Petaka Dua Garis Merah

Petaka Dua Garis Merah

Oleh:  Dyah Ayu Prabandari  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 Peringkat
30Bab
1.3KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Hamil di saat memiliki dua balita bukanlah hal yang mudah. Apa lagi mengetahui kenyataan jika ibu mertua tak menyukai kehamilannya. Bahkan dia meminta Naya untuk menggugurkan kandungannya. Mampukah Naya mempertahankan janin dalam kandungannya?

Lihat lebih banyak
Petaka Dua Garis Merah Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Dyah Ayu Prabandari
Selamat membaca
2023-09-26 19:38:12
0
30 Bab
Menggugurkan Kandungan
"Bagaimana, Nay?" tanya ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi. Aku menelan ludah dengan susah payah sambil memberikan sebuah benda kecil dengan dua garis merah terpampang jelas di sana. Aku baru saja melakukan cek urine dengan menggunakan tespek, dan hasilnya positif. Aku hamil lagi. "Ya ampun, Naya! Kenapa kamu ceroboh begini! Bisa-bisanya hamil lagi!"Ada yang berdenyut nyeri kala mendengar ucapan ibu. Namun sebisa mungkin tak kumasukan ke hati. Aku sudah tahu ini akan terjadi. Setelah melempar taspek, ibu berjalan keluar rumah. Aku tak tahu ke mana beliau pergi. "Ini, di minum!" "Apa ini Bu?""Obat pelancar haid. Kamu telat satu minggu kan?"DEGTubuhku luruh di lantai keramik. Dadaku terasa sesak mendengar ucapan wanita yang telah melahirkan suamiku tiga puluh tahun yang lalu. Mataku terasa panas hingga bulir bening nan hangat mengalir begitu saja. Ku cubit tangan kiri berulang kali, berharap apa yang baru saja ku dengar hanya keliru. "Tak usah khawatir,anak Bu
Baca selengkapnya
Tanggapan Rendi
Aku masih duduk di kasur bawah. Sesekali menghapus bulir bening yang menetes membasahi pipi. Sesak masih memenuhi rongga dada. Apa aku salah ingin mempertahankan janin yang ku kandung? Lagi, air asin nan hangat mengalir tanpa bisa ku bendung. Ucapan ibu kembali terngiang di telinga. Sungguh kejam wanita yang bergelar ibu mertua itu padaku. Apa dia tak memiliki hati nurani hingga dia tega ingin menggugurkan janin yang ku kandung. Salma dah Salwa telah bangun dari tidur siangnya. Kedua anakku itu mengedipkan matanya perlahan. Lalu mencari keberadaan diriku. Si kembar memang selalu mencari keberadaan ibunya, setelah membuka mata. Mereka akan menangis saat tak menemukan diriku di samping mereka. Seperti tadi saat ibu memaksaku pergi ke dukun. Kedua anakku segera berjalan mendekatiku. Memeluk dan bermanja di tubuhku. Ini adalah moment yang suatu saat akan ku rindukan jika mereka telah tumbuh dewasa. Lagi bulir bening mengalir dari sudut netra. Bagaimana bisa aku mau melakukan permin
Baca selengkapnya
Bab 3
A-aku ...," ucapku terbata. Seakan ada batu yang mengganjal di dalam tenggorokan. Sejujurnya aku takut untuk memeberitahunya. Aku takut Mas Rendi akan bertindak seperti ibunya. "Kamu kenapa,dek?" Mas Rendi mengelus pundakku perlahan. "Ada apa? Kenapa kamu tegang begini?""A-aku hamil, Mas." Ku tundukkan kepala. Aku begitu takut melihat ekspresi suamiku. Hening. Mas Rendi hanya diam tanpa menjawab. Apakah dia juga tak menerima kehamilanku? Tak bisa dipungkiri, aku memang belum siap hamil lagi. Bayangan melahirkan si kembar masih tergambar jelas di pelupuk mata. Rasa sakit saat diinduksi seakan masih terasa. Namun apa mau dikata jika kenyataan aku sudah berbadan dua. Mau tak mau harus menerimanya dengan senang hati. Di luar sana banyak pasangan yang susah memiliki keturunan. Sedang diriku dengan mudah Allah memberikannya. Lalu masihkah ada alasan untuk menolak kehadiran malaikat kecil yang Tuhan titipkan. "Mas, kenapa kamu diam?" tanyaku memulai pembicaraan. "Tidak kenapa-napa d
Baca selengkapnya
Bab 4
"Naya!"Pyaarr!Suara teriakan lantang membuatku terkejut hingga gelas yang ada di tangan jatuh pecah menjadi serpihan kecil. Segera ku punguti pecahan gelas takut terinjak. "Maksud kamu apa bicara pada Rendi!" Ibu menarik tanganku hingga aku terjatuh. "Sakit, Bu!" Ku elus perutku. Semoga kamu kuat, nak. "Kamu ngadu kan pada Rendi! Jawab!""Na-Naya ....""Kamu memang menantu tak tahu diuntung! Sudah diangkat dari kemiskinan dan sekarang kamu berani mengadu pada Rendi!" Rambutku di tarik ke belakang. "Sa--sakit, Bu!" Ku pegang pangkal rambut agar rasa sakit sedikit berkurang. "Biar, biar kapok kamu!"Entah kenapa ibu seperti kesetanan. Menyiksaku di saat hamil begini. Sebenarnya apa kurangnya aku sebagai menantu hingga ibu suamiku masih saja membenciku. Apa karena aku dari keluarga miskin? Bukankah ibu juga tak kaya. Hanya memiliki rumah dan sawah peninggalan mendiang ayah Mas Rendi. Mas Rendi sendiri hanya bekerja di pabrik tekstil tak jauh dari sini. "Ampun, bu. Maafkan Naya,"
Baca selengkapnya
Pinjam Uang
"Bu... Mm ...." Suara tangis Salma terdengar sampai di telinga Rendi yang asyik bermain bersama Salwa. Rendi tengah bermain kuda-kudaan bersama Salma. Lelaki berambut ikal itu merangkak dan Salwa duduk di punggungnya. Sudah persis seperti kuda. Tak ia hiraukan tangis sang buang hati. Ia tahu Naya pasti akan menenangkan tangis Salwa. Namun tangis itu tidak kunjung berhenti. Rendi mulai tersulut emosi. Ia mengira Naya tak becus mengurus anak. Dengan langkah kesal Rendi berjalan menuju kamar. Salwa masih menangis sesegukkan. Rendi melihat sekeliling, tak ia temukan sosok yang diharapkan bisa menenangkan Salwa. Kemana dia pergi, anak menangis dibiarkan saja. "Apa telinga Naya tuli hingga tak mendengar tangis Salwa. Keterlaluan! Kalau marah denganku jangan lapiaskan pada anak. Kasihan mereka tak tahu apa-apa tapi kena imbasnya," batin Rendi kesal. Rendi segera menggendong Salwa. Ditenangkannya sang buah hati. Tangan kanan menepuk pundak Salwa pelan. Memberi pengertian agar ia segera d
Baca selengkapnya
Bab 6
Mas Rendi berjalan mendekat ke arahku. Perlahan ia membantu aku bangun. "Kita ke bidan ya,Nay!" ajak Mas Rendi."Tapi apa Mas punya uang?" tanyaku lirih. "Ada kok, Nay. Kamu jangan pikirkan itu. Yang terpenting saat ini kamu sehat." Aku hanya mengangguk. Memang benar ucapan Mas Rendi. Kalau aku sakit bagaimana nasib si kembar. Aku harus segera pulih. Mas Rendi mencari jilbab instan di dalam lemari. Jilbab berwarna merah marun berada di tangannya. Warna yang kontras dengan daster hijau yang ku kenakan. "Di pakai dulu, baru kita ke bidan." Kukenakan hijab itu, meski tak cocok dengan daster lengan panjangku. Perlahan Mas Rendi memapah tubuhku yang terasa lemas. Aku tak memiliki tenaga untuk berdiri sendiri."Bawa istrimu ke bidan saja. Uangnya tidak akan cukup kalau ke dokter!" ucap Ibu saat kami melewatinya di teras depan. Ada rasa nyeri saat mendengar perkataan ibu. Ya, meski semua yang dikatakan benar tapi ucapannya membuatku merasa tak ada artinya di mata beliau. Ku jatuhkan
Baca selengkapnya
Bab 7
Sudah satu minggu aku terbaring di atas ranjang. Rasa pusing, mual dan muntah selalu menemani hari-hariku. Aku bahkan tak lagi mengurus kedua putriku. Untuk bangun sendiri saja tidak kuat, apalagi harus menjaga si kembar yang sedang aktif-aktifnya. Satu minggu sudah ibu mertua yang membereskan rumah dan merawat si kembar. Ada rasa tak enak menyelimuti hati. Namun mau bagaimana lagi. Aku saja tak kuat untuk berdiri. Sepi, tak ada suara Salma dan Salwa, bahkan tak ku dengar teriakan ibu seperti biasanya. Rumah ini seperti kuburan. Sunyi. Kemana perginya ibu dan anak-anak? Apa mungkin ke rumah Mbak Ambar? Ingin pergi mencari, tapi lagi-lagi terkendala tubuh yang lemas ini. Kugeser tubuh. Kini aku duduk dengan punggung menempel dinding kamar. Kuminum air putih meski terasa pahit. Ya, hanya air putih yang tidak ku muntahkan. Aku memijit kepala yang terasa berdenyut. Pusing. Aku sendiri bingung dengan kondisi tubuh. Kehamilan ini terasa begitu berat. Berbeda saat hamil si kembar. Tub
Baca selengkapnya
Bab 8
Samar-samar terdengar azan subuh berkumandang. Aku bangun perlahan, kepalaku memang tak sepusing kemarin tapi tubuh masih lemas karena memang belum ada makan yang masuk. Setiap kali makan selalu keluar. Itu yang membuat tubuhku lemas. "Bangun, Mas!" Kusentuh pipi Mas Rendi. Suamiku menggeliat lalu membuka mata meski masih terasa berat. Melihatnya kelelahan dan kurang tidur membuatku kasihan. Salma dan Salwa semalam sedikit rewel,pasti kecapekan. Kalau seperti ini biasanya aku memijat kaki dan tangan menggunakan minyak zaitun hingga akhirnya mereka terlelap kembali. "Sudah bangun,Nay?" tanyanya sambil mengucek mata dengan kedua tangan. Aku tersenyum tipis. Ini kali pertama aku bangun sendiri setelah sakit beberapa hari yang lalu. "Shalat bareng yuk, dek. Sudah lama kita tidak shalat berjamaah bersama." Kuanggukan kepala. Lalu berjalan perlahan menuju kamar mandi diikuti Mas Rendi dari belakang.Mas Rendi sudah berada di mushola kecil tak jauh dari dapur. Sementara aku baru selesai
Baca selengkapnya
Bab 9
Aku dan Mas Rendi berjalan beriringan masuk ke rumah. Ransel dan tas di letakkan di samping kursi kami. Emak dan Bapak tak luput memperhatikan tas yang baru saja di letakkan suamiku. "Kenapa membawa ransel dan tas, Ren?" tanya bapak dengan mata masih memperhatikan tas. Aku dan Mas Rendi saling pandang, bingung harus menjawab apa? "Em, itu Mak, Pak ...." Mas Rendi diam. Bingung mau menjawab apa? Tak mungkin jika ia menjelekkan ibunya. Meski kenyataannya benar. Sejelek-jeleknya seorang ibu, seorang anak tak akan menjelekkan keburukan di depan orang lain. Apa lagi di depan mertuanya. Dan begitulah sifat Mas Rendi. "Naya mau tinggal di sini, Pak." Bapak menyatukan dua alis, nampak tak mengerti dengan ucapanku. "Maksudnya apa ini?" Kuhembuskan nafas pelan. Mencoba menetralisir gejolak yang ada di dalam dada. Tak mungkin ku jelaskan jika di rumah Mas Rendi aku diperlakukan buruk. Bahkan mertuaku ingin membunuh janin yang aku kandung. Mas Rendi nampak semakin gelisah. Lelaki bertubuh
Baca selengkapnya
Pov Rendi
[Ingat ya, Ren. Setelah kamu antar Naya, kamu harus cepat pulang!]Aku telan saliva dengan susah payah. Pesan ibu membuatku susah bernafas. Tidak sopan jika aku mengantar dan tidak ikut menginap. Apa kata emak dan bapak nanti? [Rendi menginap di sini beberapa hari ya, bu. Tidak enak dengan emak dan bapak.]Aku harap ibu mengerti dengan keputusanku. Sebagai menantu yang baik. Aku harus tinggal di sini beberapa hari. Bukan mengantarkan Naya lalu kembali pulang. Nanti mereka pikir aku suami yang tidak bertanggung jawab. Lagi pula belum ada alasan yang tepat untuk berpamitan dengan mereka. Pabrik tempatku bekerja terletak di antara rumah emak dan rumahku. Mau berangkat dari mana pun jaraknya tetap sama. Jadi aku tinggal di sini pun tak masalah. Ting... Ponselku berbunyi lagi. Pasti pesan dari ibu. Kunyalakan benda pipih milikku. Jantungku berdetak saat hendak membaca pesan itu. Bukan deg-degan di SMS pacar tapi jantungan kena marah ibu. [PULANG SEKARANG ATAU KUCORET DARI DAFTAR ANAK]
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status