“Di mana Tuan Putri Lilija berada?” tanya Barrant melewati celah yang rumit di antara dua bangunan besar. Prajurit yang ditanyanya mengekor.“Sebenarnya, beliau ingin menemui Anda di sini. Beliau sedang menuju kemari.”Barrant menggeleng. Ia tidak bisa menemui Lilija di tempat penuh kenangan itu. “Kalau begitu, katakan padanya bahwa aku akan menemuinya di istana.” Ia mempersilakan sang prajurit jalan terlebih dahulu dengan berhenti dan memiringkan tubuhnya.“Tapi, Yang Mulia, beliau—““Katakan saja aku akan menemuinya selepas memeriksa gerbang,” kata sang pangeran mendesak. Prajurit itu tidak memiliki pilihan. Sembari menggerutu, ia melewati sang pangeran untuk menyampaikan pesan. Akhir-akhir ini ia tahu suasana hati puteri itu memburuk. Setiap pesan yang disampaikan olehnya selalu diabaikan sang pangeran. Jadi, ketika prajurit itu kembali tanpa membawa balasan, Lilija akan murka. Ia bahkan mengamuk. Dan, prajurit itu yang akhirnya menjadi sasaran kemarahan Lilija.Awal mula ia dipan
“Kumohon, jangan tembak aku!” Fjola keluar dari ilalang dengan tangan terangkat ke atas. Prajurit yang melihatnya pun menyiagakan panahnya. Matanya memicing, menilai dengan saksama sosok di depannya itu. Pakaian yang dipakai sang gadis membuatnya yakin bahwa dia adalah pemburu. Ia berniat melepas anak panahnya sebelum gadis itu berkata lagi, “AKu bukan pemburu. Aku manusia.”Perlahan, Fjola mendekat. Sang prajurit pun mampu melihatnya lebih jelas. Rambut gadis itu yang acak-acakan, beserta beberapa kotoran yang menempel di sana membuatnya tidak yakin dengan pengakuan tadi. “Siapa kau?” tanyanya kemudian.Prajurit itu masih terhitung prajurit baru. Sebelumnya, ia bertugas di istana. Ketika komandan dari luar tembok meminta sejumlah prajurit lagi untuk berpatroli di sana, ia menyambar kesempatan itu sebagai berkah. Ia merupakan anak sulung. Jadi, dengan menjadi ‘pahlawan tembok’ ia mampu memberi kehidupan yang layak untuk adik-adiknya yang masih sangat muda. Baru beberapa hari dia berg
Rasanya, Fjola sudah tak memiliki harapan lagi. Ia juga tak memiliki daya. Ketika prajurit tadi menyeretnya kembali ke dalam hutan, ia tak kuasa memberontak. Prajurit lain yang berjaga di sana menurunkan panahnya. Mereka tahu pilihan sang komandan yang memerintahkan untuk membunuh gadis itu di hutan tak lain supaya mereka tidak perlu menyingkirkan mayatnya. “Aku masih percaya kalau kau adalah puteri dari Negeri Haust,” bisik prajurit yang menyeretnya. “Tetapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maafkan aku.” Fjola tak menanggapinya. Rasanya ia benar-benar ingin menyerah saja. Ia sudah lelah. Gerbang semakin mengecil di belakangnya. Fjola hanya mampu menatapnya. Dia tak bisa melewatinya. “Apa kau—Anda ingin melewati gerbang itu dan kembali ke negeri Anda?” tanya sang prajurit lagi. Mereka kini sudah memasuki hutan. Kepala Fjola menoleh. Ia memandang sang prajurit dengan tertarik. “Apa kau tahu caranya?” Prajurit muda itu pun menggeleng. “Tidak. Setahuku, siapa pun orang yang sudah kel
Amarah Lilija menggelegak bagai magma di dalam perut gunung berapi. Ia siap meledak ketika prajurit pembawa pesan kembali menghentikan laju keretanya. Padahal, kurang sedikit lagi mereka sampai ke tempat Barrant biasanya berada.“Maaf, Yang Mulia, Pangeran sudah kembali ke istana,” lapor prajurit itu. “Anda sudah ditunggu di ruang minum teh.”Lilija menggigit giginya kuat-kuat, tangannya terkepal untuk menahan emosi. Batinnya menyumpah. Dengan susah payah, ia berkata, “Bawa aku ke sana.”“Kau harus bersikap lebih bijak, Tuan Putri,” kata Helga, pelayannya.Lilija menoleh ke arah pelayannya. Matanya menatap Helga dengan nanar. Ia benci kepada wanita tua berwajah dingin itu. Rambutnya yang dicepol ke belakang, dagunya yang terangkat ke atas, sikapnya yang kaku membuatnya ingin mengenyahkan segera. Tetapi, ia tak bisa melakukan hal itu. Lilija benci kepadanya karena sering mengatur dan mengkangnya. Dia mengharapkan Lilija bersikap selayaknya putri yang anggun, baik hati, ramah, dan sempu
“Sandiwara?” tanya Fjola mengernyit. Setelah memutuskan untuk ke celah rahasia, gadis itu duduk di punggung Sifhty bersama Arnor. Seberti biasa, ia duduk di belakang peri itu. Matahari sudah tergelincir dari singgasananya. Awan mendung yang mungkin membawa jutaan butir salju tampak menggantung. Meski begitu, mereka belum mau berhenti. Langkah kuda itu juga pelan karena jalan yang dilewatinya tidak semulus biasanya. Jalan yang dilaluinya kini tertutup salju setinggi lima belas centi meter. Tapalnya sampai terbenam karenanya.“Iya. Sandiwara. Kita harus bersandiwara.” Arnor memandang ke depan dengan mata perinya. Jauh di depan tampak gunung yang sangat besar. Di kaki gunung itu terlihat beberapa buah batu raksasa yang mulai bergerak-gerak.“Tapi, kenapa kita harus bersandiwara?” tanya gadis itu penasaran.Arnor mengehentikan kudanya. “Itu … nanti saja aku menjawabnya. Sekarang lebih baik kita mendirikan kemah di sini. Lagi pula, salju akan turun.” Ia lantas turun.Fjola mengikuti peri
Seperti yang sudah bisa diperkirakan, hujan salju datang menjelang malam. Awalnya, Fjola menolak untuk masuk ke tenda kecil itu bersama Arnor. Ia tak dapat membayangkan bagaimana sesaknya di dalam sana nanti. Tak bakal ada ruang yang cukup di antara mereka. Sementara, Fjola tak mau dekat-dekat dengan peri itu semalam penuh. “Ya sudah, silakan mati kedinginan di luar. Aku akan senang hati menyerahkan tubuhmu kepada para pemburu nanti sebagai tanda perdamaian,” kata Arnor masuk ke dalam tendanya.Fjola memutar bola matanya. Mau tak mau, ia mengikuti peri itu ke dalam tenda. Ia takjub ketika kakinya melangkah, melewati pintu tenda yang tersibak. Matanya terbelalak menatap isi tenda yang ternyata cukup luas. Bahkan, ketika masuk, dia merasa oleh menjadi kecil. Atap tenda yang tadinya sejajar dengan kepalanya kini tampak jauh di atas. Lebar pintu tempatnya masuk yang tadi dia kira hanya sepanjang bahu terasa lebih lapang. Bahkan, Fjola dapat merentangkan tangannya, dan ujung jarinya tida
FannarSudah seminggu Fannar bergabung denga kelompok pemberontak namun ia belum pernah keluar dari tempat persembunyian mereka. Setiap tiga hari sekali seseorang memasok kebutuhan pokok untuk mereka. Dari Luke, ia tahu bahwa Garda memiliki anggota yang besar. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok-kelompok itu pasti memiliki satu pemimpin, dan pemimpin itulah yang menghubungkan informasi kelompok satu dengan yang lain. Jadi, anggota kelompok satu tidak mengenal anggota kelompok yang lain. Hal itu dilakukan supaya apabila salah seorang tertangkap, yang lain akan selamat.Untuk misi pun demikian. Semua kelompok memiliki tugas masing-masing. Seperti kemarin, kelompok Luke bertugas menyusup ke rumah bangsawan yang sudah ditentukan dan mencuri emas. Namun, kelompok lain yang memindahkannya ke para pemimpin kemudian membaginya.Setelah diterima menjadi anggota Garda, Fannar diharuskan mengubah namanya. Rupanya, Luke, Zoe, dan Rowan bukan nama asli mereka.“Luke itu nama tokoh dal
FjolaRaungan itu begitu keras, disertai dengan guncangan yang hebat dan untungnya singkat. Fjola tersentak bangun. Tubuhnya bakal jatuh dari ranjang seandainya lengan Arnor tidak merangkulnya erat. Mata peri itu masih terpejam, namun Fjola dapat melihat bola matanya yang tertutup kelopak bergerak-gerak. Gadis itu mengembuskan napas panjang. "Jangan pura-pura tidur, Arnor. Lepaskan aku.""Hm?" Peri itu pura-pura menguap. Ia meregangkan tubuhnya dengan kikuk. "Apa kau tidur dengan nyenyak?"Belum sempat menjawab, guncangan kembali terasa. Kali ini tubuh Fjola benar-benar terguling. "Apa ada gempa?" tanyanya sembari meringis.Punggungnya membentur lantai dengan keras. Rambutnya yang panjang tampak awut-awutan. Setelah guncangan itu reda, ia bangkit. Arnor sudah berderap ke pintu tenda, menengok sekilas keluar kemudian kembali dengan panik. Ia memasang kembali sabuk senjatanya, memakai jubah, dan menyandang busur. Sembari mengikat sepatu botnya, ia berkata, "Tak ada waktu. Cepat bersiap-