Senara duduk sendirian di sudut bar, dikelilingi gemerlap lampu dan irama dentum musik yang menghentak dada. Gelas minumannya masih utuh, tak tersentuh sedikit pun. Cairan bening di dalamnya hanya bergetar setiap kali bass dari musik menghantam udara.
Ia tidak ingin mabuk. Ia hanya ingin hening di tengah kebisingan. Kepalanya masih terasa berat. Perutnya sesekali mual. Tapi anehnya, suara musik dan cahaya yang menyilaukan justru membuat pikirannya perlahan-lahan tumpul. Tidak sepeka tadi. Tidak sesakit tadi. Ia menatap kosong ke depan, lalu sesekali memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam suara-suara asing. Seolah semua luka dan pengkhianatan bisa diredam, diganti oleh irama yang tak mengenal siapa dirinya. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, suara musik terputus oleh teriakan. Dua pria di dekat meja tengah mulai saling dorong. Entah karena minuman, entah karena wanita Senara tidak peduli. Awalnya ia hanya melirik sebentar, lalu kembali memalingkan wajah. Ia tidak ingin terlibat. Tidak malam ini. Namun keributan semakin dekat. Meja-meja terdorong. Gelas pecah. Satu kursi bahkan hampir mengenai kakinya. Senara bangkit, refleks, mencoba menjauh—tapi kedua pria itu justru semakin liar, saling serang, saling pukul. Beberapa pengunjung berteriak, penjaga mulai mendekat. Dan saat salah satu dari mereka menabrak meja tempat Senara duduk, menjatuhkan gelas dan membuat tasnya tercecer batas kesabarannya hancur. Dengan tubuh yang masih lemas tapi amarah yang mendidih, Senara berdiri. Matanya tajam, wajahnya dingin. Ia meraih botol minum kosong yang ada di meja sebelah. Lalu—PRANG!! Botol itu pecah menghantam sudut meja, menciptakan suara yang langsung memecah suasana. Potongan kaca berhamburan. Semua orang terdiam. Termasuk dua pria yang tadi saling baku hantam. Semua mata menoleh ke arah Senara. Ia berdiri tegak, napasnya berat. Tangannya yang menggenggam leher botol yang pecah sedikit bergetar, tapi wajahnya tak gentar. “Cukup!” katanya tajam. “Kalau mau berantem, jangan ganggu meja orang lain. Silahkan keluar !” Hening. Tidak ada yang bersuara. Bahkan musik belum diputar kembali. Kedua pria itu menatapnya sejenak, lalu melirik ke sekeliling, sadar telah menarik perhatian semua orang. Seorang petugas keamanan datang dan langsung menarik mereka keluar. Senara masih berdiri. Botol pecah itu masih di tangannya. Seseorang mendekat, seorang petugas bar—“Mbak nggak apa-apa?” Ia hanya mengangguk pelan, lalu meletakkan botol itu di meja, kembali duduk, dan mengambil tasnya. Dunia di dalam klub itu kembali bergerak. Musik kembali diputar. Suara-suara mulai terdengar lagi. Tapi bagi Senara, dunia seakan berhenti di titik itu. Ia sadar, bukan dua pria itu yang membuatnya marah. Yang benar-benar ingin ia pecahkan adalah hatinya sendiri. Yang terus menyimpan luka… dan tidak tahu ke mana harus melarikan diri. Malam itu, ia meninggalkan klub lebih cepat dari rencana. Dengan langkah pelan, ia melangkah ke luar, menuju jalanan malam Jakarta yang basah. Langkah Senara baru beberapa meter menjauh dari pintu keluar klub malam saat terdengar suara langkah tergesa di belakangnya. ‘’Hey, tunggu dulu!’’ Senara menoleh setengah hati. Seorang pria dengan jaket hitam, wajahnya sedikit memar di pelipis, pria yang tadi berkelahi berlari kecil mengejarnya. Senara langsung mengenali wajahnya. Matanya menyipit. Senara menatap lekat sosok di depannya dengan dahi mengerut. Wajah itu... ada sesuatu yang tidak asing. Garis rahangnya, sorot matanya, bahkan cara ia berdiri semuanya terasa familiar, seolah terkubur dalam ingatannya yang sudah berdebu oleh waktu. "Apa kita pernah ketemu sebelumnya?" tanya Senara, suaranya ragu namun serius. Pria itu mengangkat alis, lalu mengedikkan bahu santai. "Entah!" katanya cepat, lalu menambahkan, “Gue cuma mau bilang makasih.” Nada suara santainya justru membuat Senara semakin jengkel. Ia menghela napas panjang, berusaha menahan sisa emosi yang masih tertinggal sejak keributan di dalam klub. "Apa ini kebiasaan mu? Berantem kayak gitu? Next time, kalau mau berantem, jangan sampai merugikan orang lain!" Pria itu masih dengan nada membela diri menjawab cepat, "Bukan gue yang mulai!" "Maybe," balas Senara nampak acuh, "Siapapun itu yang memulai. Yang jelas kalian meresahkan!" Pria itu membuka mulut, ingin menjelaskan. “Gue—” Namun sebelum ia sempat bicara lebih jauh, terdengar suara lantang dari kejauhan, "Jati! Woy!" Teriak seseorang sambil berlari mendekati mereka. ‘’Apa?”’ Jati menoleh ke arah laki laki itu. ‘’Bagas, dia luka dan dibawa ke rumah sakit sekarang! Gue mau nyusul kesana, lo gimana?’’ ‘’Bangsatt! Ya udah nanti gue nyusul, lo duluan aja!’’ ‘’Oke kalau gitu, gue duluan !’’ katanya menepuk bahu Jati sebelum akhirnya pergi. Sementara Senara langsung terdiam. Matanya membelalak, lalu beralih menatap pria di hadapannya dengan tatapan yang penuh keterkejutan. Suara itu, nama itu... "Jati? Kamu Jati? Jatidara?" Pekik Senara dengan napas tercekat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Kenapa lo tahu nama gue?” Tanya pria di depannya yang kini jelas bernama Jati menatap Senara dengan ekspresi bingung. Matanya menyipit. Senara melangkah mendekat, perlahan. Hatinya seperti disambar memori lama yang tiba-tiba hidup kembali. “Wow… jadi kamu beneran Jati?” Jati mundur setengah langkah. “Lo siapa?” Dengan senyum yang setengah getir, setengah kaget, Senara menjawab pelan, “Aku, Senara.” Jati menatapnya beberapa detik, seolah memindai wajah di depannya, mencocokkan potongan-potongan masa lalu yang sempat ia lupakan. Dan tiba-tiba... “Whattt!” serunya, matanya membelalak, “Senara Ayunda??” Mereka terdiam. Angin malam berembus pelan, membawa keheningan aneh di antara mereka. Masa lalu yang telah lebih dari sepuluh tahun mereka kubur kini muncul kembali di tempat yang tak terduga. Dulu mereka hanya anak SMP yang lugu dan tak mengerti arti cinta sebenarnya. Kini, mereka dewasa, hancur oleh hidup masing-masing, dan dipertemukan kembali dalam kondisi yang begitu berbeda. Tak heran mereka tidak saling mengenali waktu telah mengubah segalanya, termasuk luka dan ketegasan di mata mereka. Namun satu hal yang tak berubah... Adalah nama yang sempat tinggal diam di sudut hati mereka.Ruang ganti pengantin itu sunyi. Hanya detak jam dinding dan deru samar dari AC yang terdengar mengisi udara. Harum bunga melati dan wangi kosmetik bercampur menjadi aroma khas hari pernikahan. Tapi suasana hatinya tak setenang itu.Senara menegakkan tubuhnya perlahan, menatap para kerabat yang masih ramai di ruangan.“Maaf Pak, Bu, mbak dan Mas. Senara mau bicara sama Jati dulu,’’ ucap Senara pelan seraya menatap keluarganya satu persatu.‘’Iya Nduk, bapak sama Ibu tunggu diluar ya.” Bu Ayu mengangguk dan mengusap lengan putri bungsunya sebentar sebelum akhirnya mengajak cucunya keluar.‘’Iya Buk,”‘’Jangan lama lama Dek, penghulunya udah dateng soalnya,” kata mbak Nanda.‘’Iya mbak,”Butuh beberapa detik, namun akhirnya satu per satu kerabat dan panitia keluar meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Pintu ditutup rapat, menyisakan hanya dua orang dengan beban yang tak terucapkan di dalam hati masing masing.Senara berdiri di depan cermin besar, gaun putihnya menjuntai anggun samp
Jati duduk di tepi ranjang kontrakannya yang sempit, menatap layar ponsel kosong tanpa niat membukanya. Di atas meja, undangan pernikahan Senara dan Bima masih terbuka, lembaran yang tadi siang diberikan oleh Senara dengan tangan gemetar.“Gila. Ini gila,” gumamnya. Ia menggaruk rambutnya yang acak-acakan, menarik napas panjang.Pikiran Jati berloncatan, tentang Senara, tentang masa SMP mereka, tentang waktu itu saat ia duduk sendiri di pojokan kelas, dan Senara datang, duduk di sebelahnya tanpa canggung. Tentang senyum Senara yang menyelamatkannya dari rasa sepi yang tak dimengerti anak-anak seusianya.Kini, perempuan yang sama, memintanya menyelamatkan satu-satunya hari penting dalam hidupnya.Pernikahan. Bukan cinta. Bukan lamaran romantis. Tapi sebuah permintaan putus asa.Jati menghela napas.“Kalau waktu itu dia bisa nyelametin gue, apa sekarang giliran gue?” Ia terdiam sejenak. “...Atau ini cuma gila doang?”Dan malam itu akhirnya Jati tidak tidur.__Gedung pernikahan sore itu
Senara masih duduk di trotoar, memeluk lututnya sendiri. Matanya menatap Jati yang kini berdiri, berkacak pinggang, memandangnya seperti menatap makhluk aneh dari planet lain. “Jati… aku serius. Ayo kita menikah besok,” ulangnya, kali ini lebih mantap, seperti seseorang yang sudah siap mempertaruhkan seluruh hidupnya pada sebuah keputusan gila. Jati membeku di tempat. Bibirnya terbuka sedikit, tapi tak ada kata yang keluar. Ia benar-benar tak paham. “Lo... ngomong apaan sih?” tanyanya dengan suara pelan, seolah takut jawaban itu memang nyata. “Menikah. Besok. Di gedung yang sudah disewa. Keluarga aku udah datang dari kampung. Dekorasi udah jadi. Makanan udah dipesan. Semua tinggal jalan,” Senara bicara cepat, nyaris seperti membaca naskah dari kepala. “Tadinya buat aku dan Bima, tapi... dia pergi. Dan sekarang... aku nggak tahu harus bagaimana. Aku nggak bisa batalkan semua ini. Aku nggak bisa bikin malu orangtuaku.” Jati menatap Senara lama, nyaris tanpa kedipan. Otaknya masih
"Gue nggak nyangka kalau sekarang lo berubah sejauh ini!" ucap Jati sambil masih menatap Senara dengan tatapan penuh heran sekaligus kagum. Mata Jati menyapu wajah Senara pelan-pelan, seolah memastikan bahwa sosok di hadapannya benar-benar gadis SMP yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Namun yang berdiri di depannya sekarang adalah perempuan dewasa dengan sorot mata yang jauh lebih tajam dan sikap yang tegas. Senara tersenyum miring, lalu melipat tangannya di dada. “Emangnya cuma aku aja yang berubah? Kamu pun juga berubah banyak. Terutama soal penampilan!” Ia menggeleng kecil, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Jati yang dulu ia kenal adalah bocah gemuk dengan rambut acak-acakan dan gigi berantakan. Ia sering jadi sasaran bully di sekolah. Tak ada yang mau duduk sebangku dengannya, apalagi berteman. Semua menjauhinya seperti ia wabah penyakit. Semua… kecuali Senara. Waktu itu, Senara lah satu-satunya yang menghampiri Jati saat semua orang memilih menjauh. Ia y
Senara duduk sendirian di sudut bar, dikelilingi gemerlap lampu dan irama dentum musik yang menghentak dada. Gelas minumannya masih utuh, tak tersentuh sedikit pun. Cairan bening di dalamnya hanya bergetar setiap kali bass dari musik menghantam udara. Ia tidak ingin mabuk. Ia hanya ingin hening di tengah kebisingan. Kepalanya masih terasa berat. Perutnya sesekali mual. Tapi anehnya, suara musik dan cahaya yang menyilaukan justru membuat pikirannya perlahan-lahan tumpul. Tidak sepeka tadi. Tidak sesakit tadi. Ia menatap kosong ke depan, lalu sesekali memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam suara-suara asing. Seolah semua luka dan pengkhianatan bisa diredam, diganti oleh irama yang tak mengenal siapa dirinya. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, suara musik terputus oleh teriakan. Dua pria di dekat meja tengah mulai saling dorong. Entah karena minuman, entah karena wanita Senara tidak peduli. Awalnya ia hanya melirik sebentar, lalu kembali memalingkan waja
Pagi datang terlalu cepat bagi seseorang yang tidak tidur semalaman. Senara terbangun bukan karena alarm, tapi karena perutnya melilit hebat. Rasa nyeri itu naik hingga ke dada, seperti ditusuk-tusuk dari dalam. Napasnya pendek, dingin keringat membasahi leher dan punggung. Ia tahu gejala ini. Asam lambungnya kambuh dan kali ini lebih parah dari sebelumnya. Ia menggenggam ponsel dengan tangan gemetar, membuka aplikasi ojek online dan memesan kendaraan ke rumah sakit terdekat. Hujan tipis turun saat ia melangkah keluar dari kosan, dengan tubuh yang limbung dan langkah terseret. Wajahnya pucat. Matanya sembab. Tapi tak ada waktu untuk peduli pada penampilan. Motor datang. “Ke rumah sakit, ya, Mas,” katanya pelan sambil berusaha menahan mual. Perjalanan yang hanya 15 menit terasa seperti seumur hidup. Di tengah jalan, ponselnya berbunyi beberapa kali. Notifikasi pesan masuk dari grup keluarga: “Senara, kami sudah otw,’’ tulis Nandini, kakak pertama Senara disertai foto-foto wajah ce