Selain curam, jurang itu juga lebar. Cukup lebar untuk dilalui manusia waras. Bahkan, ketika Fjola dilempar dengan kuat menggunakan kekuatan gaib peri pun tak mampu melampauinya dengan gampang. Gadis itu nyaris jatuh. Sebab, ketika mendarat, tubuh Fjola menyentuh bibir jurang. Salju yang menunpuk membuat pijakannya licin. Ia bakal jatuh ke jurang seandainya Arnor tidak melesatkan anak panah dan mengenai tepi jaket hingga mendorongnya ke depan.“Dasar berengsek, sialan. Peri gila. Akan kubunuh kau,” gumamnya ketika mencerabut anak panah yang menancap ke tanah.“Aku bisa mendengar umpatanmu dari sini, tahu!” seru Arnor dari seberang jurang. “Simpan anak panah itu, ya, untuk kenang-kenangan! Kuyakin kau akan kangen padaku!”Fjola memutar bola matanya. Ia mengelus lubang di jaketnya sejenak. Kemudian ia berdiri menghadap Arnor. Tangannya mengangkat anak panah itu tinggi-tinggi kemudian mematahkannya jadi dua. “Aku tidak akan kangen padamu, aku janji.” Ia lantas berbalik, menyusuri sisa l
Malam sudah berganti siang. Satu hari lagi sudah terlewati. Seluruh penjuru negeri sudah ia datangi, namun sang kekasih tak juga ditemukan. Barrant menghela napasnya panjang. Ia tengah berada di atas celah tembok tempat yang sering ia datangi dulu bersama Fjola. Ia merindukan gadis itu.Meskipun demikian, ada perasaan bersalah setiap kali ia mengingat sang kekasih. Betapa tidak? Tanpa sengaja ia telah mengirim ayahnya ke alam keabadian. Dulu, sewaktu ia meminta Jon mengakui tuduhan itu, ia menduga Jon hanya akan dihukum penjara. Namun, ia terkejut ketika ayahnya malah mengeksekusinya. Ia sempat memprotes keputusan sang ayah, memintanya untuk menangguhkan hukuman. Sebab, mereka berdua tahu bahwa bukan Jon yang bersalah."Aku tahu, tapi kita butuh kambing hitam," jawab Raja Valdimar ketika itu. "Para petinggi negeri mendesakku. Maafkan aku, Barrant, aku tak memiliki pilihan."Seorang prajurit menghampirinya. Hal itu membuat lamunannya berakhir. Prajurit itu merupakan prajurit terlatih.
“Di mana Tuan Putri Lilija berada?” tanya Barrant melewati celah yang rumit di antara dua bangunan besar. Prajurit yang ditanyanya mengekor.“Sebenarnya, beliau ingin menemui Anda di sini. Beliau sedang menuju kemari.”Barrant menggeleng. Ia tidak bisa menemui Lilija di tempat penuh kenangan itu. “Kalau begitu, katakan padanya bahwa aku akan menemuinya di istana.” Ia mempersilakan sang prajurit jalan terlebih dahulu dengan berhenti dan memiringkan tubuhnya.“Tapi, Yang Mulia, beliau—““Katakan saja aku akan menemuinya selepas memeriksa gerbang,” kata sang pangeran mendesak. Prajurit itu tidak memiliki pilihan. Sembari menggerutu, ia melewati sang pangeran untuk menyampaikan pesan. Akhir-akhir ini ia tahu suasana hati puteri itu memburuk. Setiap pesan yang disampaikan olehnya selalu diabaikan sang pangeran. Jadi, ketika prajurit itu kembali tanpa membawa balasan, Lilija akan murka. Ia bahkan mengamuk. Dan, prajurit itu yang akhirnya menjadi sasaran kemarahan Lilija.Awal mula ia dipan
“Kumohon, jangan tembak aku!” Fjola keluar dari ilalang dengan tangan terangkat ke atas. Prajurit yang melihatnya pun menyiagakan panahnya. Matanya memicing, menilai dengan saksama sosok di depannya itu. Pakaian yang dipakai sang gadis membuatnya yakin bahwa dia adalah pemburu. Ia berniat melepas anak panahnya sebelum gadis itu berkata lagi, “AKu bukan pemburu. Aku manusia.”Perlahan, Fjola mendekat. Sang prajurit pun mampu melihatnya lebih jelas. Rambut gadis itu yang acak-acakan, beserta beberapa kotoran yang menempel di sana membuatnya tidak yakin dengan pengakuan tadi. “Siapa kau?” tanyanya kemudian.Prajurit itu masih terhitung prajurit baru. Sebelumnya, ia bertugas di istana. Ketika komandan dari luar tembok meminta sejumlah prajurit lagi untuk berpatroli di sana, ia menyambar kesempatan itu sebagai berkah. Ia merupakan anak sulung. Jadi, dengan menjadi ‘pahlawan tembok’ ia mampu memberi kehidupan yang layak untuk adik-adiknya yang masih sangat muda. Baru beberapa hari dia berg
Rasanya, Fjola sudah tak memiliki harapan lagi. Ia juga tak memiliki daya. Ketika prajurit tadi menyeretnya kembali ke dalam hutan, ia tak kuasa memberontak. Prajurit lain yang berjaga di sana menurunkan panahnya. Mereka tahu pilihan sang komandan yang memerintahkan untuk membunuh gadis itu di hutan tak lain supaya mereka tidak perlu menyingkirkan mayatnya. “Aku masih percaya kalau kau adalah puteri dari Negeri Haust,” bisik prajurit yang menyeretnya. “Tetapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku.” Fjola tak menanggapinya. Rasanya ia benar-benar ingin menyerah saja. Ia sudah lelah. Gerbang semakin mengecil di belakangnya. Fjola hanya mampu menatapnya. Dia tak bisa melewatinya. “Apa kau—Anda ingin melewati gerbang itu dan kembali ke negeri Anda?” tanya sang prajurit lagi. Mereka kini sudah memasuki hutan. Kepala Fjola menoleh. Ia memandang sang prajurit dengan tertarik. “Apa kau tahu caranya?” Prajurit muda itu pun menggeleng. “Tidak. Setahuku, siapa pun orang yang sudah kel
Amarah Lilija menggelegak bagai magma di dalam perut gunung berapi. Ia siap meledak ketika prajurit pembawa pesan kembali menghentikan laju keretanya. Padahal, kurang sedikit lagi mereka sampai ke tempat Barrant biasanya berada.“Maaf, Yang Mulia, Pangeran sudah kembali ke istana,” lapor prajurit itu. “Anda sudah ditunggu di ruang minum teh.”Lilija menggigit giginya kuat-kuat, tangannya terkepal untuk menahan emosi. Batinnya menyumpah. Dengan susah payah, ia berkata, “Bawa aku ke sana.”“Kau harus bersikap lebih bijak, Tuan Putri,” kata Helga, pelayannya.Lilija menoleh ke arah pelayannya. Matanya menatap Helga dengan nanar. Ia benci kepada wanita tua berwajah dingin itu. Rambutnya yang dicepol ke belakang, dagunya yang terangkat ke atas, sikapnya yang kaku membuatnya ingin mengenyahkan segera. Tetapi, ia tak bisa melakukan hal itu. Lilija benci kepadanya karena sering mengatur dan mengkangnya. Dia mengharapkan Lilija bersikap selayaknya putri yang anggun, baik hati, ramah, dan sempu
“Sandiwara?” tanya Fjola mengernyit. Setelah memutuskan untuk ke celah rahasia, gadis itu duduk di punggung Sifhty bersama Arnor. Seberti biasa, ia duduk di belakang peri itu. Matahari sudah tergelincir dari singgasananya. Awan mendung yang mungkin membawa jutaan butir salju tampak menggantung. Meski begitu, mereka belum mau berhenti. Langkah kuda itu juga pelan karena jalan yang dilewatinya tidak semulus biasanya. Jalan yang dilaluinya kini tertutup salju setinggi lima belas centi meter. Tapalnya sampai terbenam karenanya.“Iya. Sandiwara. Kita harus bersandiwara.” Arnor memandang ke depan dengan mata perinya. Jauh di depan tampak gunung yang sangat besar. Di kaki gunung itu terlihat beberapa buah batu raksasa yang mulai bergerak-gerak.“Tapi, kenapa kita harus bersandiwara?” tanya gadis itu penasaran.Arnor mengehentikan kudanya. “Itu … nanti saja aku menjawabnya. Sekarang lebih baik kita mendirikan kemah di sini. Lagi pula, salju akan turun.” Ia lantas turun.Fjola mengikuti peri
Seperti yang sudah bisa diperkirakan, hujan salju datang menjelang malam. Awalnya, Fjola menolak untuk masuk ke tenda kecil itu bersama Arnor. Ia tak dapat membayangkan bagaimana sesaknya di dalam sana nanti. Tak bakal ada ruang yang cukup di antara mereka. Sementara, Fjola tak mau dekat-dekat dengan peri itu semalam penuh. “Ya sudah, silakan mati kedinginan di luar. Aku akan senang hati menyerahkan tubuhmu kepada para pemburu nanti sebagai tanda perdamaian,” kata Arnor masuk ke dalam tendanya.Fjola memutar bola matanya. Mau tak mau, ia mengikuti peri itu ke dalam tenda. Ia takjub ketika kakinya melangkah, melewati pintu tenda yang tersibak. Matanya terbelalak menatap isi tenda yang ternyata cukup luas. Bahkan, ketika masuk, dia merasa oleh menjadi kecil. Atap tenda yang tadinya sejajar dengan kepalanya kini tampak jauh di atas. Lebar pintu tempatnya masuk yang tadi dia kira hanya sepanjang bahu terasa lebih lapang. Bahkan, Fjola dapat merentangkan tangannya, dan ujung jarinya tida