Jam dinding berbunyi pelan. Pukul 06.45.
Laura membuka mata dengan pelan, tidak karena nyenyak, tapi karena otaknya semalaman menolak percaya bahwa dia benar-benar tinggal bersama Rink Harrington. Superstar. Idola nasional yang punya banyak bakat. Pria dengan 20 juta pengikut dan satu kontrak kawin palsu.
Ia bangkit dari sofa panjang yang tadi malam ia pilih sendiri, beralasan tidak ingin merepotkan Rink dengan urusan kamar tambahan. Padahal kenyataannya, ia hanya terlalu canggung untuk meminta.
Langkahnya membawa dirinya ke dapur. Suasananya terlalu sunyi, seperti museum. Bening. Tak ada jejak kehidupan di sana, selain kopi instan dan rak bumbu yang hanya berisi garam, lada, dan oregano kemasan lama.
“Gila! Dia manusia atau bukan, sih?” bisik Laura pada diri sendiri.
Ia membuka kulkas. Seperti dugaan, steril. Hanya ada beberapa botol air mineral, satu kotak telur, sepotong keju yang belum dibuka, dan satu plastik buah jeruk.
Tidak ada roti. Tidak ada selai. Tidak ada kehidupan!
Laura mendesah. Tapi toh dia bukan tamu di hotel. Ini rumahnya juga, meskipun … untuk sementara.
Tanpa pikir panjang, ia mulai bergerak untuk mengambil dua butir telur. Laura hampir menjatuhkan telurnya, sewaktu menutup kulkas dan mendapati sosok Rink sudah berada di dekatnya.
Dengan t-shirt abu dan celana olahraga hitam, rambutnya masih sedikit acak, tapi wajahnya tetap menyimpan aura ‘terlalu-sempurna-untuk-pagi-hari’. Rink berjalan perlahan ke arah meja makan, lalu menoleh ke arah Laura lagi.
Sejenak, Laura terlihat gelisah; karena seolah-olah Rink telah menangkap basah dirinya mencuri bahan makanan. Namun, dalam hitungan detik, Laura berhasil meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sama sekali tidak membuat kesalahan.
Laura dengan cepat membuka pintu-pintu kabinet untuk mencari teflon, lalu menyalakan kompor. Ia menyiapkan adonan omeletnya, sambil berusaha menjaga supaya tangannya tidak gemetar di bawah tatapan mata Rink, yang ia yakini sedang tertuju padanya.
Konsentrasi Laura sedikit buyar, ketika sebuah celetukan singkat terdengar dari Rink.
“Tanpa garam?”
Laura mendongak sebentar untuk menatap Rink, kemudian lanjut mengiris daun peterseli. “Garam bisa ditambahkan di lidah, bukan di wajan. Itu tips untuk penderita sakit lambung. Aku melakukannya untuk berjaga-jaga saja,” gumamnya.
Dengan cekatan, Laura menuangkan telur di atas wajan. Sementara menunggu telurnya matang, Laura membuka jeruk, memerasnya dengan tangan kosong ke dalam gelas kaca yang ia temukan di rak atas.
“Tanpa gula?” Suara Rink lagi-lagi menyita perhatian. Laura mengangguk. “Pasti pahit rasanya.”
Laura tersenyum kecil pada cairan kuning di depannya. “Lebih baik pahit, daripada manis di awal tapi kemudian menyebabkan penyakit. Aku mudah jerawatan kalau mengonsumsi gula.”
Rink menaikkan kedua alisnya, lalu menarik kursi yang berseberangan dengan kompor, sehingga ia bisa leluasa memperhatikan kesibukan Laura.
Pada suatu detik yang tak direncanakan, mata mereka saling bertatapan. Canggung.
Lalu Laura tersenyum kaku. “Ngomong-ngomong … selamat pagi, Rink.”Rink tidak menjawab. Ia hanya mencebikkan bibir dan meraih salah satu gelas di atas meja. Rink menuangkan air dari botol yang diambil Laura dari lemari pendingin.
Suasana mendadak terasa seperti lift berhenti di tengah lantai.
Laura duduk di kursi dan mulai menyantap omelet-nya perlahan. “Terus terang saja, aku tadi sempat bingung apakah aku harus menyiapkan sarapan untukmu juga atau tidak. Tapi kemudian aku ingat dengan aturanmu yann nomor sembilan. Jadi, aku masak untuk diriku sendiri.”
Rink menoleh, menatap piringnya, lalu menatap wajah Laura. “Bagus kalau ingat,” jawabnya singkat.
Laura tersenyum kecut. Ia mengumpati dirinya sendiri yang sempat mencemaskan Rink. Rasanya masih sulit percaya jika Rink yang biasanya selalu tampil menyenangkan untuk para fans, pada kenyataannya memiliki sisi sedingin kutub utara.
Laura menyendok telur ke mulutnya lagi. Perlahan, suasana sunyi kembali turun seperti kabut pagi.
Rick terlihat masih belum berniat untuk membuat sarapan. Ia hanya menatap kosong ke arah meja, di mana isi piring Laura sedikit demi sedikit berkurang.
“Kau terlalu banyak menggunakan daun peterseli,” komentar Rink.
Laura mengangkat bahu. “Aku suka rasanya. Daun itu ringan tapi bisa membersihkan darah. Baik untuk jantung.”
Rink memiringkan kepala. Mata kirinya sedikit menyipit. “Menarik.”
Secara otomatis Laura menghentikan suapannya. Dengan dada yang mulai berdebar, tapi dengan ekspresi yang dipaksakan terlihat datar, ia bertanya,, “Apanya yang menarik?”
“Kau kelihatannya ... serampangan.”
Mata Laura yang besar membulat. “Oke … terima kasih?”
“Tapi kau memperhatikan segala yang masuk ke dalam tubuhmu.”
Laura menaruh garpu, menatapnya sambil menyeka mulut. “Aku ini serampangan, bukan bodoh. Aku bisa hidup berantakan, tapi tetap sehat.”
Rink mencondongkan tubuh ke depan, tangan disilangkan di meja. “Lalu kenapa kau tinggal serumah dengan pria yang bahkan tak bisa kau ajak makan pagi bersama?”
Laura terdiam sejenak. “Karena kau tidak memberiku pilihan,” katanya pelan. “Dan karena kau sudah membuat aturan. Aku cuma ikut main di arenamu.”
Suasana kembali hening.
Lalu, Rink berdiri. Membuka laci lemari atas. Mengambil satu gelas baru. Lalu dengan pelan, mengambil satu jeruk dan mulai memotongnya.
Laura menatapnya bingung. “Kau …?”
“Aku hanya ingin tahu rasanya seperti apa kalau seseorang tega minum ini tiap pagi.” Rink memeras jeruk itu dengan tangan, lalu meneguk satu teguk pelan. Wajahnya menegang. “Ini ... asamnya brutal.”
Laura tertawa. “Nah! Welcome to the club.”
Rink meletakkan gelasnya di meja. “Tapi … cukup menyegarkan.”
Laura mengangguk. “Sudah kubilang, kan?”
Mereka terdiam lagi. Tapi kali ini, bukan canggung. Lebih seperti … berusaha memahami sudut satu sama lain.
Akhirnya Rink berkata, “Kalau kau tetap ingin memasak untuk dirimu sendiri, silakan. Tapi jangan mengganggu suasana pagiku. Aku tidak suka suara blender. Dan jangan buka jendela dapur sebelum jam delapan. Cahaya pagi terlalu terang untuk mataku.”
Laura mendongak. “Akan kuingat. Tapi aku boleh buka kulkas, kan? Atau harus isi formulir dulu?” sindirnya dengan nada ramah.
Rink mengerling. “Selama kau tidak menyentuh yoghurt-ku, kau aman.”
Laura mencibir. “Astaga! Bahkan yoghurt ada di zona pribadi?”
Rink menatapnya serius. “Segalanya ada batasnya, Laura.”
Laura menatap balik. “Bahkan cinta?”
Rink diam. Terlalu lama.
Laura buru-buru melanjutkan, menutup kecanggungan yang ia ciptakan sendiri. “Aku bercanda. Aku tentu tahu batasan. Meskipun aku fansmu, tapi aku tahu tidak ada cinta di sini. Hanya kontrak.” Laura menunjuk kulkas, lalu melanjutkan, “-dan yoghurt.”Rink menghela napas pendek. Ia berdiri, lalu melangkah pergi ke lorong yang mengarah ke kamar depan. Tapi sebelum menghilang, ia berkata tanpa menoleh, “Besok, coba pakai peterseli lebih sedikit. Aromanya mengendap di udara.”
Laura melongo. Lalu tertawa kecil, meski agak getir. “Siap, Jenderal!”
***
Di lantai ruang tamu, Laura berlutut untuk mengecek isi koper kecilnya; peralatan makeup, charger ponsel, dan sebotol parfum berwarna dusty pink yang tadi pagi baru ia terima dari Velmora Bloom.Lalu ia meraih sebuah hoodie putih yang ukurannya cukup besar. Matanya melirik nakal ke arah sofa, di mana pria dengan wajah rupawan terlihat sedang menenggelamkan diri ke dalam dokumen yang berisikan tulisan-tulisan skrip. Diam-diam Laura memasukkan hoodie tersebut ke dalam koper.Sementara itu, Rink tampak tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Wajahnya yang tenang menunduk memandangi skripnya. Entah benar-benar membaca atau tidak, sebab sejak setengah jam yang lalu ia terus menatap halaman yang sama.Rink baru memalingkan mata dari bundelan di tangannya, ketika Laura berseru, “Ok, semuanya sudah masuk. Tidak ada yang terlupa.” Kata-kata itu sebanrnya lebih Laura tujukan untuk dirinya sendiri.Akan tetapi, Rink tergelitik untuk bersuara juga. “Jadi, kau benar-benar pergi?” celetu
Kabar itu datang saat senja hampir pudar, empat hari setelah malam gala Velmora diadakan. Laura baru saja duduk santai setelah seharian bekerja di lokasi syuting Rink.Sebagai perias pribadi suaminya, ia harus siap sedia ketika perias utama berhalangan atau terlambat hadir.Laura menikmati secangkir teh hangat di depan televisi, dengan buku catatan di pangkuannya. Ia sedang menggali ide untuk konten media sosialnya.Sementara Rink langsung memacu ototnya di ruang gym.Lalu datanglah pesan itu di ponsel Laura. Dari nomor tak dikenal. Laura membacanya dengan saksama.[Halo, ini Grace dari Velmora Bloom. Kami tertarik bekerja sama dengan Anda untuk kampanye parfum terbaru kami. Bolehkah kami menelepon untuk menjelaskan detailnya?]Dahi Laura sedikit mengerut. ‘Velmora? Bukankah itu perusahaan induk dari brand perhiasan yang menjadikan Rink sebagai brand ambassador utama mereka?’Karena penasaran, Laura tak membuang waktu untuk segera membalas pesan tersebut dan mengizinkan si pengirim un
Napas Laura seakan-akan telah berhenti sejak detik pertama kakinya menginjak red carpet. Seumur hidup ia tak pernah membayangkan akan berjalan menuju grand ballroom dalam perhelatan suatu acara yang prestisius dan di bawah sinar flash kamera yang terarah padanya.Di antara hiruk pikuk tamu VIP dan awak media, Laura berdiri dengan napas yang berat. Ia sekuat tenaga menahan diri untuk tidak celingukan dan tertawa girang setiap melihat wajah-wajah bintang papan atas yang juga menjadi tamu undangan di sana.“Giliranmu, Laura,” bisik pria yang dikenalkan William sebagai asistennya. “Berposelah di sana! Tiga menit saja.”Sesuai arahan, Laura melangkah ke sudut photowall bertuliskan “Velmora Gala Night 2025”, berdiri dengan pose yang sempat diajarkan oleh Rink, dan tersenyum dengan cara yang sudah ditentukan sejak awal. Ia harus mati-matian menahan serangan para fotografer yang kembali menghujaninya dengan kilatan kamera.Ia baru bernapas lega, ketika asisten William memberikan anggukan sama
Laura tak tahu apakah tubuh kekar William yang seketika membuat apartemen Rink sempit, ataukah karena manajer satu itu masih belum bisa sepenuhnya memaafkan perbuatannya, tapi yang pasti Laura selalu merasa sesak setiap kali William muncul.Baginya, William tak ada bedanya dengan gadis yang hendak menyongsong masa datang bulan; emosi dan sikapnya tidak bisa ditebak, tapi seringnya memandang Laura seolah-olah wanita 28 tahun itu adalah kecoa yang sangat mengganggu.Seperti sekarang, Laura berusaha untuk tetap fokus di bawah tatapan penuh tuntutan William. Sementara Rink duduk bersilang kaki, tampak tenang sekaligus serius seperti biasanya.“Acaranya dimulai jam tujuh. Seperti yang sudah tertulis di berkas yang kuanggap sudah kau pelajari, Velmora Jewels adalah sponsor utama Rink yang sudah berinvestasi sejak dia memulai kariernya di dunia entertainment. Jadi, no room for mistakes, mengerti?” Meski terasa menyebalkan diperlakukan seperti orang bodoh, Laura tetap mengangguk patuh. Kala
Setelah bendera putih berkibar di antara Laura dan Rink, suasana apartemen 2025 menjadi lebih hidup dengan adanya suara televisi. Laura sudah berani menyalakannya, meskipun dengan volume yang hanya bisa didengar olehnya saja.Sejak foto mereka dirilis tadi pagi, Laura terus menyimak program TV yang menayangkan gosip-gosip seputar selebriti. Berpindah dari satu channel ke channel lain, hanya untuk memastikan bahwa tak ada sesuatu hal yang tengah memojokkan Rink.Laura menduga Nexus Entertainment ikut campur tangan untuk menetralisir komentar miring yang ramai membanjiri unggahan di akun resmi Rink Harrington.Di Televisi, Rink digambarkan sebagai pria manis yang penuh kejutan. Tak satu pun dari program gosip itu yang membahas tentang kontrasnya ekspresi Laura dan Rink.Laura sedang mendengarkan pembawa acara gosip yang membahas tentang teka-teki kisah asmara Rink, ketika ponselnya tiba-tiba berdering.Dan ia membeku begitu membaca nama si Penelepon.Ibu Laura memang belum sempat meng
Malam itu, Laura dan Rink makan malam di waktu dan tempat yang berbeda. Rink duduk di meja makan di bawah lampu yang hangat, sementara Laura menyantap pastanya di balkon sambil menatap langit gelap serta mendengarkan suara jauh klakson kota.Untuk pertama kalinya sejak menandatangani kontrak pernikahan, Laura merasa bahwa hidupnya kini akan berada seperti di penjara. Ia berulang kali mengingat isi perjanjian. Dan semakin mengingatnya, dadanya semakin terasa sesak.Sikap saling diam itu berlangsung selama dua hari. Selama dua hari itu pula Laura dan Rink seolah-olah saling menghindari berada di satu ruangan yang sama.Dengan kesibukannya sebagai seorang bintang yang sedang berada di puncak masa kejayaan, Rink terkesan sama sekali tidak terganggu dengan situasi dingin di antara mereka. Ia dengan mudah menyibukkan diri di dalam kamar kerjanya.Sementara itu, Laura yang diseret ke dunia yang sama sekali baru baginya, cukup kesulitan hanya untuk melalui satu hari di apartemen Rink. Ia taku