Share

3

Dengan guguan yang masih mengisak, bibir ini begitu terbata menjawab pertanyaan Abi. “S-si-lakan m-me-ni-kah lagi, Mas ....” Dada ini sesak luar biasa. Ada beban besar yang tak dapat kutanggung seorang diri.

Maka, air mata pun meluah bagai air bah kala memandang wajah Mas Yazid. Lelaki berwajah persegi dengan dua tulang pipi yang menonjol tersebut hanya dapat diam tanpa ekspresi keberatan. Seolah mau-mau saja dan memang menginginkan hal tersebut.

Wajah Abi langsung segar. Ada rona bahagia dari senyum semringahnya. Bagaikan pria paruh baya itu baru saja mendapatkan kado terspesial dalam hidup. Semakin sempurnalah rasa sakit yang berkemacuk dalam sanubari.

“Baguslah jika kamu memilih jalan tersebut, Mira. Lihat dirimu saat ini. Tanpa pekerjaan maupun penghasilan. Apa yang dapat kau harapkan jika berpisah dari pria mapaj seperti Yazid? Bersyukurlah bahwa kami tidak mendepak dan masih mempertahankan keberadaanmu di keluarga ini.” Kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibir kelabu Abi membuat harga diri ini tercincang habis tiada bersisa.

Terhenyak aku diam seribu bahasa. Duduk terpaku dalam perasaan hina yang tiada tara. Tak ada makna yang bisa kubangga lagi dalam hidup berumah tangga ini. Semua tinggal puing serpihan yang hanya menyemak tak berguna. 

“Abi akan beritahu Ummi. Dinda harus cepat ke sini besok. Kita tidak usah berangkat kerja besok, Zid. Almira, hapus air matamu itu dan persiapkan diri untuk menyambut sepupu sekaligus calon madu.” Abi dengan penuh binar di matanya berkata. Pria berperut buncit itu bangkit dari kursi tanpa sempat menyuap makanan di piring. Bergegas kakinya melangkah menuju kamar utama yang berada tak jauh dari ruang tamu.

“Mira, jangan menangis lagi. Ini adalah keputusanmu sendiri.” Beku betul kata-kata Mas Yazid. Tak ada empatinya sedikit pun. Apa dia pikir aku memiliki pilihan lain?

“Terima kasih, Mas. Kamu dan kedua orangtuamu benar-benar baik sekali memperlakukanku.” Dalam basahnya wajah akibat air mata, aku tersenyum sengit pada lelaki itu. Mas Yazid hanya menanggapinya dengan kecimusan sengak.

“Bahkan bayi tabung pun sudah kita coba, Mir. Apalagi?” Nadanya meninggi. Aku tahu Mas Yazid bukanlah orang yang kukenal dulu. Masa-masa mudanya yang penuh dengan kelembutan dan ucapan manis, ternyata kini tinggal kenangan masa lalu.

“Apakah anak adalah segala-galanya bagi kalian, Mas?”

“Jangan menanyakan hal bodoh yang sebenarnya kamu tahu jawabnya, Mira. Berhentilah untuk merasa terzalimi. Kita sama-sama berada di dalam posisi sulit. Jika Cuma ini jalan keluarnya, lantas apalagi yang membuatmu bersusah hati?” Tatapan Mas Yazid bagai mata panah yang siap menembus target. Tajam sekali. Betul-betul membuatku jadi ciut dan takut.

Mas Yazid lalu bangkit. Dia sama sekali tak menyentuh makanannya. Lelaki itu kasar sekali menggeser kursi, hingga bunyi deritnya mampu menyayat hati.

“Mari pulang ke rumah depan, Mir. Aku sedang lelah.” Mas Yazid berjalan. Terlihat olehku langkahnya gontai dan lemah.

Apakah lelaki itu sebenarnya keberatan dengan rencana perjodohan gila ini? Namun, mengapa dia tak menyanggah Abi sedikit pun? Ya Tuhan, mengapa Mas Yazid begitu lemah tanpa upaya.

*

Di dalam kamar, Mas Yazid berbaring di kasur dengan matanya menerawang ke plafon. Pria dengan dagu berbelah itu naik turun jakunnya. Terlihat olehku kedua rahangnya mengeras beberapa kali. Dia seakan tengah menahan sebuah emosi yang terpendam.

“Mas,” tegurku sembari menyentuh lengannya. Mas Yazid bergeming. Dia masih melamun, entah apa.

“Tentang Dinda, bisakah kelak kamu mencintainya?” Tak dapat aku menahan desakan rasa penasaran ini. Memastikan apakah Mas Yazid memang menginginkan rencana poligami ini.

“Entah.” Jawaban Mas Yazid sangat dingin dan acuh tak acuh.

“Mas, Dinda adalah sepupumu sendiri. Apa itu tidak membuatmu aneh atau bagaimana jika kalian memang menikah nantinya?” Aku merebahkan diri di samping Mas Yazid, mencoba untuk bisa mendekati pria itu. Berusaha membuka pikirannya agar Mas Yazid bisa berpikir jernih untuk membantah keinginan gila Ummi dan Abi.

“Itu permintaan Abi. Sudahlah. Mau bagaimana lagi? Mungkin mereka iba pada Dinda yang kini yatim piatu dan janda. Sementara dia harus menanggung satu anak dan satu adiknya yang sedang kuliah. Aku yakin, Abi dan Ummi juga punya pertimbangan lain.” Mas Yazid pada akhirnya mau juga menatap ke arahku. Meski tatapannya dingin dan menusuk.

Demi Allah patah jadi dua sekeping hati ini. Hancur dan tak akan bisa lagi kembali pada semula. Bagaimana mungkin Mas Yazid bisa mengasihani perempuan lain ketimbang memperhatikan perasaan istri sendiri? Seharusnya, dia peduli dengan bagaimana hancurnya hati ini. Perempuan mana yang sudi berbagi suami dengan alasan apa pun.

“Mas ... maksudku, bagaimana dengan nasib rumah tangga kita? Ah, perasaanku, Mas. Tidakkah Mas bakal memikirkanya?” Risau hati ini. Galau yang tak berkesudahan. Kuharap Mas Yazid mau mendengarkan.

“Bukankah kamu sudah menyetujuinya di hadapan Abi tadi? Mengapa harus dibahas lagi, Mir?” Mas Yazid bangkit. Pria itu terduduk menatapku dengan geram. Gurat cahaya di matanya sempurna menggambarkan ketidaksukaan.

Menyesal sekali aku mengatakan isi hati barusan. Kukira, Mas Yazid masih mau mempertimbangkannya ulang atas nama rasa kasihan pada istri yang telah lama dia nikahi. Namun, ternyata persepsiku benar-benar salah. Bukannya maklum atau iba, alih-alih malah tersulut emosinya.

“Maafkan Mira, Mas ....” Aku tertunduk dalam. Harusnya aku lagi-lagi bisa memposisikan diri. Apalah seonggok sampah macamku ini. Tak lagi dibutuhkan. Habis sari, tinggal ampas yang harus dibuang.

“Mira, tolong jangan membuatku semakin banyak pikiran. Bisnis kami tengah sulit. Persaingan makin ketat, sementara jumlah peminat stagnan. Turuti saja apa mau Abi dan Ummi. Kita ini sudah banyak menyusahkan dan membuang uang mereka. Masa hanya permintaan begitu saja kita tidak bis mengabulkannya?” Mas Yazid berkata dengan nada yang tinggi. Tak pernah dia seemosi ini. Seakan aku memiliki kesalahan luar biasa yang tak dapat termaafkan.

“Mas, apa hubungannya dengan bisnis? Kita sedang membicarakan masalah keutuhan rumah tangga—”

“Terus, maumu apa?” Mata Mas Yazid nyalang. Selama tujuh tahun biduk rumah tangga ini berlayar, inilah kali pertama suamiku memotong pembicaraan dengan pelototan yang menyeramkan.

Aku terhenyak. Menitikkan air mata dan lagi-lagi merasa jadi manusia paling dungu sedunia. Apalagi yang kuharapkan? Semua sudah jelas bukan? Tak ada yang bisa ditawar. Maka tak selamatlah sudah perasaan ini.

“Kalau memang kamu enggan dimadu, ya sudah. Pergi saja dari sini. Pulang ke kampungmu dan jangan harap bisa kembali menjadi istriku. Sudah syukur bisa ikut menikmati hidup enak. Apa tidak cukup juga?!” Mas Yazid menghardik dengan nada yang cukup keras. Benar-benar seperti tuan yang tengah mengamuk pada hamba sahayanya.

“Begini ya, Mas ternyata. Setelah kamu susah payah mendapatkan diriku, kini dengan mudah dicampakkan bagai bangkai tikusyang busuk baunya. Lupakah dengan hari di mana kamu menangis minta diterima? Rela aku berkorban melupakan cita-cita untuk berkarier dan menyimpan rapat ijazah dengan nilai sempurna itu. Ternyata, pengorbananku selama ini salah. Hanya membuat hidupku hancur tak berharga di injakan kaki kalian saja.” Susah payah aku menguatkan diri untuk meluahkan keluh kesah dari palung hati terdalam. Biar saja Mas Yazid naik pitamnya. Aku sudah tak peduli. Yang terpenting, dia tahu dengan apa yang kini kurasa.

\Mas Yazid melengos. Senyumnya kecut dengan cebik bibir yang melecehkan. Tak ada lagi harga diriku di matanya.

“Terserahmu saja, Mira. Itu salahmu sendiri hidup dalam kemandulan. Perempuan tidak berguna! Harusnya kamu malu mengatakan ucapan barusan. Bisa-bisanya kamu menyalahkan orang lain padahal dirimulah sumber masalah tersebut.” Mas Yazid bangkit. Tersenyum sengit dan melenggang dari kamar.

“Dasar wanita mandul! Cuma jadi benalu dan bikin susah.” Ternyata Mas Yazid masih tak puas untuk menghina dina. Masih saja mulutnya berucap pedas meski tubuhnya berlalu sembari mengempas pintu dengan kasar.

Allahu rabbi. Dosa apa aku selama ini hingga semua orang bersikap begitu culas. Tak ada rasa belas kasihan sedikit pun. Apa aku serendah dan sehina itu di mata mereka?

Aku menghapus air mata. Sekuat hati kutekatkan bahwa ini adalah tangis terakhir. Tak bakal ada sedu sedan setelahnya. Dengan segenap jiwa raga, kebahagiaan untuk diri haruslah kuusahakan meski jalanan terjal harus dilalui.

Baiklah, Mas Yazid. Cukup sampai di sini hinaanmu bisa merobek nurani. Mari kita jalani kehidupan besok sesuai apa yang kalian ingini. Namun, harap-harap untuk waspada. Ingatlah wahai Mas Yazid yang dipertuan agungkan. Bahwasanya manusia keji itu kebanyakan lahir dari golongan lemah yang tak kunjung henti disakiti. Dari sanalah awal mula dendam dapat tumbuh subur tanpa bisa dikendalikan bagai hamparan eceng gondok yang menyesaki sungai.

Kita lihat saja, Mas. Sampai di mana kesombongan dan kehebatan kalian bisa bertahan.

(Bersambung)

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
jgn bodoh keluar dan cerai cari kebahagian bisa hisup mapan juga kerja ,usaha
goodnovel comment avatar
Fahmi
Kita lihat saja mas
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Keluar lah dr rmh mulai cr kerjasn. Goblok
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status