LOGIN"Gue nggak nyangka kalau sekarang lo berubah sejauh ini!" ucap Jati sambil masih menatap Senara dengan tatapan penuh heran sekaligus kagum.
Mata Jati menyapu wajah Senara pelan-pelan, seolah memastikan bahwa sosok di hadapannya benar-benar gadis SMP yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Namun yang berdiri di depannya sekarang adalah perempuan dewasa dengan sorot mata yang jauh lebih tajam dan sikap yang tegas. Senara tersenyum miring, lalu melipat tangannya di dada. “Emangnya cuma aku aja yang berubah? Kamu pun juga berubah banyak. Terutama soal penampilan!” Ia menggeleng kecil, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Jati yang dulu ia kenal adalah bocah gemuk dengan rambut acak-acakan dan gigi berantakan. Ia sering jadi sasaran bully di sekolah. Tak ada yang mau duduk sebangku dengannya, apalagi berteman. Semua menjauhinya seperti ia wabah penyakit. Semua… kecuali Senara. Waktu itu, Senara lah satu-satunya yang menghampiri Jati saat semua orang memilih menjauh. Ia yang duduk bersamanya saat makan siang, membantunya saat kena hukuman, dan membelanya saat Jati dipermalukan oleh teman-teman. Hubungan mereka tumbuh perlahan dari pertemanan menjadi ikatan kecil yang mereka sebut cinta. Cinta monyet, memang. Tapi terasa besar di usia mereka saat itu. Rasa yang murni, jujur, dan membuat mereka saling menjaga. Namun seperti banyak cerita remaja lainnya, takdir punya rencana lain. Saat kelas 3 SMP, Jati harus pindah ke Jakarta mengikuti orang tuanya. Tidak ada perpisahan yang manis. Tidak ada pelukan atau janji akan saling mencari. Hanya air mata dan pesan singkat yang akhirnya tak pernah dibalas lagi. Sejak hari itu, mereka menghilang dari hidup masing-masing. Dan sekarang… lebih dari sepuluh tahun berlalu. Senara menatap Jati dari ujung rambut sampai ujung sepatu. Pria di depannya itu kini tinggi, tegap, dan… sangat tampan. Bahkan jika mereka tidak berbicara hari ini, ia tak akan pernah menebak bahwa pria ini adalah Jati yang dulu suka menyembunyikan wajahnya di balik buku dan jaket. “Aku gak nyangka, kamu bisa berubah total gini,” lanjut Senara pelan, suaranya sedikit sendu. “Dulu kamu kan… yah, kamu tahu sendiri.” Jati tertawa pendek, nada getirnya samar. “Hemm, apa kabar Ra?’’ Senara terdiam. Ada sesuatu yang menyesak di dada saat mendengar nama panggilan lama itu. "Ra"—nama kecil yang dulu hanya Jati yang mengucapkannya seperti itu. Ia membuang pandang ke arah jalanan, mencoba mengalihkan gejolak yang mulai muncul di hatinya. Tapi sia-sia. Karena kenangan yang terkubur itu kini telah bangkit, lengkap dengan tatapan dan suara dari orang yang selama ini hanya hadir samar-samar di dalam ingatan. Dan sekarang dia kembali. Dengan wajah baru, kehidupan baru… dan mungkin, luka lama yang belum sembuh sepenuhnya. ** “Bukannya kamu harus ke rumah sakit? Katanya teman kamu luka,” ujar Senara tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka. Kini mereka duduk berdampingan di atas trotoar, tepat di pinggir jalan yang masih ramai oleh lampu kendaraan dan langkah orang-orang yang lalu lalang. Angin malam menyentuh lembut wajah mereka, membawa aroma aspal basah dan sisa asap dari warung pinggir jalan. Jati bersandar santai dengan tangan menyentuh lutut, menatap lampu jalan yang menggantung seperti cahaya kuning pucat dari langit. “Biarin aja,” jawabnya acuh. “Ada pacarnya itu yang jagain. Gue malah jadi nyempil nggak penting.” Senara hanya mengangguk pelan. Tak tahu harus merespons apa. Ia lalu meneguk teh pucuk dalam botol plastik yang mulai menghangat di genggamannya. Suara tegukan pelan itu menjadi satu-satunya suara di antara mereka selama beberapa detik. “Pacar kamu mana?” tanya Senara, seolah itu pertanyaan ringan, padahal hatinya deg-degan sendiri. Jati menggeleng sambil menyeringai tipis. “Gak ada.” Senara menaikkan alis. “Oh… atau jangan-jangan udah ada istri?” Jati terkekeh. “Belum juga. Gue masih enjoy hidup sendirian.” Senara menoleh, kali ini benar-benar menatap Jati lekat. Matanya menyapu wajah pria itu, menyerap semua perubahan yang telah waktu bawa, dan... entah kenapa, ada bagian kecil dalam hatinya yang terasa hangat. Familiar. “Jati,” ucapnya, lebih pelan, tapi jelas. Jati menoleh dengan alis terangkat. “Kenapa? Lo jatuh cinta sama gue lagi?” Nada bercandanya terdengar ringan, tapi ada sedikit getar di dalamnya entah karena gugup atau hanya menutupi kemungkinan yang ia takutkan. Senara berdecak pelan, berpura-pura kesal. Tapi dalam hati… ia benar-benar ingin mengatakan "ya". Sayangnya, keberanian hanya datang separuh. Jati menunggu, lalu bersuara lagi. “Mau ngomong sesuatu? Ngomong aja. Gue masih di sini.” Senara menarik napas. Ini mungkin gila. Ini mungkin emosi sesaat. Tapi ia tahu apa yang ia rasakan, dan ia lelah menahan semuanya sendiri. “Jati,” katanya pelan, “Kamu mau nikah gak sama aku?” Jati menoleh cepat, nyaris terkejut seperti disambar petir, “Lah? Lo nggak lagi mabuk kan?” Senara menggeleng, mantap. “Aku nggak minum sama sekali di dalam. Jadi aku sadar, 100%.” Jati berdiri tiba-tiba. Tatapannya terkejut, nyaris panik. “Kalau nggak mabuk, berarti lo nggak waras!” “Jati, aku serius,” Senara berkata tegas, menatapnya dari bawah. Wajahnya sungguh-sungguh. Tidak ada gurauan di sana. " Gak ada orang serius, tiba tiba ngakak mantan kawin begini Ra!" Jati mengacak rambutnya dengan frustrasi, seperti tak tahu harus menertawakan atau berteriak. “Gila lo,” gumamnya. “Gila...” Ia memutar tubuh, menatap jalan, lalu kembali menatap Senara yang masih duduk tenang seolah baru saja mengajak nonton film, bukan menikah. “Dimana alamat lo?” tanyanya akhirnya. “Biar gue anter pulang. Daripada lo makin ngelantur di sini.” Tapi dalam sorot mata Jati, ada kegelisahan lain. Bukan sekadar kebingungan… tapi bayangan masa lalu yang seolah kembali menggoda: jika dulu ia pernah kehilangan Senara begitu saja, apakah sekarang ia cukup siap untuk tidak melewatkannya lagi?Sudah lewat beberapa minggu sejak malam pesta penyambutan itu, dan sejak hari itu pula ritme hidup Senara dan Jati berubah pelan-pelan. Tidak drastis, tidak dramatis tapi perlahan, seperti pagi yang datang setelah malam panjang.Dan hari ini… adalah hari pertama Jati memutuskan untuk mengambil cuti penuh hanya untuk istrinya.Senara terbangun dengan aroma wangi kopi yang biasanya ia buat sendiri. Tapi pagi ini berbeda.Ada suara gaduh kecil dari dapur bunyi spatula beradu, dentingan piring, dan gumaman frustasi seseorang yang tampaknya sedang berjuang dengan masakan.Dengan rambut masih berantakan, Senara turun dari tempat tidur.Saat ia masuk ke dapur, pemandangan lucu menyambutnya.Jati berdiri dengan celemek bunga-bunga milik Senara.Telurnya gosong setengah, roti panggangnya terlalu cokelat, dan dapur sedikit berantakan.Jati menoleh, senyum muncul.“Pagi, sayang. Aku… masak sarapan.” Senara tertawa kecil sambil menahan wajahnya agar tidak men
Senara mendongak, menatap mata Jati yang penuh ketulusan. “Aku percaya, Jati.”Jati mengusap pipinya, lalu menempelkan keningnya pada kening Senara. Kedekatan itu membuat seluruh ruangan seakan menghilang, menyisakan hanya mereka berdua.“Dan aku janji…” Senara menambahkan pelan, “aku juga nggak akan lari lagi.”Jati tersenyum, menutup mata sejenak menikmati kehangatan momen itu.Lalu… tiba-tiba seseorang dari belakang menyalakan confetti dan lagu bahagia memenuhi ruangan. Semua orang bersorak, sementara Senara dan Jati hanya tertawa tawa bahagia yang mengalir tanpa bisa ditahan.Malam itu, mereka bukan hanya saling menerima… tapi menyatukan dua hati yang sama-sama pernah takut, dan akhirnya sama-sama berani.Kerumunan perlahan kembali hidup, tapi aura hangat di sekitar Jati dan Senara tak hilang sedikit pun. Semua orang masih mencuri pandang, tersenyum, bahkan beberapa ibu-ibu dari divisi lain terlihat sibuk mengelap air mata haru.Jati masih m
Senara menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak kecil yang hampir lolos.Beberapa staf wanita mulai mengusap mata.Ada yang memegang dada.Ada juga yang bisik-bisik sambil menahan iri.“Masya Allah… istrinya beruntung banget.”“CEO baru kok sweet gini.”“Aku nangis sumpah.”“Standar suami langsung naik.” Namun perhatian Jati hanya untuk satu orang.“Senara…”Ia menggenggam tangan istrinya pelan, penuh hormat, seakan menyentuh sesuatu yang rapuh.“Aku ingin kita terus berjalan bareng.Susah, senang, semua.” Ia menunduk sedikit, menatap cincin itu. “Makanya… terimalah cincin ini. Sebagai tanda bahwa apa pun posisi aku di dunia luar…”Ia mengangkat wajahnya. Tatapan itu menghantam Senara seperti pelukan.“…di rumah, aku tetap suamimu. Orang yang mencintai kamu tanpa batas.”Satu detik.Dua detik.Hening sempurna.Senara akhirnya melepaskan napas suara pecah dan bergetar.“Jati…” suaranya sama lembutnya seperti
Kerumunan perlahan bubar, berganti dengan suara-suara kecil para karyawan yang saling memuji acara. Namun bagi Senara, semuanya terdengar jauh dan bergema. Tubuhnya kaku, napasnya pendek, dan wajahnya memanas karena emosi yang berbaur kacau. Wina menyenggol bahunya pelan, “Ra… Ra… itu suami kamu beneran, kan? Astaga… kamu nggak pernah bilang dia CEO perusahaan lain! Keren banget! Eh—Ra?” Senara tak menjawab. Matanya menatap kosong ke depan, ke arah panggung yang baru saja ditinggalkan Jati. Hingga… Langkah sepatu mengarah tepat ke arahnya. Tegas, tenang, dan sangat ia kenal. Wina langsung mundur panik. “A—aku minggir dulu ya!” Ia melarikan diri sebelum Senara sempat menahan. Dan kini, di hadapannya, berhenti hanya berjarak kurang dari satu meter, berdiri sosok yang baru saja disoraki seluruh ruangan. Jati. Dengan jas terlalu mahal untuk disentuh
Sementara itu, di ruang VIP Jati berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas hitam elegan. Dasi disesuaikan oleh asistennya. “Pak, semuanya sudah siap. Nanti Bapak masuk setelah MC membuka acara.” Jati mengangguk, tapi wajahnya tegang. “Asisten,” katanya pelan. “Begitu saya masuk… tolong mundur sedikit dari saya.” “Baik, Pak.” Ia menatap pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Senara… semoga kamu tidak marah. Aku tidak bermaksud merahasiakan ini. Aku hanya ingin melihat kamu bekerja tanpa beban. Tanpa favoritisme. Tanpa rasa sungkan karena suamimu bos besar. Bagian dadanya terasa berat. Acara pun Dimulai MC naik ke panggung. “Selamat pagi dan selamat datang pada acara penyambutan CEO baru perusahaan kita!” Seluruh ruangan bertepuk tangan. Senara berdiri di sisi panggung, mencatat detail. Semuanya berjalan lancar sejauh ini. “Dan kini, kita sambut bersama… pemimpin baru p
Ruang ballroom hotel sudah mulai dipenuhi kru persiapan. Lampu-lampu sorot dinyalakan, dekor panggung dicoba satu per satu, dan para staf perusahaan berdiri dengan clipboard di tangan.Senara berdiri di tengah ruangan, rambutnya diikat asal-asalan. Wajahnya tampak lelah tapi fokus.“Cahaya nomor tiga, terlalu terang. Turunin sedikit,” katanya sambil menunjukkan layar di tabletnya.“Backdrop-nya juga… itu huruf Welcome Our New CEO miring, tolong benerin!”Para vendor mengangguk, bergerak cepat begitu mendengar nada suara Senara yang tegas.Beberapa staf mendekat.“Bu Senara, rundown acara untuk besok sudah final?”“Ada revisi dari Bu Rika, Bu,” tim HR menambahkan.Senara menggigit bibirnya. “Ya Allah, revisi lagi?”Namun ia mengangguk. “Oke, email ke aku, sekarang.”Sementara itu, di sudut ruangan, Jati memperhatikan dalam diam. Ia datang tanpa memberi tahu istrinya, berdiri bersama direksi lain, seolah hanya observer perusahaan. Masker dan kac







