"Tuan, mobil sudah siap." Suara Caspian terdengar dari headset yang dipakai Alaric. "Tapi, kita agak kesulitan mendapatkan pengawal tambahan. Hanya ada dua yang bersamaku dan hanya sedikit yang ada di sekitar sana.""Carikan saja," balas Alaric yang masih duduk di dalam kokpit helikopter. "Aku juga sudah meminjam pengawal Levi yang dia bawa dan meminta tolong pada Megumi.""Oh, rupanya perempuan itu berguna juga." Caspian mendengus pelan. "Aku juga sudah mencari tahu lokasi terakhir mereka dan sepertinya cukup jauh.""Bagikan saja lokasinya dan aku akan mencoba untuk mencari tempat mendarat yang tepat," ucap Alaric yang kini menutup mata dan bersandar ke kursi. "Carikan juga cara, agar aku tidak ketahuan.""Tentu saja, Tuan. Aku akan tiba sebentar lagi."Alaric mengembuskan napas yang terasa sangat berat. Dirinya sudah sangat lelah setelah penerbangan yang sangat jauh, tapi tetap tidak bisa berbaring untuk istirahat karena Anna belum ditemukan."Kenapa juga belum ada kabar dari
"Aku tidak mengenalmu." Tentu saja itu adalah hal pertama yang diucapkan oleh Fritz, ketika melihat Megumi. "Tapi rasanya, aku mengenal lelaki di belakangmu. Apa kita pernah bertemu?""Oh, tidak." Levi dengan cepat menggeleng. "Tentu saja tidak.""Baiklah, untuk saat ini aku tidak akan terlalu peduli dengan siapa kalian." Untungnya Fritz mengangguk, seolah bukan apa-apa. Hal yang membuat dua orang yang menerjang masuk itu bisa sedikit mengembuskan napas lega, walau ternyata kelegaan itu hanya bisa bertahan sebentar saja."Tapi tentu saja aku akan menuntut kalian atas semua kerusakan dan kerugian yang aku timbulkan," lanjut Fritz kini memasang ekspresi tidak senang."Yang benar saja." Kini mau tidak mau, Megumi kembali berakting. "Setelah kau yang mengundangku dan para pengawalmu yang kurang ajar, kenapa harus aku yang mengganti rugi?""Karena aku tidak pernah mengundangmu. Kau penipu.""Tapi kau memang mengundangku." Kini Megumi merogoh kantongnya. "Apa kau mau melihat bukti
"Apa yang terjadi?" Anna bertanya pada diri sendiri, karena semua orang pergi meninggalkannya. "Apa yang kau lakukan di situ?" Seorang pelayan masuk ke dalam kamar dan itu adalah pelayan yang memberinya surat kemarin malam. "Kenapa malah tinggal dan tidak segera kabur?" "Masalahnya, aku tidak bisa." Anna yang sejak tadi berusaha untuk berdiri dengan tegak, kini tiba-tiba saja terjatuh dan duduk di lantai. "Rasanya sesak dan panas." "Jangan bilang kau memakan makanan yang dibawakan untukmu?" Si pelayan jelas saja akan melotot. "Aku kan sudah memberi peringatan." "Tapi peringatanmu datang terlambat," ucap Anna berusaha untuk mengatur napas, sambil berbicara. "Aku sudah makan sedikit ketika suratmu datang dari bawah celah pintu. Tapi, kenapa tiba-tiba menolongku?" "Kau masih bertanya?" Pelayan tadi hanya bisa geleng-geleng kepala. Si pelayan tidak banyak berbicara dan memilih untuk membantu Anna bangun. Tentu saja, itu membuat Anna sedikit bingung. Apalagi, perempuan itu jela
"Tunggu dulu, Nona." Seorang lelaki, menghalangi seorang perempuan yang memaksa masuk melewati pagar. "Kau tidak bisa masuk seenaknya.""Apa yang kau maksud dengan tidak bisa masuk seenaknya?" tanya Megumi dengan mata melotot. "Aku ini datang dengan undangan pemilik rumah, aku ini pacarnya.""Kami mengerti kau mungkin pacar Tuan." Lelaki yang lain mencoba untuk menjelaskan dengan lebih pelan. "Tapi biar bagaimana, sekarang ini Tuan kami sedang tidak bisa diganggu. Jadi mungkin ....""Omong kosong." Megumi malah mendorong lelaki yang baru saja bicara. "Kalau kau tidak ingin aku dan mobilku masuk, maka biarkan aku masuk sendiri saja. Aku bisa jalan kaki, walau nanti kakiku bisa lecet.""Nona, kami mohon." Lelaki kedua kembali mencoba dengan lembut."Kalau kau tidak ingin celaka, mungkin lebih baik kau pergi saja." Berbeda dengan lelaki kedua, lelaki pertama memilih cara yang lebih kasar. "Kau bahkan tidak mau membiarkan kami melapor pada Tuan.""Oh, kau berani kurang ajar padaku
"Dia meminta pembalut?" tanya Fritz dengan sebelah alis terangkat. "Memangnya ada masalah dengan itu?" "Bukankah Tuan ingin memanfaatkan tubuh Nona Anna?" tanya asisten Fritz dengan kedua alis yang terangkat. "Kau tidak mungkin melakukannya saat dia sedang mendapat tamu bulanan bukan?" "Kenapa memangnya? Tidak boleh?" Si tua Fritz malah balas bertanya. "Itu jelas bukan hal yang sehat, Tuan." Kini si asisten makin mengerutkan kening. "Memangnya kau pikir apa gunanya karet pengaman?" Kini giliran Fritz yang menaikkan kedua alis. "Lagi pula kau pikir kenapa sampai sekarang aku masih sehat, walau sudah meniduri banyak lelaki dan perempuan? Aku tidak pernah melewatkan menggunakan proteksi." "Jadi kau berhentilah membicarakan masalah kesehatan dan lakukan sesuai rencana. Masukkan obat ke dalam apa pun yang dimakan oleh Anna dan beritahu aku kalau obatnya sudah bekerja." "Aku akan meminta orang-orang agar memantau CCTV di kamar itu lebih seksama." Mau tidak mau, si asisten menurut
"Maaf, aku membutuhkan pembalut. Apa kalian punya yang cukup panjang dan bersayap?" tanya Anna menggunakan telepon interkom yang tergantung di dekat pintu. "Sekalian saja bawakan aku pakaian dalam baru dan lebih banyak cokelat, air, juga camilan." Setelah mengatakan apa yang dia inginkan, Anna berjalan menuju jendela lagi. Hari kini sudah mulai makin malam, tapi untungnya penerangan masih bagus. Setidaknya, Anna masih bisa melihat penjaga yang sedang bertugas. "Aku membawakan yang kau minta." Seorang perempuan berbeda dari yang pertama kali, masuk dengan wajah masam. "Lalu tolong tahu dirilah sedikit." "Apa ada masalah?" tanya Anna dengan kedua alis yang terangkat. "Bukankah si Tua Bangka Fritz itu membebaskan aku melakukan dan meminta apa pun, selagi aku ada di dalam kamar ini." "Itu benar, tapi setidaknya tahu dirilah," hardik pelayan perempuan tadi, sama sekali tidak menyembunyikan amarahnya. "Jangan hanya karena kau adalah mainan baru dan masih disayang, lantas kau berniat
"Untuk sementara ini, aku akan membiarkanmu istirahat. Tapi besok, kau harus bekerja keras, agar aku bisa menghancurkan Alaric." Kalimat Fritz terngiang-ngiang di kepala Anna. Demi apa pun, dia sama sekali tidak menyangka kalau pria tua yang dulu dijodohkan dengannya adalah iparnya. Sekarang, Anna tahu kenapa dia merasa familiar dengan foto keluarga sang suami. "Padahal mereka sama sekali tidak mirip," gumam Anna yang kini sudah bisa bebas mondar-mandir di dalam kamar. "Dari segi tampang dan sifat, mereka sama sekali tidak mirip." "Tapi masalahnya sekarang bukan itu, Anna. Sekarang masalahnya adalah kau harus segera kabur." Kini Anna mendekat ke arah jendela untuk melihat keadaan. Kabur lewat jendela jelas bukan sesuatu yang aman. Selain karena kamarnya berada di lantai tiga, Anna bisa melihat ada penjaga yang lalu-lalang di bawah jendela kamarnya. Mereka tidak terlihat membawa senjata, tapi tetap saja berbahaya. Pilihan berikutnya jelas adalah pintu kamar, tapi itu juga jel
"Sepertinya kau sudah melupakanku ya?" ucap Fritz dengan senyum miring yang membuat lawan bicaranya gemetar. "Padahal rasanya, aku sudah memberitahumu dengan jelas bukan?" "Layani aku atau mati," lanjut Fritz dalam desisan pelan. Anna sampai perlu menjauhkan wajahnya, karena wajah pria tua yang berbicara dengannya itu terlalu dekat. Wajah yang terlalu dekat itu, membuat Anna makin ketakutan saja. Dia bahkan nyaris mengigit lidah sendiri karenanya. "Kenapa kau malah gemetar?" tanya Fritz yang kini membelai wajah perempuan di depannya, kali ini membuat Anna berjengit pelan. "Apa kau takut?" "Menurutmu?" tanya Anna setelah menelan liur sebanyak dua kali, berusaha sekuat tenaga untuk terlihat biasa saja. "Apa kau pantas ditakuti?" "Tentu saja," balas pria tua itu, menepuk pipi sanderanya dengan pelan. "Sudah seharusnya semua orang patuh dan takut padaku." "Sayang sekali, tapi aku tidak," balas Anna makin mengeraskan kepalan tangannya, demi memupuk sedikit saja keberanian. "Bag
"Aku sedang membayar," jawab Anna memaksakan senyum. "Tapi aku melihat kau sedang menelepon." Pak sopir yang menghampiri, langsung membantah. "Memangnya aku tidak boleh menelepon?" tanya Anna berusaha untuk tenang. Petugas kasir yang merasa bingung, hanya bisa memperhatikan dua orang yang sepertinya sedang berdebat itu. Dia sebenarnya ingin menyela dan segera meminta bayaran, tapi situasi tidak begitu mendukung. "Sayangnya, kau tidak diizinkan untuk menelepon." Ekspresi ramah sang sopir, kini berubah menjadi lebih kaku. Dia bahkan tidak segan untuk merampas ponsel Anna. "Hei, itu ponselku." Tentu saja Anna berusaha untuk mengambil kembali miliknya. Sayang sekali, sepertinya sang sopir sudah kehabisan kesabaran dan memilih untuk menodongkan pistol. "Bersikap baiklah, atau kau akan tahu akibatnya," ucapnya terlihat sedikit kesal. Mau tidak mau, Anna mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Bahkan petugas kasir minimarket pun melakukan hal yang sama. "Sekarang, jalan di de