Share

Bab. 1 Kabar dari Istana

Seorang pria berdiri di tengah panggung alun-alun. Bajunya yang bernuansa merah terang begitu mencolok. Manset emas yang dikenakannya menandakan bahwa ia memiliki posisi penting dalam kerajaan. Rambutnya yang pirang dibentuk sedemikian rupa hingga melengkung di ujungnya. Raut wajahnya kaku, begitupun dengan gesturnya. Dua orang prajurit mengapitnya. Mereka memukul gong kecil yang dibawanya guna meminta perhatian para penduduk yang berada di sekitar.

Pagi hari begini, para penduduk memadati alun-alun yang juga digunakan untuk berjualan, atau tukar menukar barang, hasil panen, maupun ternak. Penduduk Negeri Veggur berbondong-bondong memenuhi kebutuhan mereka karena musim dingin telah tiba. Sebelum badai salju datang, mereka harus memenuhi stok kebutuhan makanan kalau tidak mau mati sia-sia.

Setelah mendapat perhatian para penduduk, lelaki berwajah kaku tadi mengangkat tangannya yang berisi sebuah gulungan perkamen. Melihatnya, tahulah para penduduk bahwa sang lelaki merupakan juru bicara Raja Valdimar, raja negeri tersebut. Mereka diam, menunggu titah raja atau kabar dari istana yang akan dibacakan oleh sang juru bicara.

Dengan suara lantang, juru bicara raja itu mengumumkan, “Sebagaimana telah kalian semua ketahui bahwa Jon Addalward telah melakukan kejahatan serius dengan mempermalukan negara. Dengan ini Raja Valdimar Westmoor memberitahukan bahwa eksekusi adalah hukuman yang pantas untuknya. Sedangkan anaknya yaitu Fjola Addalward yang sebelumnya terpilih menjadi permaisuri Pangeran Barrant Westmoor akan diturunkan dari posisinya. Sebagai ganti, Lilija Uggi, putri dari Negeri Vetur dipilih sebagai calon permaisuri baru dari pangeran.”

Dengung terdengar dari mulut penduduk yang saat itu mendengarkan kabar mengejutkan dari istana. Mereka saling berbisik dengan teman sebelahnya. Sebagian menyayangkan berita itu, sebagian lagi antusias. Beberapa orang menduga bahwa calon permaisuri yang diturunkan telah lari dengan prajurit yang disukainya. Maka dari itu statusnya dicopot. Beberapa yang lain tidak percaya dengan gosip itu. Menurut mereka tak ada wanita yang dapat menolak pesona sang pangeran. Selain gagah, ia juga baik. Tampan pula. Tak ada prajurit yang mampu menandinginya. Mereka percaya pasti ada yang tak beres dengan kepergian sang calon permaisuri. Meski begitu, tak ada yang benar-benar tahu alasan sang calon permaisuri digantikan.

Sementara itu di istana, Barrant yang mendengar pengumuman itu menerobos balairung ayahnya. Dengan wajah geram ia menyingkirkan dua prajurit yang menghalanginya masuk. “Apa-apaan ini? Kenapa Ayah seenaknya mengganti posisi Fjola?” katanya mendekati singgasana.

Sang raja yang tengah bercakap dengan penasihatnya pun terkejut. Ia mengibaskan tangan sekilas, menyuruh penasihatnya keluar. “Tidak apa-apa,” katanya kepada prajurit yang merangsek masuk. “Tutup pintunya,” tambahnya kemudian.

Setelah para prajurit kembali keluar dan menutup pintu, Raja Valdimar bangkit dari kursi kebesarannya yang berhiaskan emas. Ia menjelaskan kepada anaknya, “Kau sudah memilih Putri Lilija kemarin.”

“Bukan aku yang memilih Putri Lilija untuk menjadi permaisuriku,” elak Barrant. Rambutnya yang cokelat kemerahan disisir ke belakang dengan rapi. Alisnya berkerut, matanya memandang sang raja dengan kecewa. Wajahnya yang tampan tertekuk. “Aku memilih Fjola untuk menjadi permaisuriku. Tapi, kau memaksaku memilih satu gadis lagi untuk menjadi selir. Namun, sekarang apa? Kenapa malah gadis lain yang akan menjadi permaisuriku?"

Raja Valdimar mendecakkan lidah. “Fjola pergi meninggalkamu, sedangkan Lilija tidak. Dia ada di sini. Siap kaunikahi kapan pun kau mau."

“Fjola tidak mungkin meninggalkanku. Dia diculik. Dan, aku tidak ingin menikahi Lilija. Yang diinginkan adalah Fjola. Fjola!" ucap Barrant keras kepala.

Raja Valdimar mengibaskan tangan skeptis. “Kalau memang Fjola tidak meninggalkanmu, apa kau bisa jelaskan ke mana pengawal pribadimu berada?”

Barrant diam saja. Dia tak memiliki jawaban atas pertanyaan ayahnya.

“Tidak, kan? Itu karena Fjola lari dengannya.”

Barrant menggeleng kuat-kuat. “Tidak. Fjola tidak lari bersama Aguste.”

“Bagaimana dengan surat-surat itu? Fjola mengirim surat mesra kepada Aguste.”

Barrant memutar bola matanya. “Aku sudah memberitahumu, Ayah. Surat itu adalah surat yang dikirim Fjola untukku. Aku menggunakan nama Aguste karena aku tak mau orang-orang tahu bahwa aku berhubungan dengan calon selirmu. Kupikir, Fjola akan menjadi selirmu. Kalau aku tahu bahwa pemilihan kali ini adalah mencari permaisuri untukku, maka aku tak akan berpura-pura menjadi prajurit supaya dapat mendekatinya.”

Raja Valdimar kembali duduk ke singgasananya. Ia melirik singgasana ratu yang kosong kemudian mendesah. Ratu Elnora telah tiada. Beliau wafat saat perang. Beliau mengorbankan diri dengan menciptakan perisai gaib yang dapat melindungi kaum manusia yang tersisa. Perisai itu ia tanamkan ke dalam tembok perbatasan yang mengelilingi lima negeri para manusia. Tepat di saat tembok itu selesai dibangun, beliau dibunuh seorang peri jahat. 

Setelah Ratu Elnora wafat, Raja Valdimar tidak mau mengangkat orang lain sebagai ratunya. Menurutya tak ada yang mampu menggantikan Elnora. Sebagai gantinya, keempat negeri dalam naungan tembok pelindung setiap tahun mengirimkan putri raja maupun putri bangsawan untuk dipilih menjadi selir sebagai bentuk terima kasih mereka terhadap Negeri Veggur. Namun, dalam pemilihan kali ini, sang raja berinisiatif mengubahnya menjadi pemilihan permaisuri untuk pangeran. Hal itu ia lakukan karena ia merasa sudah saatnya sang putra mengemban tanggung jawabnya sebagai putra mahkota. Akhirnya ia menjelaskan, “Kau harus segera menikah. Aku perlu penerus, Barrant, dan kau satu-satunya putraku. Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi."

“Beri aku waktu, Ayah,” pinta Barrant. “Aku pasti akan menemukan Fjola.”

Hening mewarnai aula yang luas itu. Hanya suara napas yang terdengar. Kemudian, sang raja memutuskan, “Satu minggu.”

“Tiga bulan,” sahut Barrant menawar.

Raja Valdimar menggeleng. Rambutnya yang panjangnya setelinga dan bergelombang menampar pipi. Meski begitu, mahkota emasnya bergeming. “Satu bulan, atau tidak sama sekali,” katanya.

Barrant tak memiliki pilihan. “Baiklah.”

“Jika dalam satu bulan Fjola tidak kembali, kau akan menikah dengan Putri Lilija.”

“Aku yakin Fjola pasti kembali. Aku akan mencarinya.” Barrant berbalik.

Sebelum anaknya mencapai pintu balairung, Raja Valdimar berseru, “Kau tidak boleh menyuruh semua prajurit untuk mencarinya. Aku butuh mereka mempertahankan tembok perbatasan. Apa kau mengerti?”

Tanpa menoleh, Barrant menyahut, “Tidak perlu, Ayah. Aku hanya butuh lima prajurit yang dapat kupercaya saja.” Ia lantas membuka pintu balairung dan berderap keluar.

Sang raja hanya bisa mendesah pasrah menatap punggung anaknya yang keras kepala. Entah sihir apa yang dilakukan Fjola terhadap anak satu-satunya, yang jelas ia yakin Barrant tak akan berhenti mencarinya. Lalu sekarang, apa yang harus ia katakan kepada Putri Lilija? Dan, bagaimana ia menangkan rakyat yang mulai berspekulasi? Raja Valdimar hanya bisa mengembuskan napas panjang.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status