Share

Bab 3

Author: Mommy_Ar
last update Last Updated: 2025-05-19 05:12:09

Pagi datang terlalu cepat bagi seseorang yang tidak tidur semalaman.

Senara terbangun bukan karena alarm, tapi karena perutnya melilit hebat. Rasa nyeri itu naik hingga ke dada, seperti ditusuk-tusuk dari dalam. Napasnya pendek, dingin keringat membasahi leher dan punggung. Ia tahu gejala ini. Asam lambungnya kambuh dan kali ini lebih parah dari sebelumnya.

Ia menggenggam ponsel dengan tangan gemetar, membuka aplikasi ojek online dan memesan kendaraan ke rumah sakit terdekat. Hujan tipis turun saat ia melangkah keluar dari kosan, dengan tubuh yang limbung dan langkah terseret. Wajahnya pucat. Matanya sembab. Tapi tak ada waktu untuk peduli pada penampilan.

Motor datang. “Ke rumah sakit, ya, Mas,” katanya pelan sambil berusaha menahan mual.

Perjalanan yang hanya 15 menit terasa seperti seumur hidup. Di tengah jalan, ponselnya berbunyi beberapa kali. Notifikasi pesan masuk dari grup keluarga: “Senara, kami sudah otw,’’ tulis Nandini, kakak pertama Senara disertai foto-foto wajah ceria penuh semangat.

Senara menggigit bibir. Matanya kembali memanas. Tapi ia tak bisa membalas. Ia hanya bisa memeluk tasnya dan menunduk lebih dalam.

Sesampainya di rumah sakit, ia turun dengan susah payah dan segera masuk ke bagian pendaftaran. Suaranya hampir tidak terdengar saat menyebutkan keluhan:

“Asam lambung saya kambuh… mual… dada sesak… dan kepala saya sangat pusing,”

Petugas dengan sigap memintanya duduk dan menunggu nama dipanggil. Tapi di ruang tunggu itu, Senara merasa lebih kesepian dari siapa pun di dunia. Ia menatap dinding putih rumah sakit yang dingin dan sunyi, dan untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar kalah.

Bukan hanya karena pernikahan yang gagal. Tapi karena ia tak tahu bagaimana harus memberi tahu orang-orang yang mencintainya bahwa ia bukan lagi calon pengantin. Dan saat itu, tubuhnya sudah tidak mampu lagi menahan semuanya sendirian.

Setelah diperiksa dan diberi obat, Senara diminta istirahat beberapa jam di ruang observasi. Dokter mengatakan kondisinya dipicu oleh stres berat dan kelelahan emosional. Di ranjang rumah sakit, ia hanya bisa menatap langit-langit dan bertanya dalam hati:

"Kenapa semua ini terjadi tepat di saat aku berpikir aku sudah melewati badai?"

Ponselnya kembali berbunyi. Kali ini dari Ayahnya. Dengan tangan lemah, ia mengangkat.

“Assalamu’alaikum, Nduk… kenapa tidak balas pesan mbak mu tadi?’’ suara bapak terdengar cemas di seberang sana.

Senara terdiam. Air matanya kembali jatuh, “Senara?” suara Ayahnya terdengar cemas.

‘’Maaf Pak, tadi Senara lagi di ruang periksa. Asam lambugn Senara kambuh,’’ jawabnya, berusaha tegar.

“Astagfirullah al adzim, ini pasti karena kamu kecapean mengurus pernikahan mu sendiri. Maafkan kami nduk,”

“Jangan bilang gitu Pak, Senara gapapa kok. Ini juga sudah membaik, nanti Bapak sama Ibu langsung ke Hotel saja ya. Alamat nya yang sudah Senara kasih ke mbak Nandini kemarin,’’

“Tapi—”

“Gapapa Pak, bapak sama Ibu hati hati di jalan ya. Senara tutup dulu, nama Senara udah di panggil untuk ambil obat.” Ayahnya akhirnya mengalah, meski dengan berat hati. Setelah panggilan berakhir, Senara kembali merebahkan tubuhnya.

Pikirannya kacau. Kepalanya berat. Tapi satu hal pasti waktu terus berjalan, dan cepat atau lambat… ia harus menghadapi kenyataan bahwa keluarganya datang untuk menyambut pernikahan yang tak akan pernah ada.

Langit mulai menggelap saat Senara keluar dari rumah sakit. Hujan sudah reda, hanya menyisakan bau tanah basah yang menggantung di udara. Ia menunduk sambil membuka tasnya, ingin memastikan semua obat yang diberikan masih tersimpan rapi. Tangannya gemetar, tubuhnya masih lemas, tapi ia ingin segera pulang.

Saat melangkah keluar, tanpa sengaja tubuhnya menabrak seseorang dari arah berlawanan.

Bruk!

“Aduh… maaf!” ucapnya cepat sambil meringis, memegangi bagian perutnya yang nyeri.

Orang itu seorang pria muda, tampak terburu-buru juga kaget. “Maaf juga, Mbak. Saya nggak lihat jalan.”

Mereka saling menunduk sebentar sebelum berlalu. Tapi dalam benaknya, Senara hanya bisa menahan rasa sakit dan memaksakan diri untuk berjalan.

Namun saat hendak memesan ojek online kembali ke kosan, jemarinya ragu.

Ia berdiri lama di tepi trotoar, melihat kendaraan lalu-lalang, tapi pikirannya jauh ke belakang ke wajah Bima saat membatalkan pernikahan, ke suara Ayah yang begitu antusias di telepon, dan ke bayangan keluarganya yang sebentar lagi akan sampai.

Ia tidak bisa pulang. Bukan dalam kondisi seperti ini. Bukan sekarang.

Ia butuh pelarian.

Butuh tempat di mana ia bisa berpura-pura tidak mengenal dirinya sendiri. Tempat di mana ia tak harus menjelaskan apa pun pada siapa pun.

Jari-jarinya mengetik sebuah alamat di aplikasi transportasi. Sebuah klub malam kecil yang sering ia lewati sepulang kerja. Ia tidak pernah masuk, bahkan tidak pernah terpikir untuk melakukannya. Tapi malam ini, semuanya berbeda.

Ini bukan tentang ingin bersenang-senang.

Ini tentang ingin berhenti merasa sakit… walau hanya untuk beberapa jam.

---

Lampu neon menyala kelap-kelip saat Senara melangkah masuk. Musik mengalun keras, menghentak dadanya yang masih perih. Aroma alkohol, parfum, dan asap rokok bercampur menjadi satu. Orang-orang menari, tertawa, sebagian setengah mabuk.

Dunia ini asing.

Dan mungkin karena asing, ia merasa tidak harus jadi dirinya sendiri di sana.

Senara duduk di sudut bar, memesan minuman ringan. Ia hanya ingin duduk diam dan tenggelam dalam bising. Pandangannya kosong, tubuhnya masih terasa berat, tapi entah kenapa, ada sedikit ketenangan saat semua suara hatinya tertutup oleh dentuman musik.

Beberapa pria sempat mendekat, mencoba mengajak bicara, tapi ia menolak halus. Ia tidak datang untuk mencari teman. Ia hanya ingin membuang penat. Melupakan nama Bima. Melupakan rencana pernikahan yang kini tinggal debu.

Di tengah keramaian itu, Senara sempat berpikir:

"Apakah ini yang disebut bebas? Atau ini cuma bentuk lain dari jatuh?"

Ia tidak tahu. Tapi malam ini, ia tidak peduli.

Malam ini, ia membiarkan dirinya tersesat… untuk pertama kalinya dalam hidup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona sang MANTAN   TAMAT

    Sudah lewat beberapa minggu sejak malam pesta penyambutan itu, dan sejak hari itu pula ritme hidup Senara dan Jati berubah pelan-pelan. Tidak drastis, tidak dramatis tapi perlahan, seperti pagi yang datang setelah malam panjang.Dan hari ini… adalah hari pertama Jati memutuskan untuk mengambil cuti penuh hanya untuk istrinya.Senara terbangun dengan aroma wangi kopi yang biasanya ia buat sendiri. Tapi pagi ini berbeda.Ada suara gaduh kecil dari dapur bunyi spatula beradu, dentingan piring, dan gumaman frustasi seseorang yang tampaknya sedang berjuang dengan masakan.Dengan rambut masih berantakan, Senara turun dari tempat tidur.Saat ia masuk ke dapur, pemandangan lucu menyambutnya.Jati berdiri dengan celemek bunga-bunga milik Senara.Telurnya gosong setengah, roti panggangnya terlalu cokelat, dan dapur sedikit berantakan.Jati menoleh, senyum muncul.“Pagi, sayang. Aku… masak sarapan.” Senara tertawa kecil sambil menahan wajahnya agar tidak men

  • Pesona sang MANTAN   Bab 37

    Senara mendongak, menatap mata Jati yang penuh ketulusan. “Aku percaya, Jati.”Jati mengusap pipinya, lalu menempelkan keningnya pada kening Senara. Kedekatan itu membuat seluruh ruangan seakan menghilang, menyisakan hanya mereka berdua.“Dan aku janji…” Senara menambahkan pelan, “aku juga nggak akan lari lagi.”Jati tersenyum, menutup mata sejenak menikmati kehangatan momen itu.Lalu… tiba-tiba seseorang dari belakang menyalakan confetti dan lagu bahagia memenuhi ruangan. Semua orang bersorak, sementara Senara dan Jati hanya tertawa tawa bahagia yang mengalir tanpa bisa ditahan.Malam itu, mereka bukan hanya saling menerima… tapi menyatukan dua hati yang sama-sama pernah takut, dan akhirnya sama-sama berani.Kerumunan perlahan kembali hidup, tapi aura hangat di sekitar Jati dan Senara tak hilang sedikit pun. Semua orang masih mencuri pandang, tersenyum, bahkan beberapa ibu-ibu dari divisi lain terlihat sibuk mengelap air mata haru.Jati masih m

  • Pesona sang MANTAN   Bab 36

    Senara menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak kecil yang hampir lolos.Beberapa staf wanita mulai mengusap mata.Ada yang memegang dada.Ada juga yang bisik-bisik sambil menahan iri.“Masya Allah… istrinya beruntung banget.”“CEO baru kok sweet gini.”“Aku nangis sumpah.”“Standar suami langsung naik.” Namun perhatian Jati hanya untuk satu orang.“Senara…”Ia menggenggam tangan istrinya pelan, penuh hormat, seakan menyentuh sesuatu yang rapuh.“Aku ingin kita terus berjalan bareng.Susah, senang, semua.” Ia menunduk sedikit, menatap cincin itu. “Makanya… terimalah cincin ini. Sebagai tanda bahwa apa pun posisi aku di dunia luar…”Ia mengangkat wajahnya. Tatapan itu menghantam Senara seperti pelukan.“…di rumah, aku tetap suamimu. Orang yang mencintai kamu tanpa batas.”Satu detik.Dua detik.Hening sempurna.Senara akhirnya melepaskan napas suara pecah dan bergetar.“Jati…” suaranya sama lembutnya seperti

  • Pesona sang MANTAN   Bab 35

    Kerumunan perlahan bubar, berganti dengan suara-suara kecil para karyawan yang saling memuji acara. Namun bagi Senara, semuanya terdengar jauh dan bergema. Tubuhnya kaku, napasnya pendek, dan wajahnya memanas karena emosi yang berbaur kacau. Wina menyenggol bahunya pelan, “Ra… Ra… itu suami kamu beneran, kan? Astaga… kamu nggak pernah bilang dia CEO perusahaan lain! Keren banget! Eh—Ra?” Senara tak menjawab. Matanya menatap kosong ke depan, ke arah panggung yang baru saja ditinggalkan Jati. Hingga… Langkah sepatu mengarah tepat ke arahnya. Tegas, tenang, dan sangat ia kenal. Wina langsung mundur panik. “A—aku minggir dulu ya!” Ia melarikan diri sebelum Senara sempat menahan. Dan kini, di hadapannya, berhenti hanya berjarak kurang dari satu meter, berdiri sosok yang baru saja disoraki seluruh ruangan. Jati. Dengan jas terlalu mahal untuk disentuh

  • Pesona sang MANTAN   Bab 34

    Sementara itu, di ruang VIP Jati berdiri di depan cermin, mengenakan setelan jas hitam elegan. Dasi disesuaikan oleh asistennya. “Pak, semuanya sudah siap. Nanti Bapak masuk setelah MC membuka acara.” Jati mengangguk, tapi wajahnya tegang. “Asisten,” katanya pelan. “Begitu saya masuk… tolong mundur sedikit dari saya.” “Baik, Pak.” Ia menatap pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Senara… semoga kamu tidak marah. Aku tidak bermaksud merahasiakan ini. Aku hanya ingin melihat kamu bekerja tanpa beban. Tanpa favoritisme. Tanpa rasa sungkan karena suamimu bos besar. Bagian dadanya terasa berat. Acara pun Dimulai MC naik ke panggung. “Selamat pagi dan selamat datang pada acara penyambutan CEO baru perusahaan kita!” Seluruh ruangan bertepuk tangan. Senara berdiri di sisi panggung, mencatat detail. Semuanya berjalan lancar sejauh ini. “Dan kini, kita sambut bersama… pemimpin baru p

  • Pesona sang MANTAN   Bab 33

    Ruang ballroom hotel sudah mulai dipenuhi kru persiapan. Lampu-lampu sorot dinyalakan, dekor panggung dicoba satu per satu, dan para staf perusahaan berdiri dengan clipboard di tangan.Senara berdiri di tengah ruangan, rambutnya diikat asal-asalan. Wajahnya tampak lelah tapi fokus.“Cahaya nomor tiga, terlalu terang. Turunin sedikit,” katanya sambil menunjukkan layar di tabletnya.“Backdrop-nya juga… itu huruf Welcome Our New CEO miring, tolong benerin!”Para vendor mengangguk, bergerak cepat begitu mendengar nada suara Senara yang tegas.Beberapa staf mendekat.“Bu Senara, rundown acara untuk besok sudah final?”“Ada revisi dari Bu Rika, Bu,” tim HR menambahkan.Senara menggigit bibirnya. “Ya Allah, revisi lagi?”Namun ia mengangguk. “Oke, email ke aku, sekarang.”Sementara itu, di sudut ruangan, Jati memperhatikan dalam diam. Ia datang tanpa memberi tahu istrinya, berdiri bersama direksi lain, seolah hanya observer perusahaan. Masker dan kac

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status