Share

Bab. 2 Malaikat atau Iblis

Bagi kebanyakan orang, mimpi indah dapat membuat pagi hari lebih ceria, tetapi tidak berlaku untuk Fjola. Meski indah, mimpi itu justru menjadi ironi yang menyesakkan jiwanya.

Mimpi itu bukanlah mimpi yang muluk-muluk, hanya sebuah mimpi sederhana yang berasal dari masa lalunya. Dalam mimpi itu ia dapat melihat ayah dan ibunya tengah bermesraan di padang rumput yang luas sembari menatap hamparan langit yang terang nan indah. Mereka duduk berselonjor kaki di rumput. Raut mereka tampak tanpa beban. Senyum merekah di wajah mereka. Tangan mereka saling tertaut. Sesekali, mereka melemparkan pandangan penuh damba.

Fannar, adiknya yang masih belia berlarian, mencoba menangkap belalang. Pekik keceriaannya terasa bagaikan simponi yang menyenangkan.

Fjola berjalan ke arah mereka dengan lambat. Tangannya terulur ke depan, seolah ingin meraih mimpi itu, tetapi tak bisa. Mereka tak menyadari keberadaannya. Ia mencoba berteriak, memanggil mereka. Namun, suaranya tak keluar. Fjola menunduk frustrasi. Ia ingin ke sana, ikut bersama keluarganya.

Mendadak sebuah usapan terasa hangat di pipinya. Mata Fjola menelusuri pemilih tangan lembut yang membelainya. Ia melihat ayahnya tersenyum di hadapannya. Ayahnya dapat berdiri dengan tegak, tanpa bantuan tongkat. Kakinya yang buntung kembali utuh. Fjola menangis haru.

“Ayah,” ucapnya dengan susah payah.

Sang ayah menggerakkan bibirnya. Ia mengatakan sesuatu, tetapi Fjola tak dapat mendengarnya. Fjola mulai panik. Ia ingin ayahnya mengulangi perkataannya, tetapi mulutnya terkunci.

Sekali lagi, batinnya merana, katakan sekali lagi, aku tak bisa mendengarmu.

Seolah dapat mendengar permintaan anaknya, sang ayah mengulangi lagi ucapannya. Akan tetapi, tetap saja Fjola tak dapat mengerti.

“Sekali lagi, kumohon,” ratapnya. Alih-alih, ayahnya malah tersenyum.

Fjola tersentak dari tidurnya. Ia membuka matanya lebar-lebar. Padang rumput tadi hilang, digantikan pemandangan stalakmit dan stalaktit yang menggantung mengancam, seolah bersiap menghujamnya. Sosok ayah yang tadi ada di depannya menghilang. Tangan yang tadi mengelus pipinya juga lenyap. Kehangatan yang sempat dirasakannya musnah. Fjola menangis lagi. Bahunya sampai berguncang.

Gadis itu tak mau bangun. Ia ingin terus bermimpi. Sebab, saat terbagun, ia sadar bahwa ia tak mungkin dapat bertemu dengan ayahnya. Ayahnya sudah meninggal, digantung di tengah alun-alun. Fjola tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Namun, ia yakin kematian tragis yang dialami ayahnya adalah ulah orang-orang itu. Orang-orang yang juga membuangnya ke luar tembok perbatasan. Orang-orang yang menginginkan kematiannya.

Sebulan yang lalu, Fjola hanyalah gadis miskin yang menjadi tulang punggung keluarga. Dia nekat pergi ke hutan terlarang negerinya untuk berburu demi bertahan hidup dan tanpa sengaja membunuh harimau pemberian Raja Valdimar, penguasa tembok perbatasan. Demi mempertanggungjawabkan perbuatannya, ia dikirim ke Negeri Veggur untuk menjadi kandidat selir Raja Valdimar. Di sana, ia bertemu dengan Lilija, putri dari negeri lain yang juga dikirim untuk menjadi kandidat selir.

Selain Lilija, ia juga bertemu dengan seorang prajurit yang rupanya adalah pangeran negeri itu. Diam-diam, Fjola sering bertemu dengan Barrant, nama pangeran itu. Lambat laun, cinta tumbuh di hati mereka.

Seolah mendapat restu, Raja Valdimar mengumumkan bahwa pemilihan selir kali itu diperuntukkan sang pangeran yang usianya sudah mencapai dewasa. Tak pelak lagi, Barrant memilih Fjola sebagai calon permaisurinya. Namun, Lilija yang serakah mengkhianati Fjola. Dengan bantuan Margaret, kakak ipar raja, ia menguak asal-usul Fjola yang hanyalah rakyat jelata, bukan putri raja maupun bangsawan. Ia juga menyebarkan berita bohong supaya keterpilihan Fjola menjadi permaisuri dianulir.

Persidangan dibuka, bukti-bukti dan saksi dihadirkan. Meski Fjola dapat mempertahankan posisinya sebagai calon permaisuri, ia harus merelakan sang ayah yang dinyatakan bersalah. Jon, ayahnya, dituduh memanipulasi status Fjola yang merupakan rakyat biasa. Padahal, sama seperti Fjola, Jon hanyalah korban dari kebiadaban para petinggi negeri yang egois.

Tak hanya itu, Lilija yang dipercayanya, sekali lagi berkhianat dengan menculik dan mengirimnya ke luar tembok perbatasan supaya menjadi santapan makhluk liar.

Mengingat jalan hidupnya yang panjang dan penuh pengkhianatan, kebencian terpancar dari mata gadis itu. Ia tak akan menyerah di sini. Ia harus kembali ke negerinya dan membalas orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya. Namun sebelum itu, ia harus bertahan hidup. Ia mesti menemukan gerbang tembok dan bertemu dengan Barrant. Ya, pangerannya pasti akan membantunya. Namun, tahukah Barrant kalau drinya masih hidup, masih bernapas, dan masih mengharapkannya?

Pandangan Fjola sedikit kabur karena air mata yang rupanya keluar tanpa ia sadari. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi tak bisa. Ia merasa kaku. Kerogkongannya begitu kering hingga membuatnya tersedak.

“Kau sudah bagun?” Suara seorang pria yang tiba-tiba terdengar membuatnya terbelalak kaget. Bibirnya yang terkatup tampak bergetar. Mendadak rasa dingin merayap ke ulu hatinya.

Siapa pria itu? Hal terakhir yang diingatnya sebelum menutup mata adalah seorang pemburu kejam menghunuskan mata panah ke kepalanya. Ia sudah pasrah menerima kematian. Namun, setelah bangun di tempat pengap dan gelap itu, serta merasakan nyeri di punggung, ia yakin dirinya masih hidup.

Mungkinkah lelaki itu adalah pemburu yang hendak membunuhnya? Kalau begitu, kenapa dia tak segera membunuhnya, dan malah membawanya ke tempat ini?

Dengan sekuat tenaga, Fjola menggerakkan jemari tangannya. Ia memfokuskan saraf-sarafnya. Perlahan, ia dapat mengangkat tangannya. Ia mengamati kedua lengannya yang kotor dan lecet di beberapa bagian, tetapi utuh. Ia lantas mencoba menggerakkan kaki-kakinya. Ia tak dapat merasakan otot-ototnya. Fjola takut. Kaki ayahnya dipotong oleh para pemburu. Jangan-jangan, kedua kakinya pun telah dipotong mereka.

Gadis itu berkonsentrasi dengan sungguh-sungguh. Jemari kakinya perlahan bergerak. Ia dapat meraskan sensasi menggelitik di jempolnya. Ia tak tahu apa yang menimbulkan sensasi itu, tetapi ia tak peduli. Ia bersyukur tubuhnya masih lengkap. Fjola menekuk lututnya, menumpukan beban tubuh ke siku. Ia berusaha bangkit.

“Jangan bagun kalau kau tak ingin menyesal,” kata suara itu lagi.

Sejenak, Fjola membeku. Matanya mencari keberadaan lelaki itu. Namun, ia tak melihat sosoknya. Ia hanya bisa melihat bayangannya yang bergerak-gerak tertimpa cahaya dari api unggun. Bayangan lelaki itu tampak besar di dinding yang penuh stalagmit, berlenggak-lenggok oleh api yang berderak-derak.

“Si-siapa kau?” tanya Fjola dengan suara parau.

“Malaikatmu,” jawabnya singkat.

Fjola tambah curiga. Ia kembali berusaha duduk. Ketika bangkit, matanya menangkap daun-daun kering yang jatuh dari jubah yang menutupinya. Keningnya berkerut dalam ketika melihat pakaiannya yang berubah. Seingatnya, sebelum menutup mata, ia mengenakan gaun yang kotor dan koyak. Namun sekarang, ia tak lagi memakai gaun, tetapi kemeja longgar dan celana yang terbuat dari bahan yang lembut.

Mata Fjola menjelajah ke sekeliling. Cahaya dari api yang menyala membuatnya dapat melihat bebatuan di sekitarnya. Rupanya, ia tengah berada di dalam sebuah gua. Udara lembap nan dingin membuat kulitnya bergidik. Di mulut gua tampak salju tengah mengamuk. Butirannya tertumpuk hingga menggunung di tanah. Di dekat sana, tepat di pojok mulut gua teronggok kain kumal. Fjola mengamati kain itu dengan saksama, kemudian sadar bahwa itu adalah gaunnya.

Mata Fjola beralih. Ia memandang punggung malaikatnya dengan batin bertanya-tanya. Dilihat dari profilnya, Fjola yakin bahwa siapa pun yang mengaku malaikatnya telah berbohong. Sebab, tak ada sayap di punggungnya. “Siapa kau?"

Pemuda yang tengah duduk menghangatkan diri di depan api unggun itu pun menjawab, “Pangeran baik hatimu, kalau begitu.” Ia tak mengalihkan pandangannya dari api.

Mata Fjola memicing. Pemuda itu duduk dengan membelakangi cahaya sehingga ia tak dapat melihat wajahnya. Ia hanya melihat siluetnya yang ramping, dan ... tunggu dulu! Apakah dia tak memakai baju atasan? Fjola terkesiap. Ia meraba tubuhnya sendiri lalu sadar bahwa kemeja yang dipakainya pastilah milik pemuda itu. Lantas, siapa yang mengenakannya ke tubuhnya kalau bukan pemuda itu? Seketika, ia marah. “Apa yang telah kau lakukan terhadapku? Dan demi Tuhan, katakan siapa kau sebenarnya?”

Pemuda itu berbalik. Ia mendesah lantas bangkit dan menghampiri Fjola.

“Tunggu! Berhenti di sana!” Fjola beringsut mundur. Punggungnya membentur dinding gua. Tangannya meraba-raba, mencari belati yang tadinya ia bawa. “Di mana belatiku?”

“Woa, woa,” pemuda itu memajukan tangannya, seolah mendorong udara kosong. “Bisakah kau bertanya satu per satu? Aku bingung harus menjawab yang mana lebih dulu.”

Fjola memutar bola mata. “Siapa kau?”

“Sudah kujawab tadi,” jawab sang pemuda ringan. Meski membelakangi cahaya, Fjola dapat melihat cengirannya yang nakal. Matanya berkilat jenaka. Hal itu membuat Fjola tambah kesal.

“Di mana pemburu itu? Apa kau temannya?”

“Tidak. Aku bukan teman pemburu yang ingin membunuhmu. Kalau di mana dia, yah, aku tak tahu. Mungkin tubuhnya sudah dimakan hewan buas yang sering diburunya.”

Fjola mengernyit. Otaknya memproses informasi dari pemuda itu. Setelah mengetahui arti perkataannya, ia pun bertanya, “Maksudmu, dia mati?”

Well, kurasa begitu,” kata sang pemuda mengedikkan bahu.

“Kenapa kata-katamu berputar-putar? Bilang saja dia mati,” Fjola memprotes.

“Kau bertanya di mana dia, dan aku tak tahu. Kalau kau bertanya apa pemburu itu mati, akan kujawab ya.”

Fjola mendengkus jengkel. “Lalu, apa yang kau perbuat padaku?”

Pemuda itu diam sejenak kemudian menjawab, “Tak ada.”

“Bohong!”

“Serius! Aku tidak berbuat apa-apa terhadapmu.”

Mata Fjola memicing. Jelas, ia tak percaya kepada pemuda di depannya itu. Namun, ia juga tak berani mendengar jawaban jujur sang pemuda. “Di mana belatiku?”

“Belati apa?” tanya pemuda itu pura-pura tak tahu.

“Apa kau yang membawaku ke sini?”

Pemuda itu tampak ragu. Namun, ia menjawab, “Ya.”

“Kalau begitu, kau pasti menemukan belatiku.”

Kepala sang pemuda ditelengkan. Ia bergumam sebentar sebelum berkata, “Aku tak tahu maksudmu.” Tangan yang tadinya terulur ke depan kini beralih ke belakang. Jemarinya menyuntuh benda yang dicari sang gadis, menekannya ke dalam sabuk dan menyembunyikannya.

Fjola yang melihat gelagat mencurigakan itu pun mendengus. “Kau pembohong. Sekarang, berikan benda itu padaku.”

“Tidak mau,” sahut sang pemuda. “Kalau kuberikan, kau akan membunuhku dengan itu, kan?”

“Tidak,” jawab Fjola tanpa pikir panjang.

“Kau pembohong yang payah, tahu!”

Fjola mendecih. Matanya menatap siluet sang pemuda dengan tajam. Setelah memelotot lama, ia kelalahan. Perdebatan dengan pemuda itu menguras tenaganya. Kaki yang digunakan untuk menyangga beban tubuh mulai goyah. Luka-luka lecet dan memar yang dideritanya mulai nyut-nyutan. Meski begitu, ia masih mampu bertahan. “Kenapa kau membawaku ke sini?”

“Karena tak ada tempat lain yang aman selain di sini.”

Gadis itu memutar bola matanya. Bukan itu jawaban yang ia harapkan. Jadi, ia mengulangi pertanyaanya, “Kenapa kau menyelamatkanku?”

Pemuda itu mengedikkan bahu. “Entahlah. Mungkin, aku menyukaimu.”

Fjola mendengkus lagi. Ia menganggap semua yang keluar dari mulut pemuda itu adalah dusta. Ia tak percaya kepadanya. Kepalanya mendadak pening, membuat pandangannya berkunang-kunang. Tulangnya ngilu, terutama lututnya. Untuk  menopang tubuh saja rasanya tak sanggup. Kerongkongannya juga terasa kering. Ia sampai menjilat bibirnya yang pecah-pecah.  Tubunya kembali lunglai. Punggungnya yang menempel dinding gua merosot jatuh.

Melihat gadis itu ambruk, pemuda itu berderap maju. Ia menangkap tubuh Fjola sebelum kepalanya membentur tanah. Tanpa kesulitan, ia mengangkat tubuh gadis itu.

“Jangan sentuh aku,” ujar gadis itu. Tangannya yang lemah mendorong dada sang pemuda.

Pemuda itu lantas membaringkan Fjola ke tampatnya tadi. Dengan gesit ia mengambil sesuatu dari dekat api unggun. Setelah kembali ke samping sang gadis, ia mengulurkan secawan air ke mulut gadis itu. “Minumlah,” perintahnya.

Fjola memalingkan muka. “Aku tidak mau.”

Pemuda itu mendecih. “Turuti perintahku atau kupaksa!” Dia menyodorkan cawan itu ke bibir Fjola.

“Aku tidak mau. Kau pasti ingin meracuniku.” Pandangan gadis itu semakin menggelap.

Melihat sang gadis semakin melemah, pemuda itu berpindah ke belakang Fjola. Dadanya menyangga punggung gadis itu. Satu tangannya mencengkeram pergelangan tangan Fjola yang memberontak lemah, menguncinya. Tangannya yang lain mencekokkan ramuan ke mulut gadis itu.

“Hentikan, kumohon,” ratap gadis itu sia-sia.

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Roman Foun
ceritanya lumaya bagus dan bisa difilmkan
goodnovel comment avatar
Puziyuuri
malaikat? bukan malaikat maut kan? he he
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status