangan keluarga kan?" Suara terdengar dari ponsel yang tertempel di telinga Anna.

"Waktu Papa bilang usia Pak Fritz itu berbeda jauh, Anna pikir itu cuma berbeda paling banyak lima belas tahun. Aku berpikir dia itu lelaki akhir tiga puluhan atau awal empat puluh, bukan akhir lima puluh, Pa."

"Sayang, usia itu hanyalah angka dan sama sekali tidak penting." Tentu saja sang papa berusaha untuk merayu putrinya. "Lagi pula, Pak Fritz itu lelaki dewasa, kaya raya dan baik. Dia pasti bisa mengayomi dan membimbingmu dengan baik. Kau satu-satunya harapan kami."

Anna yang mengurung diri di dalam bilik toilet, memijat pangkal hidungnya dengan keras. Jujur saja, dia merasa tidak nyaman dengan apa yang dikatakan sang ayah. Tapi, Anna juga tidak bisa jika pria yang akan dia temani seumur hidup adalah Pak Fritz.

"Coba temui saja dulu dia." Sang papa kembali berbicara untuk meyakinkan. "Kau belum benar-benar bertemu dengan Pak Fritz kan?"

"Aku langsung kabur ke toilet, saat Papa mengirimkan fotonya tadi." Anna mengaku dengan sangat jujur.

"Temui saja dulu dia." Papa Anna kembali membujuk. "Setelah kau mengenal Pak Fritz, Papa yakin kau akan berubah pikiran. Dia itu orang yang sangat baik dan perhatian."

Anna mengembuskan napas cukup keras sambil menutup mata, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Aku akan bertemu dengan dia, tapi tetap TIDAK AKAN MENIKAH DENGAN PRIA TUA ITU!"

Setelah puas mengucapkan kalimat terakhirnya dengan penuh penekanan, Anna menutup telepon. Dia kemudian menarik dan mengembuskan napas secara perlahan, untuk menenangkan diri sendiri.

"Untuk saat ini, cobalah untuk tenang Anna. Anggap saja kau sedang bertemu dengan dosen untuk bimbingan." Anna masih sempat menenangkan diri, sebelum akhirnya keluar dari bilik toilet yang untungnya sepi.

Sejujurnya, restoran tempat sang papa membuat janji bisa dibilang sepi. Hanya ada sekitar empat meja yang terisi dan itu semua berjauhan. Tapi, meja yang Anna tuju berada paling jauh dari pintu masuk dan toilet. Di sana, seorang pria tua sudah menunggu.

"Pak Fritz?" tanya Anna ragu-ragu.

"Dokter Anna bukan?" tanya lelaki yang dipanggil, memamerkan gigi yang masih putih dan rapi.

"Saya masih belum pernah benar-benar praktik, jadi saya rasa panggilan dokter itu berlebihan." Anna bergegas duduk di kursi kosong di depan pria tua itu.

"Benarkah? Sayang sekali. Padahal aku ingin melihatmu dalam balutan jas dokter. Pasti itu akan terlihat sangat seksi."

Anna tersentak pelan saat mendengar pernyataan bernada melecehkan itu. Perasaannya langsung menjadi tidak enak, apalagi ketika si tua Fritz makin banyak bicara saja.

"Tahun ini, aku akan genap berusia lima puluh sembilan tahun. Aku memberitahu, agar kau tidak perlu bertanya lagi. Kau juga sudah menyimpan nomorku kan? Papamu sudah memberikan nomormu padaku."

"Begitu ya?" tanya Anna dengan ekspresi meringis. "Pak Fritz baik sekali sudah mau memberitahu tanpa ditanya." Mau tidak mau, Anna tersenyum kecut.

"Tapi apa saya boleh ke toilet lebih dulu? Sepertinya saya tiba-tiba saja merasa sedang mendapatkan tamu bulanan dan perlu mengecek dan itu mungkin akan lama." Anna yang merasa tidak tahan, segera mencari alasan.

"Tentu saja, silakan."

Begitu mendapat izin, Anna bergegas untuk meninggalkan tempatnya duduk. Dia menunduk dan berjalan cepat, untuk menghindari tatapan dari orang-orang penasaran yang ada di dalam restoran tempatnya bertemu dengan Pak Fritz. Rupanya restoran itu mulai ramai.

[Princess Anna: Maaf, Pa. Aku makin yakin pernikahan ini tidak masuk akal, jadi aku memilih untuk pulang saja.]

Anna mengetikkan pesan itu untuk dikirimkan pada sang ayah, setelah dia lagi-lagi berada dalam bilik toilet. Dia bahkan tidak mengangkat telepon yang masuk kurang dari satu menit kemudian, tidak lupa juga mengirim pesan pada Pak Fritz untuk menolak.

"Tidak perlu diangkat. Jangan diangkat." Anna menggumamkan kalimat itu, ketika ponselnya bergetar keras. "Kali ini, kau bisa sedikit egois Anna. Jadi sekarang, kau pulang saja."

Yang empunya nama mengangguk yakin, lalu bergegas untuk keluar dari toilet. Padahal Anna baru saja membuka pintu toilet perempuan yang berisi lebih dari satu bilik itu, tapi seseorang sudah menabraknya. Bukan hanya sekedar menabrak, tapi menjatuhi perempuan itu.

"Hei." Anna ingin memekik, tapi dirinya tercekat. Lelaki yang menjatuhinya terlalu besar untuk dia tahan, tapi Anna tetap berusaha berdiri tegap. "Apa yang kau lakukan? Menjauh dariku."

"Sa-kit," rintih lelaki yang jatuh dipelukan Anna.

"Apa kau bilang?" Sayangnya, Anna tidak menangkap apa yang dikatakan oleh lelaki itu, karena diucapkan dalam bahasa asing. "Aku tidak mengerti."

"It hurts," bisik lelaki yang menyandarkan kepalanya di bahu Anna. "Stomach."

"Sakit perut?" tanya Anna dengan kening berkerut bingung.

Namun, sebelum lelaki itu menjawab, mereka berdua pada akhirnya ambruk ke atas lantai karena Anna tidak sanggup lagi menanggung beban tubuh dua orang. Untung saja hal itu terjadi dengan sangat pelan, sehingga punggung Anna tidak perlu terbentur dengan keras.

"Aduh! Kenapa dia berat sekali sih?" Tentu saja Anna akan mengeluh, tapi rasa kesalnya segera menguap ketika melihat lelaki asing tadi merintih kesakitan.

"Bagian mana yang sakit?" Anna refleks bertanya. "Which part hurts the most?" ulangnya karena tahu lelaki tadi mungkin tidak akan mengerti.

"Here." Lelaki tadi bersusah payah mengangkat tangan, untuk menunjukkan bagian yang paling terasa sakit dan membuatnya menderita.

Anna melihat bagian yang ditunjuk dan mengerutkan kening. Dia tidak begitu yakin, tapi dia juga jelas tidak bisa diam saja.

"Bisa berdiri?" Anna berkomunikasi dalam bahasa Inggris. "Kita harus segera ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaanmu."

"No." Sayangnya, lelaki tadi menggeleng. "Aku tidak bisa ke rumah sakit. Tidak ada orang yang boleh tahu kalau aku sakit. Tidak siapa pun juga, termasuk kau."

Anna makin mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin dia tidak tahu, ketika lelaki tadi jatuh menimpa dirinya sambil merintih kesakitan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Sang Penguasa   161. Pelantikan Penuh Kebahagiaan (END)

    "Apa aku tidak terlihat kekanakan?" tanya Anna sambil berputar di depan cermin. "Demi Tuhan, Anna!" Astrid langsung protes dengan mata melotot. "Sudah berapa kali kau menanyakan hal seperti ini? Apa kau tidak bosan?" "Sama sekali tidak." Anna malah tersenyum lebar. "Soalnya aku harus memastikan tidak membuat Alaric terlihat jauh lebih tua dariku." "Lantas, apa kau ingin terlihat lebih tua?" Tentu saja Astrid akan makin melotot. "Bagiku sih tidak ada masalah. Lagi pula, ibu negara harus lebih berwibawa bukan? Orang yang lebih tua, biasanya lebih berwibawa." "Tidak juga, tapi sudahlah. Lebih baik kau bergegas saja, agar tidak terlambat. Aku dengar, Alaric sudah selesai," ucap Astrid sambil mengulurkan sepatu yang sudah dia pilih. "Oh, maaf Ash." Anna dengan terpaksa harus menggeleng. "Kakiku benar-benar sedang sakit, jadi aku tidak akan memakai sepatu dengan hak tinggi. Flat shoes saja please." "Setidaknya kau tidak meminta sneaker." Untungnya, Astrid tidak keberatan deng

  • Pesona Sang Penguasa   160. Hadiah Ulang Tahun

    "Itu sangat memalukan." Anna memijat kepalanya."Tapi aku lihat, Tuan memakainya dengan sangat bangga." Darcy malah tersenyum, ketika melihat sang nyonya terlihat sedikit menderita. "Bahkan Ian mengatakan Tuan menyukai hadiahnya."Yang benar saja." Anna langsung membentak. "Itu adalah hadiah paling kekanakan untuk lelaki dewasa.""Tapi aku melihat Tuan menggunakannya." Darcy mengedikkan bahunya dengan santai. "Hanya sekilas saja, tapi aku melihat dia memakainya.""Sekarang aku menyesal memilih hadiah itu dan menyesal memberinya di pagi buta tadi." Anna kini menyugar rambutnya dengan frustrasi."Nyonya, tolong rambutnya jangan dibuat berantakan." Darcy tentu saja langsung protes. "Para penata rambut itu baru saja mengeringkan rambutmu.""Baru dikeringkan, Darcy. Ini sama sekali belum ditata, jadi kau tidak perlu histeris seperti itu."Anna kembali memijat pangkal hidungnya. Dia kini merasa ingin segera kabur saja dari salon yang dia datangi, lalu nanti, Elizabeth dan Astrid jug

  • Pesona Sang Penguasa   159. Hadiah

    "Kenapa kau terus menatap kami seperti itu?" hardik Elizabeth dengan mata melotot. "Mom pikir pukulan kalian itu tidak sakit?" balas Alaric ikut melotot. "Siapa suruh bahasa yang kalian gunakan itu terlalu ambigu." Kali ini, Astrid yang protes. "Maaf." Tentu saja pada akhirnya Anna yang meringis karena merasa bersalah. "Lain kali, aku akan lebih memperjelas ucapanku." "Tidak perlu merasa bersalah, Nak. Yang seharusnya disalahkan ini adalah suamimu, karena tidak bisa meluruskan apa yang kau katakan." Elizabeth malah membela menantunya. Merasa tidak akan pernah bisa menang melawan para perempuan di keluarganya itu, Alaric memilih untuk mengangkat kedua tangannya ke udara. Mungkin lebih baik kalau dia melihat awan dari jendela pesawat pribadi yang mereka naiki. Setelah tinggal satu hari lagi, keluarga Crawford pada akhirnya memilih untuk segera pulang ke rumah. Walau Alaric sudah memutuskan ingin mundur dari jabatan menterinya, walau belum pelantikan, tapi banyak yang harus d

  • Pesona Sang Penguasa   158. Benar-Benar Selingkuh

    "Hei, maaf. Apa aku membangunkanmu?" Anna yang baru terbangun dari tidur panjangnya, langsung melebarkan senyum ketika dia mendengar suara itu. Walau masih agak mengantuk, tapi tentu saja dia bisa mengenali suara suaminya sendiri. "Tidurlah lagi," pinta Alaric ikut tersenyum, ketika sang istri malah mendekat padanya dan memberikan pelukan. "Aku ingin melakukannya, tapi aku juga mau mendengar petualanganmu," ucap Anna yang kini menjadikan dada sang suami sebagai bantalnya. "Petualangan?" Mau tidak mau Alaric tertawa pelan. "Petualangan apa yang kau maksud?" "Tentu saja petualanganmu menemukanku," jawab Anna masih dengan mata mengantuknya. "Aku ingin tahu lebih banyak lagi, sebelum nantinya kau sibuk dengan pekerjaan." "Oh, kau benar." Alaric baru teringat kalau masa jabatannya tinggal menunggu beberapa bulan lagi. "Tapi aku harus menyiapkan pesta ulang tahun dulu sebelumnya." "Nanti aku akan membantumu, jadi coba ceritakan padaku apa yang terjadi dan bagaimana kau menemuk

  • Pesona Sang Penguasa   157. Manusia Rendahan

    Pelayan yang tadi mengetuk pintu, tersentak pelan. Setelahnya, dia maju melangkah dengan sangat perlahan dan membuat apa yang tersembunyi di belakangnya terlihat."Hai, Brother." Sapa Alaric yang tengah menodongkan pistol pada pelayan di depannya."Wah, aku tidak menyangka kau bisa menemukan tempat ini." Walau kesal, Fritz masih tetap bisa tersenyum pada adik lain ibunya itu."Kau pikir hanya karena kau kaya, aku tidak tahu apa yang kau punya?" tanya Alaric masih menodongkan pistolnya. "Aku lebih kaya, Bro. Informasi tentangmu mengalir dengan cepat hanya karena uang.""Sombong," desis Fritz mulai marah. "Kita akan lihat sampai mana kesombonganmu itu bertahan."Fritz tiba-tiba saja melangkah cepat ke arah Anna. Dia sudah tua dan bisa dibilang lambat, tapi Alaric pun tidak bisa bergerak cepat karena ada sedikit halangan di depannya. Apalagi, jarak Fritz dengan Anna lebih dekat dibanding Alaric."Lepaskan istriku," ucap Alaric disertai dengan desisan pelan."Sayangnya, aku tidak

  • Pesona Sang Penguasa   156. Ruang Rahasia

    "Tuan, mobil sudah siap." Suara Caspian terdengar dari headset yang dipakai Alaric. "Tapi, kita agak kesulitan mendapatkan pengawal tambahan. Hanya ada dua yang bersamaku dan hanya sedikit yang ada di sekitar sana.""Carikan saja," balas Alaric yang masih duduk di dalam kokpit helikopter. "Aku juga sudah meminjam pengawal Levi yang dia bawa dan meminta tolong pada Megumi.""Oh, rupanya perempuan itu berguna juga." Caspian mendengus pelan. "Aku juga sudah mencari tahu lokasi terakhir mereka dan sepertinya cukup jauh.""Bagikan saja lokasinya dan aku akan mencoba untuk mencari tempat mendarat yang tepat," ucap Alaric yang kini menutup mata dan bersandar ke kursi. "Carikan juga cara, agar aku tidak ketahuan.""Tentu saja, Tuan. Aku akan tiba sebentar lagi."Alaric mengembuskan napas yang terasa sangat berat. Dirinya sudah sangat lelah setelah penerbangan yang sangat jauh, tapi tetap tidak bisa berbaring untuk istirahat karena Anna belum ditemukan."Kenapa juga belum ada kabar dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status