“Inikah yang disebut merapikan, Mbak?”Ramdan bergegas ke dapur dan terkesiap melihat airmulai membasahi seluruh lantai. Dia bergegas ke wastafel dan menutup keran yangpatah sebelum mematikan saluran air utama. Dia menghela napas panjang danberkacak pinggang melihat lebih banyak kekacauan yang terjadi.Ramdan menggeleng lemah sambil menjambak rambut karena frustasi. Lalu,mengepalkan tangan dan menengadah. Dia menajamkan mata sejenak untuk meredamketegangan yang ada sebelum berbalik dan menatap Elea.“Memang bukan. Tapi, aku sudah berusaha, kan? Lagipula kenapa nyuruh-nyuruhaku! Ini rumahmu, jadi kamu yang harus membereskan!”Elea segera berlalu tanpa rasa bersalah. Sementara, Ramdan menggeram kesal danmemilih segera berlalu ke kamar. Dia mengambil ponsel dan menghubungi Edrik.Begitu teleponnya dijawab, pria itu langsung memberi perintah.“Kirimkan dua orang untuk membereskan rumahku sekarang, Ed!”Ramdan segera mematikan panggilan. Dia kembali menjambak rambut sebelum meninju
Ramdan menggeram kesal ketika pertanyaannya malah dijawab dengan tawa berderai. Dia beringsut bangkit sambil memegang perutnya yang masih terasa sakit. Dia bergeming sejenak sebelum berlari sambil melayangkan kepalan tinjunya. Lalu, membabi buta memukul keempat pria itu. Ramdan tak mampu fokus dengan serangannya karena kepala yang kembali berdenyut hebat akibat pengaruh alkohol. Tak ingin terpojok, Ramdan sebisa mungkin menahan dan melawan. Namun, kalah jumlah membuatnya harus tersungkur dengan lebam yang ada di sudut bibirnya. Dia mengerang kesakitan sebelum mencoba kembali bangkit. Namun, saat hendak kembali menyerang, sebuah pukulan di belakang kepala membuatnya terkapar tak sadarkan diri.Saat terjaga, Ramdan sudah berada di sebuah ruangan yang gelap. Dia mengedarkan pandangan dan berusaha untuk bergerak, tetapi susah. “Sialan! Apa mau mereka sebenarnya! Aaargh!”Ramdan kembali bergerak, berusaha untuk membebaskan diri, tetapi hanya sakit yang terasa di pergelangan tangan da
Ramdan mengambil baju dan keluar kamar. Dia berjalan menuju kamar sang adik dan membuka pintunya. Seulas senyum dia sunggingkan sambil mengikis jarak dengan ranjang. Lalu, dia duduk di tepi ranjang dan mengusap lembut rambut Aleta.“Kapan kamu bangun, Al? Kakak kesepian. Maafkan Kakak karena belum berhasil membawa penjahat itu ke sini. Tapi, Kakak janji akan segera menemukannya.”Ramdan mengecup lama kening Aleta. Lalu, bangkit dari duduk dan berlalu keluar kamar. Dia berjalan ke balkon dan bergeming. Menatap hamparan Padang hijau dalam kegelapan dan dinginnya malam. Dia menghela napas panjang dan hendak berbalik. Namun, dia terkesiap ketika melihat Edrik sudah berdiri di ambang pintu.“Kamu sudah dapat apa yang aku perintahkan, Ed?”“Sudah, Tuan Muda.”“Bagus. Katakan apa yang kamu dapat!”“Mereka sengaja menyekap Tuan Muda atas perintah seseorang. Orang itu sakit hati karena pernah diusir dari rumah Tuan Muda, sehingga dia memberi sedikit pelajaran. Orang ini juga tidak terima
“Tuan Muda ....”Hanya kata itu yang didengar Ramdan saat pertama kali membuka mata. Dia beringsut duduk sambil memegang kepala yang berdenyut nyeri. Lalu, menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Ramdan menggeleng berulang kali, tetapi rasa sakit yang membebat kepala makin menjadi.“Tuan Muda, tidak apa-apa? Apa perlu saya panggilkan dokter? Tadi Tua Muda pingsan di dekat ranjang. Saya juga menemukan memar di kepala Tuan Muda.”Ramdan menggeleng lemah, kemudian mengibaskan tangan meminta Edrik pergi. Setelahnya, dia menajamkan mata dengan posisi setengah duduk. Namun, dia kembali membuka mata kala melihat Edrik masuk sambil membawa nampan berisi roti lapis isi tuna dan segelas teh hangat.“Sarapannya, Tuan Muda. Sekalian obat pereda nyeri yang disarankan dokter.”“Makasih, Ed. Belikan aku ponsel baru beserta nomornya. Ponselku kemarin diambil mereka.”“Siap, Tuan Muda.”Edrik berlalu dari hadapan Ramdan. Sementara, pria itu beringsut mengambil sarapan dan mengunyahnya perlah
“Hai, Dad? How are you?”“Fine, Son. What’s about you?”“I’m fine too, Dad.”“Aleta?”“Masih sama seperti tiga tahun lalu, Pi. Belum ada perkembangan sama sekali.”“Tidakkah sebaiknya kita bawa Aleta berobat di sini saja, Tar?”“Pengobatan dalam negeri tak kalah bagus, Pi. Hanya butuh kesabaran saja sampai Aleta sadar lagi.”Terdengar helaan napas panjang dari ujung telepon. Ramdan tahu sang ayah juga merasakan hal yang sama sepertinya. Namun, setelah semua usaha yang dilakukan, saatnya pasrah dan berharap keajaiban datang menyapa sang adik.“Kabari Papi kalau ada apa-apa, Tar. Papi kangen Aleta, tapi pekerjaan di sini tak dapat Papi tinggalkan.”“It’s okay, Dad. Akhtar akan selalu kasih kabar tentang perkembangan Aleta. Salam buat Mami, kapan-kapan Akhtar akan pergi ke sana untuk mengunjungi kalian. Tentunya bersama Aleta.”“Lalu, menantu Papi? Oh, ayolah, Tar! Papi sama Mami semakin tua, sudah saatnya melihat kamu menikah dan punya cucu.”“Nanti saja kalau penjahat itu su
Ramdan menelan ludah dengan susah payah saat melihat Harsa menatapnya lekat. Namun, belum sampai orang di sebelahnya menjawab, suara dering ponsel milik Harsa berdering. Pria paruh baya itu bergegas menyingkir untuk menjawab panggilan setelah meminta izin. Setelahnya, Ramdan mendekati orang yang menjadi klien Harsa itu.“Saya tidak menyangka akan bertemu dengan Bapak Akhtar di sini. Tapi, kenapa Bapak harus berpenampilan begini?” tanya orang itu sambil menelisik Ramdan dari atas sampai bawah.Ramdan mendekati orang itu dan berkata dengan nada lirih, nyaris seperti berbisik. “Yang jelas saya tidak bisa mengatakan alasannya sekarang, Pak Bima. Tapi, saya mohon kerja samanya. Anggap kita tidak saling kenal.”Ramdan segera berlari untuk membukakan pintu mobil. Namun, dia bergeming saat melihat Harsa mendekati Bima. Dia menghela napas panjang dan melirik Bima yang sedang berbicara dengan Harsa. Spontan, dia menajamkan telinga untuk mendengar percakapan mereka.“Maafkan saya, Pak Bima.
“Sialan! Sampai kapan dia akan membuat kacau rumahku!” seru Ramdan sambil mengepalkan tangan. Setelahnya, dia berlalu meninggalkan rumah dengan memendam amarah. Saat di perjalanan, ponsel pria itu berdering. Ramdan bergegas menepikan motor dan menjawab panggilan begitu melihat nama Edrik yang terpampang di layar.“Ada apa, Ed?”“Orang yang menyekap Anda sudah ada di basement, Tuan Muda.”“Oke, aku ke sana sekarang.”Telepon terputus. Ramdan kembali melajukan motor menuju rumahnya. Dia bahkan menarik gas kuat agar cepat sampai. Setibanya di rumah, Ramdan bergegas masuk, kemudian berjalan terus hingga melewati halaman belakang dan sampai pada sebuah pintu yang tertanam di tanah. Dia bergegas membuka pintu itu dan masuk. Satu per satu anak tangga dia turuni dengan sedikit tergesa. Lalu, sampailah dia pada pintu besi berwarna hitam. Dengan perlahan, dia membuka pintu dan masuk. Pria itu menyeringai melihat enam orang yang saling terikat di sudut ruangan gelap.Ramdan membuka seraga
Ramdan meraup wajah kasar sambil menghela napas panjang, kemudian beranjak ke ranjang dan mengempaskan tubuhnya. Dia memijat pelan pangkal hidungnya sambil memejamkan mata sejenak. Namun, dia segera menoleh saat mendengar pintu digedor dari luar diiringi suara teriakan Elea.“Ramdan, buka! Aku mau bahas tentang perjanjian kita!”Ramdan menghela napas panjang sebelum merebah. Dia abaikan teriakan Elea dan gedoran pintu. Lalu, memejamkan mata sambil menutup telinga dengan bantal.“Dasar wanita aneh! Teriak saja sampai suaramu habis! Aku enggak peduli!”Tak lama, terdengar dengkur halus yang keluar dari mulut. Sementara, Elea yang masih di depan pintu mendengkus kesal sebelum menendang pintu dan kembali ke kamar.Menjelang malam, Ramdan terjaga dan beringsut duduk. Dia mengedarkan pandangan dan hanya gelap yang tertangkap mata. Perlahan, dia bangkit dan menyalakan lampu sebelum membuka pintu. Lalu, keluar kamar dan berlalu ke dapur. Dia membuka lemari pendingin dan mengambil air din