Hampir tiap hari aku meneteskan air mata saat mengingat kedua putriku. Berulang kali Bapak dan Emak memintaku kuat dan sabar. Namun aku tak kuasa membohongi diri. Ibu mana yang bisa tersenyum saat tidak dapat menatap wajah anak-anaknya? Tak, tak akan ada. Aku diam menatap langit-langit, bayangan Salma dan Salwa tiba-tiba hadir. Kedua putriku melambaikan tangan. Seolah memintaku menjemput mereka. Ah, sayang semua tak bisa kulakukan. Kalian sedang apa, Nak?Sudah makan apa belum? Apa ayah dan nenek merawatmu dengan baik? Aku bertanya, tapi tak ada jawaban. Ya, karena aku bertanya pada diri sendiri. Bagaimana mungkin mereka bisa menjawab, sedang kami tak saling bertatap muka. Namun aku yakin, meski raga kami tak bersua tapi doaku akan sampai pada mereka."Nduk, ada tamu....""Sebentar, Mak." Aku beranjak lalu menyambar hijab yang ada di atas ranjang. Beberapa saat aku berdiri di dekat pintu, mengatur napas agar semakin tenang. Bukan karena gugup tapi aku takut orang datang hanya in
Naya segera menghubungi Rendi setelah sampai di depan lobi rumah sakit. Ia berjalan ke sana ke mari guna mengurangi rasa panik yang mendominasi hati. "Naya...." Sebuah panggilan membuat Naya terpaku. Sesaat wanita dengan hijab soft pink itu diam, ia coba menetralisir jantung yang berdetak kencang. Naya tak bisa membohongi dirinya jika nama Rendi masih tertulis di sanubari. Namun ia segera tersadar jika kini Rendi hanya bagian dari masa lalu yang berusaha dilupakan. Naya membalikan badan, hingga beberapa saat netra mereka saling bertemu. Bukan hanya Naya, Rendi pun merasakan hal yang sama. Ada rindu yang menyiksa hatinya. Namun harus ia tepis. "Kenapa kamu menghubungi aku, Mas?" tanya Naya cemas. "Ma-maafkan aku, Nay. A--aku ...." Rendi tak kuasa melanjutkan ucapannya. Rasa malu membuatnya ragu mengakui kesalahan. "Kenapa kamu memintaku ke mari, Mas?" Naya mengalihkan pembicaraan, ia sudah muak dengan kata maaf yang Rendi ucapkan. "Ayo, ikut aku, Nay." Tanpa menjawab Naya melang
"Bagaimana, Nay?" tanya ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi. Aku menelan ludah dengan susah payah sambil memberikan sebuah benda kecil dengan dua garis merah terpampang jelas di sana. Aku baru saja melakukan cek urine dengan menggunakan tespek, dan hasilnya positif. Aku hamil lagi. "Ya ampun, Naya! Kenapa kamu ceroboh begini! Bisa-bisanya hamil lagi!"Ada yang berdenyut nyeri kala mendengar ucapan ibu. Namun sebisa mungkin tak kumasukan ke hati. Aku sudah tahu ini akan terjadi. Setelah melempar taspek, ibu berjalan keluar rumah. Aku tak tahu ke mana beliau pergi. "Ini, di minum!" "Apa ini Bu?""Obat pelancar haid. Kamu telat satu minggu kan?"DEGTubuhku luruh di lantai keramik. Dadaku terasa sesak mendengar ucapan wanita yang telah melahirkan suamiku tiga puluh tahun yang lalu. Mataku terasa panas hingga bulir bening nan hangat mengalir begitu saja. Ku cubit tangan kiri berulang kali, berharap apa yang baru saja ku dengar hanya keliru. "Tak usah khawatir,anak Bu
Aku masih duduk di kasur bawah. Sesekali menghapus bulir bening yang menetes membasahi pipi. Sesak masih memenuhi rongga dada. Apa aku salah ingin mempertahankan janin yang ku kandung? Lagi, air asin nan hangat mengalir tanpa bisa ku bendung. Ucapan ibu kembali terngiang di telinga. Sungguh kejam wanita yang bergelar ibu mertua itu padaku. Apa dia tak memiliki hati nurani hingga dia tega ingin menggugurkan janin yang ku kandung. Salma dah Salwa telah bangun dari tidur siangnya. Kedua anakku itu mengedipkan matanya perlahan. Lalu mencari keberadaan diriku. Si kembar memang selalu mencari keberadaan ibunya, setelah membuka mata. Mereka akan menangis saat tak menemukan diriku di samping mereka. Seperti tadi saat ibu memaksaku pergi ke dukun. Kedua anakku segera berjalan mendekatiku. Memeluk dan bermanja di tubuhku. Ini adalah moment yang suatu saat akan ku rindukan jika mereka telah tumbuh dewasa. Lagi bulir bening mengalir dari sudut netra. Bagaimana bisa aku mau melakukan permin
A-aku ...," ucapku terbata. Seakan ada batu yang mengganjal di dalam tenggorokan. Sejujurnya aku takut untuk memeberitahunya. Aku takut Mas Rendi akan bertindak seperti ibunya. "Kamu kenapa,dek?" Mas Rendi mengelus pundakku perlahan. "Ada apa? Kenapa kamu tegang begini?""A-aku hamil, Mas." Ku tundukkan kepala. Aku begitu takut melihat ekspresi suamiku. Hening. Mas Rendi hanya diam tanpa menjawab. Apakah dia juga tak menerima kehamilanku? Tak bisa dipungkiri, aku memang belum siap hamil lagi. Bayangan melahirkan si kembar masih tergambar jelas di pelupuk mata. Rasa sakit saat diinduksi seakan masih terasa. Namun apa mau dikata jika kenyataan aku sudah berbadan dua. Mau tak mau harus menerimanya dengan senang hati. Di luar sana banyak pasangan yang susah memiliki keturunan. Sedang diriku dengan mudah Allah memberikannya. Lalu masihkah ada alasan untuk menolak kehadiran malaikat kecil yang Tuhan titipkan. "Mas, kenapa kamu diam?" tanyaku memulai pembicaraan. "Tidak kenapa-napa d
"Naya!"Pyaarr!Suara teriakan lantang membuatku terkejut hingga gelas yang ada di tangan jatuh pecah menjadi serpihan kecil. Segera ku punguti pecahan gelas takut terinjak. "Maksud kamu apa bicara pada Rendi!" Ibu menarik tanganku hingga aku terjatuh. "Sakit, Bu!" Ku elus perutku. Semoga kamu kuat, nak. "Kamu ngadu kan pada Rendi! Jawab!""Na-Naya ....""Kamu memang menantu tak tahu diuntung! Sudah diangkat dari kemiskinan dan sekarang kamu berani mengadu pada Rendi!" Rambutku di tarik ke belakang. "Sa--sakit, Bu!" Ku pegang pangkal rambut agar rasa sakit sedikit berkurang. "Biar, biar kapok kamu!"Entah kenapa ibu seperti kesetanan. Menyiksaku di saat hamil begini. Sebenarnya apa kurangnya aku sebagai menantu hingga ibu suamiku masih saja membenciku. Apa karena aku dari keluarga miskin? Bukankah ibu juga tak kaya. Hanya memiliki rumah dan sawah peninggalan mendiang ayah Mas Rendi. Mas Rendi sendiri hanya bekerja di pabrik tekstil tak jauh dari sini. "Ampun, bu. Maafkan Naya,"
"Bu... Mm ...." Suara tangis Salma terdengar sampai di telinga Rendi yang asyik bermain bersama Salwa. Rendi tengah bermain kuda-kudaan bersama Salma. Lelaki berambut ikal itu merangkak dan Salwa duduk di punggungnya. Sudah persis seperti kuda. Tak ia hiraukan tangis sang buang hati. Ia tahu Naya pasti akan menenangkan tangis Salwa. Namun tangis itu tidak kunjung berhenti. Rendi mulai tersulut emosi. Ia mengira Naya tak becus mengurus anak. Dengan langkah kesal Rendi berjalan menuju kamar. Salwa masih menangis sesegukkan. Rendi melihat sekeliling, tak ia temukan sosok yang diharapkan bisa menenangkan Salwa. Kemana dia pergi, anak menangis dibiarkan saja. "Apa telinga Naya tuli hingga tak mendengar tangis Salwa. Keterlaluan! Kalau marah denganku jangan lapiaskan pada anak. Kasihan mereka tak tahu apa-apa tapi kena imbasnya," batin Rendi kesal. Rendi segera menggendong Salwa. Ditenangkannya sang buah hati. Tangan kanan menepuk pundak Salwa pelan. Memberi pengertian agar ia segera d
Mas Rendi berjalan mendekat ke arahku. Perlahan ia membantu aku bangun. "Kita ke bidan ya,Nay!" ajak Mas Rendi."Tapi apa Mas punya uang?" tanyaku lirih. "Ada kok, Nay. Kamu jangan pikirkan itu. Yang terpenting saat ini kamu sehat." Aku hanya mengangguk. Memang benar ucapan Mas Rendi. Kalau aku sakit bagaimana nasib si kembar. Aku harus segera pulih. Mas Rendi mencari jilbab instan di dalam lemari. Jilbab berwarna merah marun berada di tangannya. Warna yang kontras dengan daster hijau yang ku kenakan. "Di pakai dulu, baru kita ke bidan." Kukenakan hijab itu, meski tak cocok dengan daster lengan panjangku. Perlahan Mas Rendi memapah tubuhku yang terasa lemas. Aku tak memiliki tenaga untuk berdiri sendiri."Bawa istrimu ke bidan saja. Uangnya tidak akan cukup kalau ke dokter!" ucap Ibu saat kami melewatinya di teras depan. Ada rasa nyeri saat mendengar perkataan ibu. Ya, meski semua yang dikatakan benar tapi ucapannya membuatku merasa tak ada artinya di mata beliau. Ku jatuhkan