“Bagaimana? Apa aku sudah mirip budak yang cantik?” tanya Fjola mengelus rambutnya yang pendek.
“Belum,” bisik Arnor sang peri berdiri di belakang gadis itu. “Tapi, tetang saja. Aku akan mengatasinya.”
Dengan tangannya yang lembut, ia mengelus bahu Fjola, bibirnya mengecup tengkuk sang gadis. Darah Fjola mendesir. Napasnya tertahan. Arnor mendekatkan tubuhnya ke gadis itu hingga hampir tak ada jarak. Dadanya sampai menyentuh punggung Fjola.
“Kau mau apa?” tanya gadis itu.
Namun, Arnor diam saja. Perlahan, tangannya turun ke dada gadis itu dan bermain-main di sana. Bibirnya menelusuri leher Fjola yang terekspos.
Jantung gadis itu berdegup kencang. Wajahnya panas. “Jangan,” ujarnya lirih. "Tolong hentikan.”
Alih-alih, sang peri berbisik, “Jadilah budakku.”
Napasnya yang hangat menggelitik leher Fjola hingga membuat otak sang gadis meleleh.Tangannya yang lembut lantas naik, menyentuh kerah kemeja Fjola. Perlahan, ia menarik turun kerah itu. Pundak sang gadis menjadi terekspos. Tak berhenti sampai di situ, jemari Arnor menyusuri tepi kerah, kemudian mencoba melepas kancing kemeja yang dipakai oleh Fjola. Refleks, tangan gadis itu mencegahnya.“Hentikan.” Suaranya terdengar parau. Fjola membasahi bibirnya yang kering. Ia menoleh. Tatapannya berserobok dengan mata hijau sang peri. Sejenak, ia melirik bibir menawan Arnor dan seketika, ia terhanyut dalam gairah.
Ia ingin sekali menarik Arnor ke dalam pelukannya, kemudian menciumnya. Namun, ia tak dapat melakukan hal itu. Ia sudah berjanji akan menjadi milik orang lain. Ia terpaksa mengalihkan pandangannya. “Jangan lakukan ini. Kumohon ...."
“Kau harus melakukannya,” jelas sang peri. Ia lalu memutar tubuh Fjola hingga mereka saling berhadapan. Mata mereka kembali bertemu. “Lupakan kekasihmu.”
Fjola menelan ludah. “Aku—“
“Cintai aku,” potong Arnor. Dengan satu tangan, ia memeluk pinggang gadis itu, menariknya kuat-kuat. Tangannya yang lain mengelus rahang Fjola. Ujung ibu jarinya menyapu bibir gadis itu, menggodanya. Dahi mereka saling bersentuhan, begitu pun dengan perut mereka.
Fjola tersentak. Jantungnya bertalu-talu. Aroma musim semi yang disuarkan Arnor membuat gejolaknya membuncah. Tubuh dan hatinya ingin merespons sang peri, tetapi akal sehat mencegahnya. “Tidak—“
Arnor membenamkan wajahnya ke leher Fjola. Bibirnya menyapu kulit gadis itu. Hal itu membuat Fjola tercekat. Perutnya seolah jungkir balik. Tangannya mencengkeram tepi meja di belakangnya. Ia menggigit bibir untuk mencegah dirinya supaya tidak terhanyut dalam gejolak yang berbahaya.
Meski menikmati sentuhan itu, ia tak dapat melakukan lebih. Ia harus realistis. Jika ia nekat mencintai Arnor, hanya ada kesia-siaan dalam hidupnya kelak. Betapa tidak? Arnor pernah berkata bahwa dia lebih memilih bangsanya untuk dinikahi. Fjola hanyalah manusia biasa, yang akan berakhir sebagai budak seandainya ia nekat melanjutkan hubungan ini. Ia tak mau jadi budak.
“Jangan,” ujarnya menolak. Ia berusaha mendorong dada sang peri. “Kumohon, hentikan, Arnor.”
Peri itu tak mau berhenti. Tangannya menahan tengkuk Fjola. Dia mengecup lekukan di leher gadis itu, di area sensitifnya. Hal itu membuat tubuh Fjola bergelenyar. Mendadak, akal sehatnya tertekan oleh gairah. Pertahanannya ambrol. Ia tak dapat menolak peri itu lebih lama lagi. Ia mengerang saat sang peri memainkan lidahnya.
Sembari bibirnya bermain-main, tangan Arnor menelusuri kemeja Fjola lagi. Sentuhannya yang lembut membuat Fjola seolah melayang. Tubuhnya tergelitik oleh sensasi yang memabukkan. Arnor membuka kancing kemeja Fjola satu persatu. Kali ini, gadis itu pasrah. Tetapi saat Fjola sangat menginginkan sang peri menyentuhnya lebih banyak, Arnor malah menarik diri.
Gadis itu tersengal. Detak jantungnya berderap. Tangannya mencengkeram bahu sang peri kuat-kuat, seakan ingin menariknya ke dalam pelukan. Ia memandang peri di hadapannya itu dengan tatapan memohon. “Arnor,” sebutnya.
Sang peri mengecup rahang Fjola sekilas kemudian berkata, “Berbaliklah.”
Sang gadis menurut. Arnor mendorong tubuh Fjola sampai membungkuk di atas meja. Ia lantas menarik kemeja gadis itu hingga punggungnya terbuka. “Mungkin kau akan merasa sakit nanti. Tetapi, bertahanlah,” bisiknya membungkuk di atas gadis itu. Jemarinya mengelus punggung Fjola yang telanjang. Bibirnya menyapu kulit sang gadis.
Fjola mendesah pasrah.
“Aku akan melakukannya selembut yang kubisa.” Peri itu mengecup punggung Fjola dan bermain-main di sana.
Mata sang gadis terpejam, menikmati sentuhan Arnor. Ia tak melihat ketika Arnor meraih belati yang tergeletak di sampingnya. Fjola mendesah, tetapi tak lama kemudian ia menjerit.
***Disclaimer:
Buku ini merupakan buku ke 2 dari judul Jerat Cinta Sang Selir. Jadi, alangkah baiknya sebelum baca ini kalian baca dulu Jerat Cinta Sang Selir yang juga tersedia di GoodNovel. Namun, jika kalian tetep mau baca ini dulu juga tidak apa-apa. Ada ringkasan ringkasan dan penjelasan tentang buku sebelumnya di sini.
Cerita ini merupakan cerita romansa fantasi yang mengambil setting dunia tengah. Jadi belum ada listrik maupun ponsel. Meski romansa, cerita ini tak melulu tentang anu-anu kok. Tapi, tetep aja ada adegan-adegan yang hanya boleh dinikmati bagi yang sudah cukup umur saja. Tidak ekplisit tentu saja. Tidak ada penyebutan organ intim.
Lagi pula, selain unsur romansa, cerita ini juga berbalut perang, pemberontakan, pengkhianatan, dan perjalanan menantang mara bahaya serta memuat makhluk-mahkluk fantasi. Jadi, selamat menikmati.
Seorang pria berdiri di tengah panggung alun-alun. Bajunya yang bernuansa merah terang begitu mencolok. Manset emas yang dikenakannya menandakan bahwa ia memiliki posisi penting dalam kerajaan. Rambutnya yang pirang dibentuk sedemikian rupa hingga melengkung di ujungnya. Raut wajahnya kaku, begitupun dengan gesturnya. Dua orang prajurit mengapitnya. Mereka memukul gong kecil yang dibawanya guna meminta perhatian para penduduk yang berada di sekitar.Pagi hari begini, para penduduk memadati alun-alun yang juga digunakan untuk berjualan, atau tukar menukar barang, hasil panen, maupun ternak. Penduduk Negeri Veggur berbondong-bondong memenuhi kebutuhan mereka karena musim dingin telah tiba. Sebelum badai salju datang, mereka harus memenuhi stok kebutuhan makanan kalau tidak mau mati sia-sia.Setelah mendapat perhatian para penduduk, lelaki berwajah kaku tadi mengangkat tangannya yang berisi sebuah gulungan perkamen. Melihatnya, tahulah para penduduk bahwa sang lelaki merupakan juru bicar
Bagi kebanyakan orang, mimpi indah dapat membuat pagi hari lebih ceria, tetapi tidak berlaku untuk Fjola. Meski indah, mimpi itu justru menjadi ironi yang menyesakkan jiwanya.Mimpi itu bukanlah mimpi yang muluk-muluk, hanya sebuah mimpi sederhana yang berasal dari masa lalunya. Dalam mimpi itu ia dapat melihat ayah dan ibunya tengah bermesraan di padang rumput yang luas sembari menatap hamparan langit yang terang nan indah. Mereka duduk berselonjor kaki di rumput. Raut mereka tampak tanpa beban. Senyum merekah di wajah mereka. Tangan mereka saling tertaut. Sesekali, mereka melemparkan pandangan penuh damba.Fannar, adiknya yang masih belia berlarian, mencoba menangkap belalang. Pekik keceriaannya terasa bagaikan simponi yang menyenangkan.Fjola berjalan ke arah mereka dengan lambat. Tangannya terulur ke depan, seolah ingin meraih mimpi itu, tetapi tak bisa. Mereka tak menyadari keberadaannya. Ia mencoba berteriak, memanggil mereka. Namun, suaranya tak keluar. Fjola menunduk frustrasi
Fjola tersedak oleh cairan yang dipaksa masuk ke mulutnya. Matanya sampai berair. Meski begitu, orang yang mencekokinya menahan lehernya supaya tetap mendongak. Setelah menelan habis ramuan itu, ia menyumpah. "Berengsek! Apa yang kau berikan padaku?""Dengarkan aku!" Sang pemuda mulai hilang kesabaran. "Kau sekarat saat kubawa kemari. Aku berusaha menyembuhkanmu dengan anugerah yang kumiliki. Tetapi, itu saja tak cukup. Jadi, jika kau masih ingin hidup, minum ramuan itu." Setelah bicara seperti itu, pemuda itu bangkit. Ia duduk menghadap api. Ia menggosok-gosok telapak tangannya.Fjola yang berhasil memproses ucapan pemuda itu pun tersentak. "Anugerah? Apa maksudmu?"Fjola tak mendapat jawaban. Sebagai ganti, ia malah dapat melihat profil sang pemuda lebih jelas. Kulitnya yang pucat seolah bersinar diterpa cahaya api. Rambutnya yang gelap terjalin indah. Matanya yang hijau berkilat-kilat, berserobok dengan mata Fjola. Dagunya kokoh, begitupun dengan bahunya yang telanjang. Tubuhnya ra
Salju yang turun dengan lebat menampar tubuh Fjola secara ganas. Langkahnya terseok-seok di undukan es yang menggunung. Tangannya ia rapatkan ke badannya yang gemetar. Giginya sampai bergemeletuk saat menahan dingin. Uap berembus dari mulutnya saat bernapas. Wajahnya yang cantik tampak begitu pucat hingga bibirnya membiru. Perutnya keroncongan. Fjola menoleh. Pandangannya terganggu karena salju yang sedari tadi tak henti-hentinya turun. Angin dingin menerpa tepi kemejanya yang longgar, mengepak-ngepakkanya keras, seolah ingin menariknya kembali ke gua. Namun, Fjola tak mau kembali. Ia harus melarikan diri.Gadis itu terus melangkah. Pijakannya pada salju tampak ragu. Dalam hati, ia bertekad tak akan menyebut nama Arnor. Namun, setan seolah membisikkan nama itu terus menerus ke telinganya. Ia sampai harus menggigit bibirnya erat-erat. Perlahan namun pasti tenaga gadis itu melemah. Kelopak matanya ingin menutup. Namun, Fjola tak boleh menyerah sekarang. Ia tak boleh kalah. Rambutnya y
Salju sudah berhenti turun ketika Fjola membuka mata. Udara dalam gua masih lembap, namun tidak sedingin sebelumnya. Tulangnya terasa ngilu. Meski begitu, ia mampu bangkit. Di sampingnya Arnor tampak memanggang sesuatu. Pemuda itu sudah memakai pakaian di balik jubah putihnya. Menyadari hal itu, mata Fjola membelalak. Jangan-jangan, dia telah mencopot kemeja Fjola. Tetapi ternyata tidak. Gadis itu melihat kemejanya masih melekat di tubuhnya. Kalau begitu, dari mana Arnor mendapat baju itu?Di dekat tempat sang peri duduk teronggok sesuatu yang tak asing bagi Fjola. Setelah diamati lebih teliti lagi, rupanya benda itu adalah jaket berbulu milik pemburu yang mengejarnya dulu. Fjola ingat betul bentuk dan warna bulunya yang abu-abu. Rupanya, dari mereka, atau sisa tubuh merekalah Arnor mendapatkannya.“Kau lapar? Apa kau mau makan?” tanya Arnor tanpa mengalihkan pandangan dari benda yang dipanggagnya di atas bara api. “Cari sendiri,” tambahnya kemudian.Fjola memutar bola matanya. Dengan
FannarOrang bilang, mereka adalah legenda. Walaupun tak ada yang pernah melihat mereka. Beberapa orang mengaku ditolong oleh mereka. Beberapa lagi mengaku keluarganya dibunuh oleh mereka. Mereka bukanlah hantu. Sebab, tak ada hantu yang dapat membawa gandum kepada masyarakat miskin, tak ada hantu yang mencuri harta para bangsawan, atau membunuhi petinggi yang zalim. Mereka bagai malaikat yang diam-diam dikirim Tuhan untuk menolong manusia yang pupus harapan.Namun bagi para bangsawan, mereka adalah perampok keji, begal, dan pencuri. Mereka sering menjarah barang dagangan para bangsawan kikir. Tak heran, mereka menjadi momok bagi bangsawan yang semena-mena.Bagi petinggi negeri, mereka merupakan musuh, perusak hirarki, dan pemberontak. Setiap prajurit diperintahkan untuk mengeksekusi mereka. Akan tetapi, baik masyarakat, para bangsawan, maupun para prajurit dan petinggi negeri tak tahu siapa mereka sebenarnya dan berapa anggota mereka. Orang-orang menyebut mereka Garda. Selama ini,
Pisau mengayun, siap menancap ke leher Fannar. Matanya membelalak menatap ujungnya yang tajam dan berkilat. Udara terasa tersekat di keongkongannya. Gadis di depannya menampilkan ekspresi tanpa ampun. Anak muda itu menjerit, “A-aku ingin menjadi Garda!”Ayunan itu berhenti mendadak. Ujung pisau yang tajam nyaris mengenai kulitnya. Napas Fannar tersengal. Jatungnya berdebar sangat kencang. Tubuhnya pun gemetar. Sesuatu yang basah terasa di sela pahanya. Saking takutnya, ia kencing di celana.Sang gadis yang mengancam nyawanya pun mundur. Matanya melirik ke bawah dengan jijik. “Apa itu? Kau ngompol? Astaga!” Gadis itu terbahak.Menyadari perbuatannya, Fannar malu. Wajahnya sampai memerah. Ia juga marah kepada diri sendiri karena kepengecutannya. Ia kehilangan muka di depan anggota Garda.“Zoe!” Seorang lelaki mendekat. Pakaiannya sama dengan yang dikenakan sang gadis yang dipanggilnya. Posturnya lebih tinggi. “Apa kau sudah membereskannya? Kita harus cepat pergi.”Zoe mengusap sudut mat
Kereta yang ditumpangi Fannar berhenti di tengah kota yang padat. Setah turun dari pedati, pemuda itu dituntun memasuki gang sempit yang diapit dua bangunan. Salah satunya merupakan kedai makanan yang saat itu ramai. Bangunan yang lain merupakan milik pengrajin besi. Pemuda itu tak menyangka bahwa persembunyian Garda malah mencolok. Ia memuji pemikiran sang pemimpin yang memilih tempat itu sebagai persembunyian. Sebab, justru pada tempat-tempat seperti inilah mereka tak akan dicurigai. Bagaimanapun, seandainya dia adalah prajurit, dia akan mencari para Garda di hutan-hutan yang sepi, yang jauh dari pemukiman penduduk.Gang itu tidak terlalu panjang. Namun juga tidak pendek. Setelah membelok ke kanan satu kali, sampailah mereka ke sebuah bangunan. Mata Fannar semakin melebar saat melihat rumah tempat persembunyian Garda. Rumah itu merupakan bangunan yang umum dijumpai di Negeri Veggur. Warnanya tidak mencolok. Ditambah letaknya yang di tengah membuatnya tidak menonjol sama sekali. Pin