Bunyi peluit pelatih memecah keheningan lapangan basket SMA Negeri 15 yang sudah mulai sepi. Ucok masih berlari sprint di ujung lapangan, keringat membasahi seragam merah tim basketnya. Sore itu latihan lebih intensif dari biasanya karena persiapan untuk turnamen antar sekolah bulan depan.
"Ucok! Udahan dulu, kamu udah lari sepuluh putaran lebih!" teriak Pelatih Bayu dari pinggir lapangan. "Jangan dipaksa, nanti malah kelelahan berlebihan." Tapi Ucok tetap melanjutkan larinya dengan tempo konsisten, napasnya masih teratur. Satu putaran terakhir, Ucok finish dengan sprint penuh sebelum akhirnya berhenti di depan pelatih. Tinggi badannya 185 cm dengan postur atletis yang ideal untuk posisi penyerang depan, membuatnya jadi andalan tim basket sekolah sejak kelas sepuluh. "Pelatih, saya masih bisa lagi nih. Badan saya masih kuat banget." Pelatih Bayu menggeleng sambil memberikan handuk. "Kamu itu kadang terlalu keras sama diri sendiri, Cok. Atlet bagus itu tahu kapan harus menekan dan kapan harus istirahat." Pria berusia tiga puluhan itu sudah lima tahun melatih tim basket sekolah. "Saya tahu batas tubuh saya kok, Pelatih. Dari kecil udah dilatih keras sama bapak," jawab Ucok sambil mengelap keringat. Ayahnya dulu juga atlet basket yang sempat main di liga profesional. "Lagian fisik saya masih jauh dari batas." Anggota tim lain sudah mulai berkemas. Reza, pengatur serangan tim, menghampiri Ucok sambil menenteng tas olahraga. "Cok, kamu nggak capek? Saya aja udah lemes banget." "Capek? Ini mah cuma pemanasan," jawab Ucok sambil tertawa. "Kamu harus lebih sering olahraga beban, Za." Ia menepuk punggung Reza dengan keras. Pelatih Bayu yang mendengar percakapan mereka ikut menasihati. "Ucok, percaya diri itu bagus. Tapi jangan sampai jadi terlalu percaya diri. Saya udah lihat banyak atlet berbakat yang cedera karena terlalu memaksakan diri." "Pelatih khawatir berlebihan. Saya udah ngitung semua risiko kok," kata Ucok sambil minum air putih. "Fisik saya udah dites berkali-kali, nggak ada masalah." Tim basket bubar satu per satu. Ucok masih tertinggal di lapangan, melakukan tembakan bebas untuk mengasah akurasi. Bola basket memantul ritmis di lantai lapangan yang makin sepi. "Cok, kamu nggak pulang?" tanya Dimas, pemain tengah tim yang berbadan paling besar. "Saya mau nebeng motor kamu nih." "Bentar lagi. Kamu tunggu aja di parkiran, saya mau tembak lima puluh bola dulu," jawab Ucok tanpa berhenti melempar ke ring. Dari lima belas tembakan, empat belas masuk dengan sempurna. Dimas menggeleng sambil duduk di tribun. "Nggak ah, saya tunggu. Lagian penasaran kamu bisa tembak sempurna nggak hari ini." Sambil terus menembak, Ucok menceritakan rencana pendakian Rinjani kepada Dimas. "Man, kamu tau nggak teman-teman saya mau naik Gunung Rinjani? Mereka ngajak saya ikut." Bola basket masuk lagi ke ring. "Kayaknya seru banget tuh, tantangan baru." "Naik gunung? Wah, itu sih hobinya orang ekstrem," kata Dimas kagum. "Kamu yakin bisa? Kan beda sama basket, butuh stamina lain." Ucok berhenti sejenak, menatap Dimas dengan senyum percaya diri. "Mas, saya atlet. Naik gunung itu cuma jalan kaki doang, cuma lebih jauh dan lebih tinggi. Saya yakin pasti jadi yang tercepat sampai puncak." "Tapi kata pelatih tadi, jangan terlalu percaya diri," ingat Dimas sambil mengambil bola yang memantul keluar. "Naik gunung kan butuh teknik khusus, bukan cuma soal fisik." "Teknik apaan? Kan cuma jalan naik terus," jawab Ucok sambil tertawa. "Yang susah paling napasnya karena ketinggian. Tapi saya udah terbiasa latihan interval, paru-paru saya kuat banget." Selesai menembak, mereka bersiap pulang. Ucok mengendarai motor sport hitam kesayangannya. Dimas naik di belakang sambil memegang tas olahraga. "Cok, kamu udah cari tahu belum soal peralatan naik gunung?" tanya Dimas dari belakang. "Katanya mahal banget, sepatu gunung aja bisa jutaan." "Udah dong! Saya udah baca-baca dari kemarin," jawab Ucok sambil fokus menyetir. "Saya mau beli yang merek bagus semua. Sepatu gunung mahal, jaket tahan badai, tas carrier luar negeri." Ia sudah bikin daftar belanja peralatan yang totalnya bisa belasan juta rupiah. Mereka berhenti di lampu merah. Ucok mengeluarkan ponsel dan menunjukkan tangkapan layar toko daring ke Dimas. "Lihat nih, keren kan? Yang penting performa dan kualitas nomor satu." "Gila, harganya bisa buat beli motor bekas," komentar Dimas. "Emang perlu semahal itu? Kan cuma sekali pakai buat naik gunung." "Investasi jangka panjang, Mas. Siapa tau saya ketagihan naik gunung terus," jawab Ucok sambil belok ke gang rumahnya. "Lagian saya nggak mau pakai barang murahan yang malah bikin masalah di gunung." Di rumah, Ucok langsung mandi lalu turun ke ruang keluarga. Mama sudah menyiapkan makan sore dan jus alpukat segar. "Mama, tadi Ucok latihan sampai sore banget. Pelatih bilang persiapan turnamen harus maksimal." "Jangan terlalu dipaksa, nak. Mama khawatir kalau Ucok sampai cedera," kata mama sambil menyiapkan piring. "Papa juga dulu sering cedera karena latihan berlebihan." "Tenang, Ma. Ucok tahu batas tubuh sendiri," jawabnya sambil makan lahap. "Oh ya Ma, Ucok mau cerita soal rencana liburan sama teman-teman." Ia lalu menceritakan rencana pendakian Rinjani dengan penuh semangat. Mama mendengarkan serius. "Naik gunung ya? Bahaya nggak, nak?" tanyanya khawatir. "Mama sering lihat berita kecelakaan pendaki di televisi." "Nggak bahaya kok, Ma. Kita pakai pemandu profesional, peralatan lengkap, semua udah diatur. Liat nih foto-fotonya." Ia menunjukkan ponsel. "Lagian fisik Ucok kan udah terlatih, pasti nggak masalah." "Kalau gitu boleh deh, asal hati-hati," kata mama akhirnya. "Papa juga pasti setuju, dia kan suka petualangan waktu muda dulu." Setelah makan, Ucok naik ke kamarnya yang luas dengan dinding penuh piala dan medali basket. Ia menyalakan laptop untuk mencari lebih detail peralatan pendakian. "Sepatu gunung, empat setengah juta. Worth it banget nih buat hiking ekstrem," gumamnya. "Jaket tahan badai, tiga juta lebih. Tas carrier, hampir tiga juta." Total belanja sudah belasan juta hanya untuk peralatan pribadi. Ucok juga menonton video pendakian Rinjani di internet. Melihat pendaki lain kesulitan, dia malah makin semangat. "Ini mah gampang. Mereka aja yang nggak terlatih bisa, masa saya yang atlet nggak bisa?" Ia mulai bikin jadwal latihan khusus: kardio, kekuatan, ketahanan, semua direncanakan detail. "Saya bakal jadi yang paling fit di grup. Pasti saya yang pertama sampai puncak." Ponselnya berbunyi, ada pesan dari Firman di grup. "Teman-teman, agen perjalanan udah konfirmasi. Kita berangkat tanggal 15 Juni, pendakian empat hari tiga malam. Yang mau ikut segera pastikan ya!" Ucok langsung balas: "SIAP! Udah nggak sabar banget!" "Saya udah mulai belanja peralatan nih," lanjut Ucok. "Mau beli yang premium semua biar performa maksimal." Ia mengirim tangkapan layar daftar belanjanya yang totalnya puluhan juta. "Kalian juga harus investasi di perlengkapan bagus, jangan asal-asalan." Margareta membalas dengan nada khawatir. "Ucok, emang perlu semahal itu? Saya takut kebablasan anggaran." Diana juga komentar, "Mahal banget, Cok." "Tenang aja. Percaya sama saya, investasi ini layak banget," jawab Ucok dengan percaya diri. "Kalian nggak mau kan di gunung nanti peralatannya rusak atau bikin repot?" Malam itu Ucok tidur dengan perasaan bersemangat penuh keyakinan. Ia sudah membayangkan dirinya memimpin pendakian, jadi yang tercepat, dan berpose keren di puncak Rinjani. Sebagai atlet yang terbiasa menang, ia tak meragukan kemampuannya menghadapi tantangan gunung apa pun.Bunyi peluit pelatih memecah keheningan lapangan basket SMA Negeri 15 yang sudah mulai sepi. Ucok masih berlari sprint di ujung lapangan, keringat membasahi seragam merah tim basketnya. Sore itu latihan lebih intensif dari biasanya karena persiapan untuk turnamen antar sekolah bulan depan."Ucok! Udahan dulu, kamu udah lari sepuluh putaran lebih!" teriak Pelatih Bayu dari pinggir lapangan. "Jangan dipaksa, nanti malah kelelahan berlebihan." Tapi Ucok tetap melanjutkan larinya dengan tempo konsisten, napasnya masih teratur.Satu putaran terakhir, Ucok finish dengan sprint penuh sebelum akhirnya berhenti di depan pelatih. Tinggi badannya 185 cm dengan postur atletis yang ideal untuk posisi penyerang depan, membuatnya jadi andalan tim basket sekolah sejak kelas sepuluh. "Pelatih, saya masih bisa lagi nih. Badan saya masih kuat banget."Pelatih Bayu menggeleng sambil memberikan handuk. "Kamu itu kadang terlalu keras sama diri sendiri, Cok. Atlet bagus itu tahu kapan harus menekan dan kapa
Deri turun dari angkot di depan gang sempit Perumahan Bumi Bekasi Baru. Sore itu jalanan masih ramai dengan kendaraan yang pulang kerja, asap knalpot bercampur dengan aroma gorengan dari pedagang kaki lima. Dia berjalan melewati warung-warung kecil yang sudah mulai menyalakan lampu.Rumah type 36 yang ditempati keluarganya terlihat sederhana tapi terawat. Cat tembok yang sudah agak kusam, pagar besi yang mulai berkarat, tapi halaman kecil yang selalu bersih. Deri membuka pintu dengan kunci yang sudah aus, langsung disambut aroma masakan sederhana dari dapur."Deri udah pulang?" teriak mama dari dapur. Suara wajan yang sedang menumis bercampur dengan suara televisi. "Mama lagi masak tempe orek sama sayur sop. Papa belum pulang, macet katanya.""Iya, Ma!" sahut Deri sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Rumah mereka memang tidak besar, ruang tamu, ruang makan, dan dapur jadi satu.Deri menghampiri mama yang sedang sibuk di dapur. Wanita paruh baya itu masih mengen
Diana duduk di bangku barisan kedua dari depan, sesekali melirik ke arah Firman yang duduk tiga kursi di belakangnya. Suara Bu Indah yang sedang menjelaskan materi Bahasa Indonesia seperti menjadi background noise baginya. Pikirannya masih terjebak pada percakapan kemarin di kantin tentang rencana pendakian Gunung Rinjani yang ekstrem itu.Jantung Diana berdebar setiap kali Firman tertawa dengan teman sebangkunya. Cowok itu memang selalu bisa membuat suasana kelas menjadi lebih hidup. Diana sudah menyimpan perasaan ini sejak kelas sepuluh, tapi tidak pernah berani mengungkapkannya karena takut merusak persahabatan mereka."Diana, kamu bisa jawab pertanyaan nomor tiga?" suara Bu Indah tiba-tiba memecah lamunannya. Diana tersentak kaget, mukanya langsung memerah. "Maaf Bu, bisa diulang pertanyaannya?"Tawa kecil terdengar dari beberapa teman sekelas. Firman ikut menoleh ke arahnya dengan senyum jahil, membuat Diana semakin gugup. Bu Indah menggeleng sambil tersenyum maklum, kemudian men
Sore itu jam menunjukkan pukul empat ketika Firman turun dari mobil Alphard hitam yang mengantarnya pulang dari sekolah. Pak Joko, sopir keluarganya, tersenyum ramah sambil membuka pintu. Rumah mewah bergaya minimalis modern di kawasan PIK menyambut kedatangannya dengan sejuknya pendingin ruangan."Terima kasih, Pak Joko. Besok jemput jam setengah tujuh ya," kata Firman sambil melambaikan tangan. Dia melangkah masuk melalui pintu utama yang otomatis terbuka. Aroma masakan mama sudah tercium dari dapur."Firman udah pulang?" teriak mama dari arah dapur. Suara blender bercampur dengan televisi di ruang keluarga yang menayangkan berita sore."Iya, Ma!" sahut Firman sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Dia langsung menuju dapur dimana mamanya sedang sibuk menyiapkan jus buah segar. Wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda itu mengenakan apron cantik sambil tersenyum."Mama lagi bikin jus alpukat keju, kesukaan Firman," kata mamanya sambil menuang jus ke dala
Pagi itu seperti senin-senin lainnya di SMA Negeri 15 Jakarta. Jam menunjukkan pukul 07:30 WIB ketika bel istirahat pertama berbunyi, memecah keheningan kelas yang dipenuhi aroma spidol dan debu kapur. Firman langsung bangkit dari kursinya, meregangkan tubuh yang kaku setelah dua jam pelajaran matematika."Gila, Bu Sari kayak robot hari ini. Ngasih soal terus tanpa henti," gerutu Firman sambil merapikan buku-bukunya."Udah lah, Man. Mending kita ke kantin sekarang sebelum antriannya panjang," sahut Deri dari bangku belakang. Cowok berambut keriting itu sudah berdiri sambil menenteng tas selempangnya yang penuh dengan patch band metal.Mereka berdua keluar kelas, berjalan menyusuri koridor yang ramai dengan siswa-siswa lain. Suara langkah kaki dan obrolan remaja bercampur menjadi satu.Kantin sekolah sudah mulai ramai ketika mereka tiba. Aroma mie ayam dan bakso bercampur dengan suara penjual yang menawarkan dagangannya. Firman dan Deri langsung menuju meja sudut yang sudah menjadi tem