"Ini kamarku?" tanya Anna dengan kening berkerut. "Lalu kamarmu di mana? Tidak di sini juga kan?"
"Memangnya ada masalah dengan itu?" Alaric membalas dengan pertanyaan juga. Anna menaikkan sebelah alisnya. Dia sudah setuju untuk ikut ke rumah Alaric, dengan anggapan akan ada pelayan di sana dan mereka tidak akan berdua saja. Tapi mereka akan sekamar? "Tentu saja bermasalah." Anna langsung protes. "Walau nanti kita akan menikah, tapi bukan berarti aku akan tidur sekamar denganmu. Apalagi sebelum menikah." "Siapa yang mengatakan aku akan tidur sekamar denganmu?" tanya Alaric dengan kening berkerut. "Loh, bukankah tadi kau mengatakan seperti itu?" Anna membalas dengan pertanyaan. "Aku tidak mengatakan seperti itu." Alaric sudah akan beranjak pergi, tapi ditahan. "Ketika aku bertanya tentang kamarmu, kau mengatakan apa ada masalah dengan itu. Menurutmu apa yang akan ada dipikiranku, ketika kau mengatakan sesuatu seperti itu?" Kening Alaric berkerut. Padahal dia sudah berbaik hati memberikan kamar paling luas di rumahnya ini, tapi kenapa Anna masih banyak bertanya. Jujur saja, itu membuatnya sedikit kesal. "Ini memang kamarku," balas Alaric dengan ekspresi yang tidak jauh berbeda. "Semua kamar yang ada di rumah ini adalah milikku, jadi tentu saja tidak ada yang salah." Anna menaikkan kedua alis dan membuka sedikit mulutnya. Jujur saja, dia tidak menyangka akan mendapatkan penjelasan seperti barusan. Tidak salah, tapi terasa sangat menyebalkan. "Baiklah." Anna mengangkat kedua tangan. "Aku akan tidur di sini dan kau akan tidur di kamar lain kan?" "Kamarku tepat di sebelahmu." Alaric menunjuk dengan kedikan kepala pelan. "Ada pintu penghubung di dalam, tapi kau bisa menguncinya. Nanti Darcy akan memberikan kuncinya padamu." "Lalu apa kau juga punya kunci cadangan?" Anna masih bertanya. "Aku pemilik rumah ini," jawab Alaric mulai terlihat kesal. "Jadi kalau kau tidak mau tidur di sini atau masih banyak tanya, mungkin aku akan memintamu tidur di pinggir jalan." "Yang mana yang namanya Darcy?" Anna benar-benar menahan diri untuk tidak berteriak. "Nanti dia akan datang padamu, sekalian menyiapkan beberapa hal untukmu." Setelah mengatakan hal itu, Alaric memilih untuk pergi dan masuk ke kamar sendiri. Dia bahkan membanting pintu. "Dasar psikopat gila," gumam Anna sudah ingin memukul, tapi tidak ada orang yang bisa dipukul. "Apa kau Nona baru kami?" Seorang perempuan yang terlihat lebih tua dari Anna tiba-tiba saja muncul. "Oh, astaga! Dari mana kau muncul?" tanya Anna merasa sedikit terkejut. "Aku muncul dari sana." Perempuan paruh baya itu menunjuk ke arah tangga. "Lalu, aku datang atas perintah Tuan Alaric. Namaku Darcy. "Oh, Darcy. Senang melihatmu. Aku Anna." "Senang bertemu denganmu Nona Anna." Darcy sedikit menekuk lutut untuk memberi hormat, membuat uluran tangan Anna jadi terlihat sia-sia. Mau tidak mau, Anna menarik kembali uluran tangan itu. "Karena aku rasa Nona sudah lelah, aku tidak akan mengajak Nona berkeliling. Mungkin aku hanya perlu memperlihatkan beberapa hal yang ada di dalam kamar." Darcy menuntun perempuan yang dia panggil Nona itu ke dalam kamar dan menyalakan lampu. Awalnya Anna merasa kamar itu akan berbau apek karena jarang ditempati, tapi rupanya tidak seperti itu. Kamarnya terlihat sangat bersih, bahkan seolah dibersihkan setiap harinya. Makin terlihat bersih, karena dindingnya juga berwarna putih. "Kamarnya cantik," gumam Anna secara tidak sadar, sembari mengelus permukaan nakas berwarna putih. "Aku senang karena Nona menyukai kamar ini." Darcy tersenyum tipis. "Tapi jika ada yang Nona Anna tidak suka ...." "Aku suka semuanya." Anna dengan cepat membalas. "Ranjang putih, nakas putih. Bahkan benda yang tampak seperti partisi yang di belakang ranjang ini terlihat indah, terutama karena ada lampu yang menerangi," lanjut Anna dengan senyum lebar. "Indah sekali." "Warnanya tidak putih bersih. Ada campuran cream dan putih tulang, tapi aku senang Nona menyukainya. Jadi sekarang aku rasa Nona harus melihat walk in closetnya." Darcy membimbing Anna menuju ke dekat jendela besar dengan gorden putih. Di tembok tak jauh dari sana dan cukup dekat dengan ranjang, ada sebuah pintu kecil dengan pegangan pintu berbentuk bulat besar. Darcy mendorong pintu itu dengan mudahnya. "Di sini belum banyak barang, tapi nanti Nona Anna boleh mengisinya sesuka hati." "Wow. Ini besar." Anna tidak mungkin tidak terkejut melihat isi lemari yang memang baru terisi sedikit saja. Di sana ada lemari pakaian, lemari tas, etalase yang digunakan untuk memajang perhiasan dan ada juga beberapa laci yang tertutup. Besarnya nyaris lebih besar dari kamarnya dan itu sangat tidak masuk akal. "Untuk pakaian tidur, ada di sebelah sini." Darcy membuka lemari terdekat dan menunjuk salah satu tumpukan baju yang terlipat. "Kami baru membeli beberapa helai saja untuk Nona pakai." "Pakaian sehari-hari ada di sini." Darcy kembali membuka lemari yang lain. "Lalu di sini ada pakaian semi formal, di sebelahnya adalah pakaian formal. Pakaian dalam ada di dalam laci yang tertutup. Semuanya sudah disesuaikan dengan ukuran Nona Anna." "Sebentar." Anna menaikkan sebelah tangan untuk meminta jeda dari penjelasan Darcy. "Bagaimana bisa semua pakaian di sini sudah disesuaikan dengan ukuranku?" "Tentu saja ini semua atas perintah Tuan Alaric." Darcy menjawab dengan senyum tipis yang tidak pernah lepas dari wajahnya. "Lagi pula, butik sudah mengukur saat Nona berada di sana tadi." "Tapi bukan dia yang memilih semua barang ini kan?" tanya Anna dengan mata yang melebar dan kedua alis terangkat. "Tuan Alaric yang memilih semuanya saat Nona sedang sibuk berganti pakaian. Setidaknya, itu yang dikatakan oleh ajudan sekaligus pengawal Tuan.""Apa aku tidak terlihat kekanakan?" tanya Anna sambil berputar di depan cermin. "Demi Tuhan, Anna!" Astrid langsung protes dengan mata melotot. "Sudah berapa kali kau menanyakan hal seperti ini? Apa kau tidak bosan?" "Sama sekali tidak." Anna malah tersenyum lebar. "Soalnya aku harus memastikan tidak membuat Alaric terlihat jauh lebih tua dariku." "Lantas, apa kau ingin terlihat lebih tua?" Tentu saja Astrid akan makin melotot. "Bagiku sih tidak ada masalah. Lagi pula, ibu negara harus lebih berwibawa bukan? Orang yang lebih tua, biasanya lebih berwibawa." "Tidak juga, tapi sudahlah. Lebih baik kau bergegas saja, agar tidak terlambat. Aku dengar, Alaric sudah selesai," ucap Astrid sambil mengulurkan sepatu yang sudah dia pilih. "Oh, maaf Ash." Anna dengan terpaksa harus menggeleng. "Kakiku benar-benar sedang sakit, jadi aku tidak akan memakai sepatu dengan hak tinggi. Flat shoes saja please." "Setidaknya kau tidak meminta sneaker." Untungnya, Astrid tidak keberatan deng
"Itu sangat memalukan." Anna memijat kepalanya."Tapi aku lihat, Tuan memakainya dengan sangat bangga." Darcy malah tersenyum, ketika melihat sang nyonya terlihat sedikit menderita. "Bahkan Ian mengatakan Tuan menyukai hadiahnya."Yang benar saja." Anna langsung membentak. "Itu adalah hadiah paling kekanakan untuk lelaki dewasa.""Tapi aku melihat Tuan menggunakannya." Darcy mengedikkan bahunya dengan santai. "Hanya sekilas saja, tapi aku melihat dia memakainya.""Sekarang aku menyesal memilih hadiah itu dan menyesal memberinya di pagi buta tadi." Anna kini menyugar rambutnya dengan frustrasi."Nyonya, tolong rambutnya jangan dibuat berantakan." Darcy tentu saja langsung protes. "Para penata rambut itu baru saja mengeringkan rambutmu.""Baru dikeringkan, Darcy. Ini sama sekali belum ditata, jadi kau tidak perlu histeris seperti itu."Anna kembali memijat pangkal hidungnya. Dia kini merasa ingin segera kabur saja dari salon yang dia datangi, lalu nanti, Elizabeth dan Astrid jug
"Kenapa kau terus menatap kami seperti itu?" hardik Elizabeth dengan mata melotot. "Mom pikir pukulan kalian itu tidak sakit?" balas Alaric ikut melotot. "Siapa suruh bahasa yang kalian gunakan itu terlalu ambigu." Kali ini, Astrid yang protes. "Maaf." Tentu saja pada akhirnya Anna yang meringis karena merasa bersalah. "Lain kali, aku akan lebih memperjelas ucapanku." "Tidak perlu merasa bersalah, Nak. Yang seharusnya disalahkan ini adalah suamimu, karena tidak bisa meluruskan apa yang kau katakan." Elizabeth malah membela menantunya. Merasa tidak akan pernah bisa menang melawan para perempuan di keluarganya itu, Alaric memilih untuk mengangkat kedua tangannya ke udara. Mungkin lebih baik kalau dia melihat awan dari jendela pesawat pribadi yang mereka naiki. Setelah tinggal satu hari lagi, keluarga Crawford pada akhirnya memilih untuk segera pulang ke rumah. Walau Alaric sudah memutuskan ingin mundur dari jabatan menterinya, walau belum pelantikan, tapi banyak yang harus d
"Hei, maaf. Apa aku membangunkanmu?" Anna yang baru terbangun dari tidur panjangnya, langsung melebarkan senyum ketika dia mendengar suara itu. Walau masih agak mengantuk, tapi tentu saja dia bisa mengenali suara suaminya sendiri. "Tidurlah lagi," pinta Alaric ikut tersenyum, ketika sang istri malah mendekat padanya dan memberikan pelukan. "Aku ingin melakukannya, tapi aku juga mau mendengar petualanganmu," ucap Anna yang kini menjadikan dada sang suami sebagai bantalnya. "Petualangan?" Mau tidak mau Alaric tertawa pelan. "Petualangan apa yang kau maksud?" "Tentu saja petualanganmu menemukanku," jawab Anna masih dengan mata mengantuknya. "Aku ingin tahu lebih banyak lagi, sebelum nantinya kau sibuk dengan pekerjaan." "Oh, kau benar." Alaric baru teringat kalau masa jabatannya tinggal menunggu beberapa bulan lagi. "Tapi aku harus menyiapkan pesta ulang tahun dulu sebelumnya." "Nanti aku akan membantumu, jadi coba ceritakan padaku apa yang terjadi dan bagaimana kau menemuk
Pelayan yang tadi mengetuk pintu, tersentak pelan. Setelahnya, dia maju melangkah dengan sangat perlahan dan membuat apa yang tersembunyi di belakangnya terlihat."Hai, Brother." Sapa Alaric yang tengah menodongkan pistol pada pelayan di depannya."Wah, aku tidak menyangka kau bisa menemukan tempat ini." Walau kesal, Fritz masih tetap bisa tersenyum pada adik lain ibunya itu."Kau pikir hanya karena kau kaya, aku tidak tahu apa yang kau punya?" tanya Alaric masih menodongkan pistolnya. "Aku lebih kaya, Bro. Informasi tentangmu mengalir dengan cepat hanya karena uang.""Sombong," desis Fritz mulai marah. "Kita akan lihat sampai mana kesombonganmu itu bertahan."Fritz tiba-tiba saja melangkah cepat ke arah Anna. Dia sudah tua dan bisa dibilang lambat, tapi Alaric pun tidak bisa bergerak cepat karena ada sedikit halangan di depannya. Apalagi, jarak Fritz dengan Anna lebih dekat dibanding Alaric."Lepaskan istriku," ucap Alaric disertai dengan desisan pelan."Sayangnya, aku tidak
"Tuan, mobil sudah siap." Suara Caspian terdengar dari headset yang dipakai Alaric. "Tapi, kita agak kesulitan mendapatkan pengawal tambahan. Hanya ada dua yang bersamaku dan hanya sedikit yang ada di sekitar sana.""Carikan saja," balas Alaric yang masih duduk di dalam kokpit helikopter. "Aku juga sudah meminjam pengawal Levi yang dia bawa dan meminta tolong pada Megumi.""Oh, rupanya perempuan itu berguna juga." Caspian mendengus pelan. "Aku juga sudah mencari tahu lokasi terakhir mereka dan sepertinya cukup jauh.""Bagikan saja lokasinya dan aku akan mencoba untuk mencari tempat mendarat yang tepat," ucap Alaric yang kini menutup mata dan bersandar ke kursi. "Carikan juga cara, agar aku tidak ketahuan.""Tentu saja, Tuan. Aku akan tiba sebentar lagi."Alaric mengembuskan napas yang terasa sangat berat. Dirinya sudah sangat lelah setelah penerbangan yang sangat jauh, tapi tetap tidak bisa berbaring untuk istirahat karena Anna belum ditemukan."Kenapa juga belum ada kabar dari