William menatap dua manusia yang telah diikat oleh kontrak pernikahan secara bergantian. Laura menjadi objek pertama. Saat memperhatikan wajah wanita tersebut, William sempat menghela napas panjang.
Lalu ketika beralih pada Rink, manajer dengan wajah tembam itu mendekat. Ia tak mengatakan apapun dan hanya menepuk pundak Rink. “Kuharap kalian berdua bisa rukun selama 6 bulan ke depan. Ingat, hidup kalian jadi taruhan di sini.” Setelah menyatakan peringatan yang tidak menyenangkan itu, William berbalik dan keluar dari apartemen. Meninggalkan Laura dan Rink yang selama beberapa detik hanya bisa terpaku. Sebuah dehaman keras dari Rink-lah, yang kemudian menghidupkan suasana dingin di sana. Laura menghindari menatap wajah idolanya. Tadi sewaktu memasuki apartemen, ia tidak sempat menjelajah sudut-sudut ruangan dengan matanya, karena sibuk meredakan debaran jantungnya. Jadi, sekarang ia meneliti tempat yang akan menjadi huniannya. Apartemen itu terlalu ... normal. Saat Laura mengitari ruang tamu, matanya menyisir setiap sudut. Sofa abu-abu netral, rak buku rapi tanpa debu, dapur kecil yang bersih seperti belum pernah dipakai. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan minimalis, terlalu steril untuk ukuran seorang superstar. Dia memutar tubuh, menatap Rink yang masih berdiri di dekat jendela. "Ini tempat tinggalmu?" tanya Laura, mencoba menyamarkan rasa takjub dalam nada heran. Rink hanya mengangkat alis. “Tentu saja bukan,” dengusnya ofensif. Jawaban itu membuat Laura berkedip. “Bukan?” "Aku tidak mungkin membawa orang asing ke rumahku yang asli." Petir. Sederhana, tapi menyayat. Laura menahan diri supaya tidak terang-terangan mengelus dada. Ia tertawa pendek, mencoba menyelamatkan harga diri. “Oh. Benar juga. Ucapanmu sangat masuk akal.” Rink melepaskan jas yang dikenakannya dan menggantungkannya di dekat pintu. Gerakannya presisi. Tenang. Tidak satu pun barang dibiarkan sembarangan. Bahkan sepatunya diletakkan sejajar, seperti pasukan kecil yang disiplin. Saat ia membalikkan badan menghadap Laura, sorot matanya menunjukkan kekuasaan yang tak bisa dielakkan. “Ada beberapa aturan selama kau tinggal di sini,” katanya tanpa basa-basi. Ia mengambil secarik kertas dari meja dapur dan membentangkannya tepat di depan wajah Laura. Laura menatap tulisan tangan itu dengan perasaan campur aduk. Tertulis rapi, huruf-hurufnya tegak, kaku, dan... menyebalkan. Aturan Tinggal Bersama Rink Harrington 1. Tidak memasuki kamar pribadi Rink tanpa izin, apapun alasannya. 2. Jangan menyentuh atau memindahkan barang di area kerja Rink. 3. Dilarang keras mengetuk pintu studio musik saat tertutup. 4. Area umum harus selalu bersih. Jangan tinggalkan piring kotor lebih dari 5 menit. 5. Volume suara harus rendah setelah pukul 20.00. 6. Tidak diperbolehkan mengundang tamu tanpa pemberitahuan. 7. Tidak ada kontak fisik yang tidak diperlukan untuk kepentingan publik. 8. Dilarang keras membangunkan Rink kecuali terjadi kebakaran. 9. Jadwal makan masing-masing. Tidak perlu memasakkan apapun untuk Rink. 10. Hargai ruang pribadi. Rink bukan penghibur di rumah. Laura menyelesaikan bacaannya dengan mata melebar dan bibir setengah terbuka. Ia menelan ludah, lalu mendongak pelan, menatap wajah Rink yang ada di balik lembaran kertas putih. “Kau yakin ini tempat tinggal, bukan penjara?” gumam Laura sambil meraih kertas berisi aturan-aturan gila Rink. Rink tidak menjawab. Ia hanya berjalan menuju lemari pendingin, lalu mengeluarkan botol besar berisi air mineral. Dengan gerakan tangan yang lembut tapi mengesankan ketepatan, ia menuangkan isinya ke dalam gelas. Dengan kilat mata yang tertuju pada Laura, Rink menyesap air pelan, lalu meletakkan gelasnya dengan bunyi tak yang halus, tapi terasa seperti vonis. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, tapi keseluruhan gestur tubuhnya seolah-olah sudah membalas perkataan Laura. Laura mendesah. “Oke. Baiklah. Aku akan mencoba … bertahan hidup di sini.” Rink menatapnya datar. “Ini bukan tentang bertahan hidup, Laura. Ini soal disiplin. Ruang amanku … itu berarti aturanku. Kalau kau ingin hidup damai selama enam bulan, ikuti saja!” Laura tersenyum pahit. “Kalau aku melanggar, apa yang terjadi? Dipenjara di balkon? Atau langsung dikirim balik ke fanbase?” “Aku akan memperpanjang kontraknya jadi satu tahun dan mengurangi nominal imbalanmu.” Laura terkesiap. “Itu ancaman?” “Itu saran.” Laura menatap Rink selama beberapa detik, lalu menyerah dan membuang diri ke sofa. Sofa empuk itu sama sekali tidak menghibur. Ini baru hari pertama. Dan ia sudah ingin pulang. Akan tetapi, ia tahu … tidak ada rumah yang menunggunya. Tidak ada tempat untuk kembali. Tidak ada pelarian. Yang ada hanya apartemen sunyi, peraturan di luar akal, dan seorang pria dingin yang bahkan tidak mau disentuh oleh istrinya sendiri. Laura memejamkan mata sejenak. ‘Oke. Aku pasti bisa bertahan. Aku pernah hidup dengan satu kamar bersama tiga sepupu cerewet di kampung halaman. Aku juga pernah tidur di lantai stasiun.’ Senyum penuh kegetiran terlihat di wajah Laura. ‘Tetapi … aku belum pernah hidup serumah dengan pria yang kukagumi, tanpa boleh menyentuh, mengganggu, atau membuat suara di atas 30 desibel. Hebat sekali!’ “Baiklah, Tuan Pembuat Aturan … kita mainkan game ini,” gumam Laura lirih. Akan tetapi, saat membuka mata, ia menatap ke arah pintu kamar Rink yang kini tertutup rapat. Dan dadanya … lagi-lagi berdebar. Tanpa aba-aba. Karena terlepas dari segala batas, segala aturan, segala ketidakwarasan situasi ini -Laura tinggal satu tembok dari Rink Harrington. Dan itu lebih mematikan dari apapun yang ada di kontrak. ***Di lantai ruang tamu, Laura berlutut untuk mengecek isi koper kecilnya; peralatan makeup, charger ponsel, dan sebotol parfum berwarna dusty pink yang tadi pagi baru ia terima dari Velmora Bloom.Lalu ia meraih sebuah hoodie putih yang ukurannya cukup besar. Matanya melirik nakal ke arah sofa, di mana pria dengan wajah rupawan terlihat sedang menenggelamkan diri ke dalam dokumen yang berisikan tulisan-tulisan skrip. Diam-diam Laura memasukkan hoodie tersebut ke dalam koper.Sementara itu, Rink tampak tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Wajahnya yang tenang menunduk memandangi skripnya. Entah benar-benar membaca atau tidak, sebab sejak setengah jam yang lalu ia terus menatap halaman yang sama.Rink baru memalingkan mata dari bundelan di tangannya, ketika Laura berseru, “Ok, semuanya sudah masuk. Tidak ada yang terlupa.” Kata-kata itu sebanrnya lebih Laura tujukan untuk dirinya sendiri.Akan tetapi, Rink tergelitik untuk bersuara juga. “Jadi, kau benar-benar pergi?” celetu
Kabar itu datang saat senja hampir pudar, empat hari setelah malam gala Velmora diadakan. Laura baru saja duduk santai setelah seharian bekerja di lokasi syuting Rink.Sebagai perias pribadi suaminya, ia harus siap sedia ketika perias utama berhalangan atau terlambat hadir.Laura menikmati secangkir teh hangat di depan televisi, dengan buku catatan di pangkuannya. Ia sedang menggali ide untuk konten media sosialnya.Sementara Rink langsung memacu ototnya di ruang gym.Lalu datanglah pesan itu di ponsel Laura. Dari nomor tak dikenal. Laura membacanya dengan saksama.[Halo, ini Grace dari Velmora Bloom. Kami tertarik bekerja sama dengan Anda untuk kampanye parfum terbaru kami. Bolehkah kami menelepon untuk menjelaskan detailnya?]Dahi Laura sedikit mengerut. ‘Velmora? Bukankah itu perusahaan induk dari brand perhiasan yang menjadikan Rink sebagai brand ambassador utama mereka?’Karena penasaran, Laura tak membuang waktu untuk segera membalas pesan tersebut dan mengizinkan si pengirim un
Napas Laura seakan-akan telah berhenti sejak detik pertama kakinya menginjak red carpet. Seumur hidup ia tak pernah membayangkan akan berjalan menuju grand ballroom dalam perhelatan suatu acara yang prestisius dan di bawah sinar flash kamera yang terarah padanya.Di antara hiruk pikuk tamu VIP dan awak media, Laura berdiri dengan napas yang berat. Ia sekuat tenaga menahan diri untuk tidak celingukan dan tertawa girang setiap melihat wajah-wajah bintang papan atas yang juga menjadi tamu undangan di sana.“Giliranmu, Laura,” bisik pria yang dikenalkan William sebagai asistennya. “Berposelah di sana! Tiga menit saja.”Sesuai arahan, Laura melangkah ke sudut photowall bertuliskan “Velmora Gala Night 2025”, berdiri dengan pose yang sempat diajarkan oleh Rink, dan tersenyum dengan cara yang sudah ditentukan sejak awal. Ia harus mati-matian menahan serangan para fotografer yang kembali menghujaninya dengan kilatan kamera.Ia baru bernapas lega, ketika asisten William memberikan anggukan sama
Laura tak tahu apakah tubuh kekar William yang seketika membuat apartemen Rink sempit, ataukah karena manajer satu itu masih belum bisa sepenuhnya memaafkan perbuatannya, tapi yang pasti Laura selalu merasa sesak setiap kali William muncul.Baginya, William tak ada bedanya dengan gadis yang hendak menyongsong masa datang bulan; emosi dan sikapnya tidak bisa ditebak, tapi seringnya memandang Laura seolah-olah wanita 28 tahun itu adalah kecoa yang sangat mengganggu.Seperti sekarang, Laura berusaha untuk tetap fokus di bawah tatapan penuh tuntutan William. Sementara Rink duduk bersilang kaki, tampak tenang sekaligus serius seperti biasanya.“Acaranya dimulai jam tujuh. Seperti yang sudah tertulis di berkas yang kuanggap sudah kau pelajari, Velmora Jewels adalah sponsor utama Rink yang sudah berinvestasi sejak dia memulai kariernya di dunia entertainment. Jadi, no room for mistakes, mengerti?” Meski terasa menyebalkan diperlakukan seperti orang bodoh, Laura tetap mengangguk patuh. Kala
Setelah bendera putih berkibar di antara Laura dan Rink, suasana apartemen 2025 menjadi lebih hidup dengan adanya suara televisi. Laura sudah berani menyalakannya, meskipun dengan volume yang hanya bisa didengar olehnya saja.Sejak foto mereka dirilis tadi pagi, Laura terus menyimak program TV yang menayangkan gosip-gosip seputar selebriti. Berpindah dari satu channel ke channel lain, hanya untuk memastikan bahwa tak ada sesuatu hal yang tengah memojokkan Rink.Laura menduga Nexus Entertainment ikut campur tangan untuk menetralisir komentar miring yang ramai membanjiri unggahan di akun resmi Rink Harrington.Di Televisi, Rink digambarkan sebagai pria manis yang penuh kejutan. Tak satu pun dari program gosip itu yang membahas tentang kontrasnya ekspresi Laura dan Rink.Laura sedang mendengarkan pembawa acara gosip yang membahas tentang teka-teki kisah asmara Rink, ketika ponselnya tiba-tiba berdering.Dan ia membeku begitu membaca nama si Penelepon.Ibu Laura memang belum sempat meng
Malam itu, Laura dan Rink makan malam di waktu dan tempat yang berbeda. Rink duduk di meja makan di bawah lampu yang hangat, sementara Laura menyantap pastanya di balkon sambil menatap langit gelap serta mendengarkan suara jauh klakson kota.Untuk pertama kalinya sejak menandatangani kontrak pernikahan, Laura merasa bahwa hidupnya kini akan berada seperti di penjara. Ia berulang kali mengingat isi perjanjian. Dan semakin mengingatnya, dadanya semakin terasa sesak.Sikap saling diam itu berlangsung selama dua hari. Selama dua hari itu pula Laura dan Rink seolah-olah saling menghindari berada di satu ruangan yang sama.Dengan kesibukannya sebagai seorang bintang yang sedang berada di puncak masa kejayaan, Rink terkesan sama sekali tidak terganggu dengan situasi dingin di antara mereka. Ia dengan mudah menyibukkan diri di dalam kamar kerjanya.Sementara itu, Laura yang diseret ke dunia yang sama sekali baru baginya, cukup kesulitan hanya untuk melalui satu hari di apartemen Rink. Ia taku