Share

Bab 5

Author: Mommy_Ar
last update Last Updated: 2025-05-19 05:13:06

"Gue nggak nyangka kalau sekarang lo berubah sejauh ini!" ucap Jati sambil masih menatap Senara dengan tatapan penuh heran sekaligus kagum.

Mata Jati menyapu wajah Senara pelan-pelan, seolah memastikan bahwa sosok di hadapannya benar-benar gadis SMP yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Namun yang berdiri di depannya sekarang adalah perempuan dewasa dengan sorot mata yang jauh lebih tajam dan sikap yang tegas.

Senara tersenyum miring, lalu melipat tangannya di dada. “Emangnya cuma aku aja yang berubah? Kamu pun juga berubah banyak. Terutama soal penampilan!”

Ia menggeleng kecil, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Jati yang dulu ia kenal adalah bocah gemuk dengan rambut acak-acakan dan gigi berantakan. Ia sering jadi sasaran bully di sekolah. Tak ada yang mau duduk sebangku dengannya, apalagi berteman. Semua menjauhinya seperti ia wabah penyakit. Semua… kecuali Senara.

Waktu itu, Senara lah satu-satunya yang menghampiri Jati saat semua orang memilih menjauh. Ia yang duduk bersamanya saat makan siang, membantunya saat kena hukuman, dan membelanya saat Jati dipermalukan oleh teman-teman. Hubungan mereka tumbuh perlahan dari pertemanan menjadi ikatan kecil yang mereka sebut cinta.

Cinta monyet, memang. Tapi terasa besar di usia mereka saat itu. Rasa yang murni, jujur, dan membuat mereka saling menjaga.

Namun seperti banyak cerita remaja lainnya, takdir punya rencana lain. Saat kelas 3 SMP, Jati harus pindah ke Jakarta mengikuti orang tuanya. Tidak ada perpisahan yang manis. Tidak ada pelukan atau janji akan saling mencari. Hanya air mata dan pesan singkat yang akhirnya tak pernah dibalas lagi. Sejak hari itu, mereka menghilang dari hidup masing-masing.

Dan sekarang… lebih dari sepuluh tahun berlalu.

Senara menatap Jati dari ujung rambut sampai ujung sepatu. Pria di depannya itu kini tinggi, tegap, dan… sangat tampan. Bahkan jika mereka tidak berbicara hari ini, ia tak akan pernah menebak bahwa pria ini adalah Jati yang dulu suka menyembunyikan wajahnya di balik buku dan jaket.

“Aku gak nyangka, kamu bisa berubah total gini,” lanjut Senara pelan, suaranya sedikit sendu. “Dulu kamu kan… yah, kamu tahu sendiri.”

Jati tertawa pendek, nada getirnya samar. “Hemm, apa kabar Ra?’’

Senara terdiam. Ada sesuatu yang menyesak di dada saat mendengar nama panggilan lama itu. "Ra"—nama kecil yang dulu hanya Jati yang mengucapkannya seperti itu.

Ia membuang pandang ke arah jalanan, mencoba mengalihkan gejolak yang mulai muncul di hatinya. Tapi sia-sia. Karena kenangan yang terkubur itu kini telah bangkit, lengkap dengan tatapan dan suara dari orang yang selama ini hanya hadir samar-samar di dalam ingatan.

Dan sekarang dia kembali.

Dengan wajah baru, kehidupan baru… dan mungkin, luka lama yang belum sembuh sepenuhnya.

**

“Bukannya kamu harus ke rumah sakit? Katanya teman kamu luka,” ujar Senara tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.

Kini mereka duduk berdampingan di atas trotoar, tepat di pinggir jalan yang masih ramai oleh lampu kendaraan dan langkah orang-orang yang lalu lalang. Angin malam menyentuh lembut wajah mereka, membawa aroma aspal basah dan sisa asap dari warung pinggir jalan.

Jati bersandar santai dengan tangan menyentuh lutut, menatap lampu jalan yang menggantung seperti cahaya kuning pucat dari langit.

“Biarin aja,” jawabnya acuh. “Ada pacarnya itu yang jagain. Gue malah jadi nyempil nggak penting.”

Senara hanya mengangguk pelan. Tak tahu harus merespons apa. Ia lalu meneguk teh pucuk dalam botol plastik yang mulai menghangat di genggamannya. Suara tegukan pelan itu menjadi satu-satunya suara di antara mereka selama beberapa detik.

“Pacar kamu mana?” tanya Senara, seolah itu pertanyaan ringan, padahal hatinya deg-degan sendiri.

Jati menggeleng sambil menyeringai tipis. “Gak ada.”

Senara menaikkan alis. “Oh… atau jangan-jangan udah ada istri?”

Jati terkekeh. “Belum juga. Gue masih enjoy hidup sendirian.”

Senara menoleh, kali ini benar-benar menatap Jati lekat. Matanya menyapu wajah pria itu, menyerap semua perubahan yang telah waktu bawa, dan... entah kenapa, ada bagian kecil dalam hatinya yang terasa hangat. Familiar.

“Jati,” ucapnya, lebih pelan, tapi jelas.

Jati menoleh dengan alis terangkat. “Kenapa? Lo jatuh cinta sama gue lagi?”

Nada bercandanya terdengar ringan, tapi ada sedikit getar di dalamnya entah karena gugup atau hanya menutupi kemungkinan yang ia takutkan.

Senara berdecak pelan, berpura-pura kesal. Tapi dalam hati… ia benar-benar ingin mengatakan "ya". Sayangnya, keberanian hanya datang separuh.

Jati menunggu, lalu bersuara lagi. “Mau ngomong sesuatu? Ngomong aja. Gue masih di sini.”

Senara menarik napas. Ini mungkin gila. Ini mungkin emosi sesaat. Tapi ia tahu apa yang ia rasakan, dan ia lelah menahan semuanya sendiri.

“Jati,” katanya pelan, “Kamu mau nikah gak sama aku?”

Jati menoleh cepat, nyaris terkejut seperti disambar petir, “Lah? Lo nggak lagi mabuk kan?”

Senara menggeleng, mantap. “Aku nggak minum sama sekali di dalam. Jadi aku sadar, 100%.”

Jati berdiri tiba-tiba. Tatapannya terkejut, nyaris panik. “Kalau nggak mabuk, berarti lo nggak waras!”

“Jati, aku serius,” Senara berkata tegas, menatapnya dari bawah. Wajahnya sungguh-sungguh. Tidak ada gurauan di sana.

" Gak ada orang serius, tiba tiba ngakak mantan kawin begini Ra!" Jati mengacak rambutnya dengan frustrasi, seperti tak tahu harus menertawakan atau berteriak. “Gila lo,” gumamnya. “Gila...”

Ia memutar tubuh, menatap jalan, lalu kembali menatap Senara yang masih duduk tenang seolah baru saja mengajak nonton film, bukan menikah.

“Dimana alamat lo?” tanyanya akhirnya. “Biar gue anter pulang. Daripada lo makin ngelantur di sini.”

Tapi dalam sorot mata Jati, ada kegelisahan lain. Bukan sekadar kebingungan… tapi bayangan masa lalu yang seolah kembali menggoda: jika dulu ia pernah kehilangan Senara begitu saja, apakah sekarang ia cukup siap untuk tidak melewatkannya lagi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona sang MANTAN   Bab 25

    Senara dan Jati masih duduk di sofa, dalam keheningan yang berbeda. Bukan canggung, bukan kosong, tapi hangat. Keheningan yang diisi oleh degup jantung yang perlahan selaras. Pandangan mereka bertemu, saling menatap lama.Senara mengedip pelan. Tatapan matanya yang biasanya kuat dan tegas, malam ini justru terasa rapuh, namun tulus. Sementara Jati… tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah perempuan di hadapannya. Perempuan yang dulu ia cintai dalam sunyi masa remaja, dan kini, takdir mempertemukan mereka kembali dalam status yang lebih dari sekadar cinta monyet sebagai suami istri.Tak ada satu pun kata keluar.Tapi ketika Senara menyentuh pipi Jati perlahan, dan Jati membalas dengan mengecup jemari itu lembut, segalanya jadi jelas: ada cinta yang perlahan bangkit dari tidur panjangnya.Jati membelai rambut Senara, menyibakkan helaian kecil yang jatuh di keningnya. “Kamu cantik banget malam ini,” bisiknya.Senara hanya tersenyum kecil, gugup, tapi hatinya ber

  • Pesona sang MANTAN   Bab 24

    Tiga hari terasa panjang bagi Senara. Sepi. Hampa. Dan sunyi—bahkan suara televisi yang biasanya menemani pun terasa seperti gema tak bersuara. Selama tiga hari itu pula, ia benar-benar mencoba berpura-pura kuat. Tapi setiap malam, bantal menjadi saksi betapa berat bebannya.Hari itu, saat awan Jakarta mulai menggelap, suara mesin motor sport menghentikan langkah kaki Senara yang baru saja pulang kerja. Ia menoleh ke arah sumber suara. Helm full face itu dilepas perlahan, menampilkan wajah lelah tapi hangat. Jati."Assalamu'alaikum," sapa Jati pelan.Senara hanya mengangguk kecil, "Wa’alaikumsalam.""Baru pulang?" tanya Jati, melangkah mendekat sambil menggendong tas ransel besar."Iya. Tadi kerjaan cukup padat," jawabnya sambil berjalan ke arah pintu apartemen. Jati menyusul.Sesampainya di dalam, Jati meletakkan tasnya dan langsung merebahkan diri di sofa sambil menghembuskan napas panjang."Capek banget sumpah," gumamnya. "Tapi kangen kamu lebih berat.

  • Pesona sang MANTAN   Bab 23

    Di sebuah rumah joglo yang megah, berarsitektur khas Jawa, berdiri anggun di tengah hamparan sawah yang menghijau. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan wangi teh tubruk dari dapur belakang. Rumah itu tidak hanya menyimpan kenangan masa kecil Jati, tapi juga menjadi tempat paling sakral baginya tempat di mana ia selalu pulang, untuk menemukan akar dirinya.Di tengah pendapa yang luas dan sejuk, tampak seorang pria muda bersimpuh di depan seorang lelaki tua bersorban putih dan bertongkat kayu jati. Wajah tua itu masih bersinar meski keriput telah menjajah kulitnya. Tatapannya tajam, namun penuh bijaksana. Dialah Kakek Lesmana, tokoh sentral keluarga, pengusaha tanah air yang kini memilih hidup tenang di pedesaan.Sementara cucunya, Jatidaru, tak lain adalah pewaris keluarga dan hari ini, ia bersujud seperti anak kecil yang baru saja ketahuan mencuri ketan dari dapur.“Oh ayolah, Kek… plis. Jangan durhaka sama cucu! Ini demi masa depan rumah tangga cucu kakek ini

  • Pesona sang MANTAN   Bab 22

    Sinar matahari belum terlalu menyengat saat Jati dan Senara berdiri di depan kantor tempat Senara bekerja. Mobil yang akan membawa Jati ke bandara sudah menunggu tak jauh dari sana.Jati menatap wajah Senara dengan tatapan ragu, seolah masih berat meninggalkannya, apalagi di tengah situasi yang tak sepenuhnya baik.“Aku harus ke Jogja hari ini. Kayaknya bakal dua hari, mungkin tiga. Paling lama satu minggu,” ujar Jati pelan sambal mengusap tangan Senara yang dingin karena angin pagi.Senara tersenyum kecil. “Gak apa-apa. Aku udah biasa kok.”Tapi Jati tahu, di balik senyuman itu, ada sesuatu yang ia sembunyikan. Mungkin luka, mungkin kesepian. Mungkin perasaan kalah yang terus ia telan sendiri.“Kamu yakin gak apa-apa?” Jati menekankan lagi, seolah meminta izin bukan cuma pada mulut Senara, tapi pada hatinya juga.Senara mengangguk lebih mantap kali ini. “Yakin. Aku udah gede, Jati,” ujarnya mencoba bercanda.Jati tersen

  • Pesona sang MANTAN   Bab 21

    Hari-hari berikutnya berjalan semakin berat bagi Senara. Bukan hanya soal perasaan yang masih berusaha ia tata bersama Jati, tetapi juga beban pekerjaan di kantor yang mendadak meningkat drastis.Sejak ia kembali bekerja pasca pernikahan, Senara merasakan suasana kantor berubah. Rekan-rekan sekantor yang dulu ramah, kini mulai terlihat menjauh. Bahkan beberapa kolega yang dulu sering mengajaknya makan siang, perlahan mulai menghindar.Awalnya, ia mengira itu hanya perasaannya saja. Tapi seiring waktu, perlakuan mereka makin nyata. File kerjaan yang tiba-tiba menumpuk di mejanya, padahal itu bukan bagiannya. Deadline yang mendadak dimajukan. Dan yang paling menyakitkan: gosip bertebaran.Di pantry, ia sempat mendengar beberapa orang membicarakannya."Katanya sih cowoknya kabur sebelum nikah. Terus dia asal comot cowok dari jalanan buat tutupin malu," ujar salah satu rekan, bisik-bisik tapi cukup keras."Eh, seriusan? Gila sih kalau bener. Gue juga denger katanya c

  • Pesona sang MANTAN   Bab 20

    Sore itu, langit Jakarta mulai mendung. Senara baru saja selesai mengemas barang-barang di mejanya. Sebentar lagi jam pulang, dan seperti janji pagi tadi, Jati akan menjemputnya. Namun, entah kenapa sejak makan siang, perasaannya gelisah. Ada firasat tak enak yang hinggap, tapi tak bisa ia jelaskan. Baru saja ia berdiri dan hendak menuju lift, suara itu menghentikan langkahnya. "Senara..." Langkahnya terhenti. Tubuhnya kaku. Ia mengenali suara itu, bahkan detak jantungnya langsung berubah ritmenya. Dengan ragu, Senara menoleh. Dan di sana, berdiri seseorang yang sempat ia anggap akan menjadi masa depannya. Bima. Dengan kemeja biru tua yang terlihat sangat rapi dan wajah yang sedikit lebih tirus dari terakhir kali ia lihat, Bima berdiri dengan mata yang terlihat sayu. "Selamat ya..." ucapnya pelan. Senara menatapnya datar, tidak menjawab.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status